Setiap memasuki bulan suci Ramadan, saya selalu teringat Ramadhan pada tahun 2009 atau Ramadhan 1430 H. Saat itu saya diberi kesempatan bisa menghabiskan waktu bulan suci Ramadhan dengan ikut nyantri di Pondok Pesantren Langitan Tuban. Meski hanya sebulan saja, banyak pelajaran yang saya dapat ketika ngaji “pasanan” di Pondok Pesantren Langitan ini.
Pertama, memasak menu masakan santri Langitan. Rata-rata saat sahur dan buka puasa dilaksanakan bareng-bareng di dapur umum. Di sanalah saya kali pertama mencicipi sambal kacang diuleg campur terong bakar dan sedkit trasi. Konon katanya, sambal jenis ini khas santri Langitan. Bahkan sudah menjadi budaya turun temurun sebagai menu utama makan mereka.
Kedua, boleh memilih ngaji kitab sesuai minatnya. Metode pengajaran yang digunakan di Pondok Pesantren Langitan adalah metode bandongan, sorogan, hafalan dan musyawarah.
Sebagai pondok yang berkategori Salafiyah, tentu hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam atau kitab-kiab klasik yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Ketika itu untuk ngaji bandongan saya memilih halaqoh yang mengkaji kitab Ta’limul Muta’allim, Sulamsafinah (Sulam Taufiq dan Safinatun Najah) dan Bidayatul Hidayah bersama para masayikh Pondok Pesantren Langitan.
Berbeda halaqah berbeda pula kitab yang dikaji. Santri duduk di dalam majelis menyimak dan memaknai kitab yang dibaca diartikan, dan dijelaskan oleh masyaikh.
Ketiga, tidak umum bahkan tidak ditemukan shalat jamaah memakai sajadah. Hal ini dikarenakan menurut mayoritas pendapat santri Langitan sajadah itu bercorak dan bergambar sehingga melalaikan dari shalat dan menyebabkan shalat tidak khusyuk.
Terutama jika dipakai saat shalat berjamaah berpotensi tidak rapatnya suatu shaf shalat. Maka saat saya memakai sajadah untuk shalat jamaah di musholah pasti ditegur. Entah ini fatwanya Kiai Faqih atau memang sudah menjadi adat di sana.
Karena sejauh yang saya tahu ada beberapa hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah shalat di atas permadani, tikar dan kulit yang disamak atau semacamnya.
Sehingga sebenarnya sajadah sudah dikenal di masa Rasulullah SAW, maka semestinya penggunaan sajadah itu diperbolehkan sebab Nabi sendiri pernah menggunakannya. Perkara itu tidak khusyuk atau merusak shaf shalat adalah karena orangnya bukan sajadahnya.
Keempat, bangkai semut hukumnya najis dan menjadikan shalat tidak sah. Suatu hari saya shalat sunah qabliyah maghrib dan di tempat saya shalat ada bangkai semut lantas terkena saya. Selepas shalat dinasehati santri di samping saya kalau bangkai semut itu najis, sehingga saya harus wudhlu lagi dan shalat saya tidak sah.
Padahal setahu saya ketika ngaji di PP. Matholiul Anwar, shalat ini tetap dihukumi sah. Karena bangkai semut termasuk dalam kategori najis yang dimakfu. Ini berdasarkan pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani seperti dikutip Al-Bakri dalam Ianah At-Tolibin, hlm. 1/108 yang artinya
“Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berfatwa sah shalatnya orang yang membawa bangkai lalat apabila berada di tempat yang susah menghindarinya.”
Kelima, tidak boleh menaruh mushaf al-Quran di atas badug atau di atas meja keleleran. Sampai-sampai saya membaca atau tulisan larangan tersebut. Kalau himbauan ini pernah saya tanyakan kalau dilarang oleh Kiai Faqih.
Makanya banyak santri setelah nderes al-Quran pasti diletakkan di rak kitab yang melekat di tiang-tiang musholah. Karena al-Quran adalah kitab suci yang mulia harus ditaruh di tempat paling tinggi dari kita. Ajaran ini harus diterapkan di manapun.
Kalau dulu nyantri di PP. Matholi’ul Anwar pernah didawuhi Kiai kalau tidak boleh meletakkan kitab lain di atas al-Quran di dalam almari. Lebih baik diletakkan di atas kitab alain atau ditaruh dalam keadaan berdiri. Kita harus berhati-hati saat menyimpannya karena begitu mulyanya kedudukan al-Quran bagi umat Islam.
Saat membacanya pun harus dalam keadaan suci, punya wudlu, posisi lebih tinggi daripada pantat dan lutut kita, setelah membaca disunnahkan menciumnya.
Keenam, membaca dua ayat akhir surat At-Taubah menjelang maghrib. “Laqod ja’akum rosuulum min anfusikum ‘aziizun ‘alaihi maa’anittum hariishun ‘alaikum bil mu’miniina ro’uufur rohiim. Fa in tawallau faqul hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa, ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbul ‘arsyil ‘azhiim (Surah At-Taubah: 128-129).
Bahkan baru-baru ini saya tahu kalau dua ayat akhir surat At-Taubah ini dinamakan Ayatul Husni. Dan ada dikutip dari akun instagram “Menara Langitan” mengisahkan bahwa beberapa hari sebelum kewafatan Syaikhina KH. Abdullah Faqih, Habib Munzir Al-Musawa berkesempatan menjenguk beliau.
Dalam kesempatan tersebut Syakhina bercerita perihal mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah SAW. Perjumpaan Kiai Faqih dengan Rasulullah tersebut menurut sebagian riwayat adalah berkat keistiqomahan beliau mengamalkan wirid laqod Jaa akum (QS At-Taubah 128-129 selama 40 tahun.
Sekalipun ada udzur beliau pasti mengqodho’nya di lain waktu. Maka amalan ini pulalah yang diijazahkan beliau kepada santri-santri Langitan.
Ketujuh, buka puasa di Pondok Pesantren Langitan sedikit lebih cepat (selisih 20 menit) dengan masjid atau musholah lainnya di wilayah Tuban. Keunikan ini dikarenakan Pondok Pesantren Langitan dalam menentukan masuk waktu salat berpedoman atau mengikuti pada Waktu Istiwa (Wis), di mana berpatokan jam matahari. Begitu pula saat jam imsak di Pondok Pesantren Langitan juga berbeda.
Saya kali pertama tahu kalau batas sahur ditandai dengan adzan Subuh. Padahal selama ini saya selalu menerapkan kalau masuk imsak sudak tidak boleh makan.
Waktu imsak biasanya sekitar 8 menit sebelum masuk waktu subuh. Namun, adat di Pondok Pesantren Langitan sepertinya menerapkan waktu ihtiyath. Yaitu angka pengaman yang ditambahkan pada hasil hisab waktu shalat.
Kedelapan, keistimewaan bisa ngaji dan tarawih di barisan pertama. Maka jangan heran kalau banyak santri yang berlomba-lomba bisa berada di baris terdepan. Siapa yang datang terlebih dulu itulah yang bisa mendapatkannya.
Umumnya ini berlaku ketika ngaji dan jamaah sama Kiai Faqih. Dan selama mondok di sana saya belum bisa keturutan karena saya tinggal di asrama Al-Maliki, yang lumayan jauh (komplek paling utara, kamar no F2).
Habis mandi dan buka puasa pergi ke musholah pondok selalu tidak ngaputi. Sejak habis jamaah shalat Subuh, masuk waktu Dhuha dan manjing maghrib musholah sudah penuh sampai masuk waktu shalat isyak dan tawawih. Mentok-mentok ya dapat shaf ketiga, itupun pakai cara tambal sulam ketika ada yang mundur, saya baru bisa maju.
Kesembilan, di toko induk pesantren diperjualbelikan bermacam-macam bacaan wirid dan jimat (rajah) yang di-print dan dilaminating. Saya sebenarnya termasuk santri yang kadang antar percaya tidak percaya dengan jimat yang meski bertuliskan lafadz basmallah, Allah, Muhammad, para sahabat, dan mengutip ayat al-quran.
Katanya sih beberapa bisa berfungsi untuk pengasihan, penangkal jin, bala’, bencana, seperti kemalingan, kebakaran, atau jika ditaruh di kitab maka tidak dimakan rayap serta fungsi-fungsi lainnya.
Hal semacam ini santer dan lumrah di pondok pesantren. Prinsip saya kalaupun rajah itu jelas sumbernya, ada sanad siapa yang menulis atau mengijazahkan. Terutama dari Kiai Faqih langsung, mungkin saya akan lebih yakin dan mau membacanya sebagai doa-doa. Walaupun dulu saya juga beli satu seukuran paling 3 x 5 cm, malah saya pakai sebagai tanda batas bacaan al-Quran.
Kesepuluh, menjadi salah atau lembaga yang mendukung fatwa haram merokok. Saya sempat kaget ketika tidak pernah melihat santri merokok di pesantren yang notabene salaf ini.
Padahal sudah masyhur, di pesantren salaf biasanya banyak santri yang perokok berat. Tetapi di Langitan hal itu sudah ditiadakan lantaran penerapan larangan merokok. Begitu memasuki kawasan pesantren, di gerbang masuk telah terpampang papan sambutan bercat putih merah dan bertuliskan “Selamat Datang di Pondok Pesantren Langitan. Anda Masuk Kawasan Tanpa Rokok”.
Masuk lebih dalam, terdapat pelbagai macam poster maupun gambar ditempel di banyak tempat, seperti kelas, pondokan, kantin, dan ruang terbuka guna mengkampanyekan larangan merokok.
Bahkan dihadapkan pada aturan kawasan tanpa rokok (KTR), koperasi pesantren dan warung sekitar tidak menjajakan rokok selain barang kebutuhan para santri.
Papan peringatan antirokok bukan basa-basi.
Hukumannya bisa digunduli dan disuruh berdiri di depan rumah kiai dari pagi hingga siang lantaran ketahuan merokok secara sembunyi-sembunyi. Karena aturan antirokok tercantum dalam Pasal 3 (20-21) qanun (peraturan) Pondok Pesantren Langitan. Bahkan jika masih melanggar lagi akan dikeluarkan dari pondok.
Buat mereka, larangan merokok di dalam pondok merupakan dawuh (perintah) kiai yang tidak bisa digugat. Karena larangan ini merupakan fatwa langsung dari Kiai.
Ketika santri melanggar dawuh Kiai tentu itu menjadikan ilmu tidak berkah. “Ojo ngerokok nang kene, Pondok kene uwes nyatakno bebas songko rokok”, dawuh Syaikhina Romo KH Abdullah Faqih.
Oleh karena itu bukan hanya santri, tetapi aturan itu juga dijalankan dan diawasi oleh jajaran pengurus pondok dan masayikh/pengasuh dengan mencontohkan tidak merokok pula.
Begitu kiranya, sekelumit kisah Ramadhan saat saya mengikuti ngaji pasanan di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban. Sebuah tradisi yang telah dilakukan di Langitan sejak puluhan tahun silam.
Walaupun ada beberapa adat di pesantren yang baru karena berbeda dengan apa yang saya pahami selama ini, itu tidak menjadi soal. Malah dapat dijadikan sebagai khasanah dan kekhasan masing-masing pondok pesantren.
Dengan berpegang teguh pada kaidah “Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah” (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif), maka Pondok Pesantren Langitan dalam perjalanannya senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dan kontektualisasi dalam merekonstruksi bangunan-bangunan sosio kultural, khususnya dalam hal pendidikan dan manajemen.
Terakhir sebagai penutup catatan ini, saya ingin mengutip dawuhipun Gus Baha’ yakni “bersyukur itu perlu terus latihan. Jangan hanya rasa syukur hanya saat memiliki sesuatu.”
Sehingga saya sangat bersyukur sekali, karena minimal elek-elekan begini pernah ditakdir nyantri di pondok yang melahirkan ulama-ulama besar NU, seperti KH Muhammad Cholil Bangkalan, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin yang merupakan ayah KH As’ad Syamsul Arifin, dan KH Shiddiq (ayahnya KH Ahmad Shiddiq).
Apalagi saya masih menangi langsung ngangsu kaweruh ke Kiai Khos KH. Abdullah Faqih. Lebih-lebih saya diakui oleh Kiai Faqih pernah menjadi salah satu santri ngaji pasanan di Pondok Pesantren Langitan meskipun hanya bulan Ramadhan saja.
Semoga besok di akhirat bisa ikut gandolan jubahnya Kiai Faqih. Saya juga berharap kita semua kelak dikumpulkan dengan Kanjeng Nabi, para sahabat, dan Kiai Faqih beserta alim ulama lainnya. Wallahua’lam bishowwaab.
alumni Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar Lamongan yang sekarang tinggal di Bangkok Thailand