Suluk.id – Hadis oleh mayoritas umat Islam dalam hal berhukum diyakini dan dianggap sebagai dasar kedua. Hadis merupakan sabda, perilaku, dan perbuatan Nabi sehingga adanya keyakinan seperti ini pada hadis berimplikasi pada tata cara dan model peribadatan seorang muslim. Bukan hanya dalam urusan peribadatan, hadis juga berimplikasi pada urusan sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan hukum. Lain dari mayoritas, terdapat kelompok minoritas tidak meyakini kedudukan hadis sebagai tendensi hukum kedua, kelompok ini dikenal sebagai kelompok Inkar As Sunnah. Tulisan ini bukan membahas paradigma keduanya, namun akan berfokus pada argumentasi dasar ulama dalam mengupayakan proses menjaga otentisitas hadis Nabi. Sekurang kurangnya dari referensi penulis terdapat empat aspek yang menjadi pilar.
Pertama, argumentasi Al Qur’an. Al Qur’an diturunkan melalui perantara Jibril kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat. Hal ini tertera jelas dalam Surat An Nahl ayat 44. Penafsiran ayat ini dapat diambil maksud bahwasanya Nabi Muhammad saw berkewajiban menyampaikan kandungan wahyu Al Qur’an yang telah diturunkan kepada umatnya. Melalui fenomena ini dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang melekat pada diri Nabi baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan merupakan suatu risalah dari Allah Swt. Risalah dan wahyu ini wajib ditaati perintahnya, sehingga sederhananya adalah dengan mengimani Nabi artinya mengimani Allah. Cara mengimani Nabi adalah dengan mengetahui dan mengamalkan perkataan, perbuatan, serta ketetapan Nabi Muhammad saw dan dalam bahasa akademis dikenal dengan istilah hadis.
Kedua, argumentasi hadis. Hadis sebagaimana dijelaskan di atas merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Beberapa riwayat hadis menceritakan betapa pentingnya seorang muslim berpegang pada hadis. Riwayat pertama berkenaan dengan haji wada’ yang pada saat itu Nabi Muhammad saw memberikan khutbah kepada sahabatnya sehingga pada waktu itu sahabat mengira bahwa khutbah ini adalah khutbah perpisahan. Isi khutbah tersebut adalah himbauan Nabi kepada umatnya untuk berpegang teguh pada sunahnya dan sunnah Khulafa Ar Rasyidin. Dalam riwayat lain juga menceritakan bahwa ketika haji wada’ beliau memberikan khutbah kepada sahabatnya untuk terus berpegang pada kitab Allah dan sunnah Nabinya. Artinya melalui dua hadis ini bisa diambil maksud bahwa integritas Al Qur’an sebagai tendensi berhukum belum lengkap ketika tidak disandingkan dengan hadis Nabi Muhammad saw.
Ketiga, argumentasi Ijma’. Sahabat merupakan seseorang yang pernah bertemu dan hidup di zaman Nabi serta beriman kepadanya. Setelah Nabi wafat sahabat memegang tampuk kepemimpinan Islam dalam hal pemerintahan maupun aspek sosial keagamaan. Sahabat menjadi objek acuan dan panutan generasi di bawahnya yakni Tabi’in. Beberapa sahabat seperti Abu Bakar As Siddiq mengungkapkan betapa besar cintanya kepada Nabi sehingga meski menjadi Khalifah penguasa semenjak wafatnya Nabi beliau tetap merindukan dan mengidolakannya. Kedalaman cinta, kedekatan psikologis dan keilmuan ini menjadi dalil bahwa kesepakatan sahabat tentang hukum yang didasarkan pada Al Quran dan hadis merupakan hal yang wajib diimani.
Keempat, argumentasi teologis-rasional. Ajjaj Al Khatib dalam rangka menjawab kegamangan kelompok Inkar As Sunnah mengutarakan pendapat sederhana dan mudah dicerna. Menurutnya melalui konsep rukun iman kedua yakni iman pada rasul menjadi titik kunci besar. Seseorang mengaku mengimani rasul artinya harus menerima konsekuensi termasuk di dalamnya adalah mengimani perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Arti sederhananya adalah seseorang beriman kepada Allah juga percaya kepada Nabi. Seseorang percaya kepada Nabi konsekuensinya harus mengimani perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi. seseorang yang mengaku iman kepada Nabi namun mengingkari hadis beliau artinya imamnya batal.
Empat hal ini menjadi tendensi latar belakang ulama dalam memperjuangkan otentisitas hadis mati matian. Keempatnya memiliki interkoneksi sehingga hubungannya tidak dapat diputus dan berjalan dengan sendirinya. Empat konsep ini dihasilkan atas pemikiran ulama yang secara keilmuan, psikologis, dan keimanan bersambung kepada Nabi. sehingga dengan upaya ini dapat dibenarkan bahwa anggapan tidak benarnya hadis merupakan kesalahan fatal.
Penulis : Ahmad Misbakhul Amin / Pengkaji dan Mahasiswa Ilmu Hadis
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan