Suluk.id – KH ZULFA MUSTOFA. Nama ini, sebelumnya benar-benar asing bagi saya. Baru belakangan ini begitu familier. Setelah kiai muda kelahiran 7 Agustus 1977 ditetapkan sebagai Wakil Ketua Umum PB NU periode 2022-2027.
Bagi saya, sosok ini sangat menarik. Saat berceramah, gaya bicaranya tenang. Tidak meledak-ledak. Runtuh. Logikanya kuat. Mengungkap banyak hujjah tentang amaliyah warga NU. Namun, tetap membuka ruang perbedaan. Nihil dari kata-kata nyinyir yang diamaksudkan untuk menerapkan atau menyerang kelompok lain.
Beliau bukan tipe orator. Ceramahnya relatif datar. Namun, layaknya kiai NU pada umumnya, canda tawa juga selalu ceramahnya. Cukup menarik! Apalagi, keluasan, kedalaman ilmu dan wawasan terpancar begitu jelas.
Ada satu lagi yang sangat khas dan istimewa. Beliau suka bersya’ir. Nadhom-nadhom indah selalu beliau bacakan ketika sedang mengisi acara. Banyak sekali, syair dalam Bahasa Arab itu, beliau menciptakankan sesuai dengan perasaan yang sedang melingkupi dirinya.
Kesukaannya membuat syair dalam Bahasa Arab, sepertinya sudah masuk level “dewa”. Sampai-sampai tarikh (sejarah) Syeck Nawawi Albantani saja, beliau buat dalam bentuk syair. Karya itu, sekarang sudah dicetak dalam bentuk buku. Semakin menambah koleksi buku (kitab) yang telah lahir dari pemikirannya.
Kemahirannya ber-nadhom itulah yang awalnya menarik perhatian saya. Rasa penasaran pun memenuhi pikiran saya. Penelusuran jejak digital saya lakukan. Ketemu. Ternyata, beliau adalah keponakan Wapres KH Ma’ruf Amin. Ibundanya yang bernama Marhumah Latifah adalah saudara kandung Kiai Ma’ruf Amin.
Itu satu data menarik yang berhasil saya temukan. Ada satu lagi yang lebih menarik: beliau ternyata alumni Matholiul Falah Kajen, Pati. (Allah yarham) KH. Sahal Mahfudz, Rais Aam PBNU adalah derektur dari lembaga itu.
Kenapa begitu menarik bagi saya? Karena di tempat itulah, dulu saya pernah belajar. Dan kebetulan pula, beliau belajar di Matholek mulai kelas II Tsanawiyah. Sama persis dengan saya.
Ibaratnya, arum jeram, kelas II MTs merupakan “rute berbahaya” yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Sebab di tingkatan itu, seorang siswa harus hafal nadhoman alfiah 1000 bait dan Faraid (ilmu waris) sebanyak 100 bait. Tidak hafal, tidak naik kelas.
Bagi siswa yang masuk mulai kelas I MTs, “rute” itu, mungkin tidak terlalu “membahayakan”. Sebab, sejak kelas I MTs, mereka sudah nyicil menghafalkan Alfiah sebanyak 500 bait (separoh). Baru Ketika kelas II, hafalannya harus digenapkan menjadi 1000 bait.
Cukup berat! Paling tidak, bagi orang seperti saya. Untuk bisa sukses “melewati medan” itu, saya dulu benar-benar harus “topo broto”. Meski saat itu baru pertama kali tinggal di pesantren, saya menahan diri untuk tidak pulang ke rumah. Dikrasan-krasanno. Di tahun pertama modok itu, hampir 1 tahun penuh, saya tidak sekalipun pulang ke rumah.
Setiap pukul 14.00 WIB, selepas pulang sekolah dan makam siang, langsung nyicil hafalan di makan Mbah Mutamakkin (KH Ahmad Mutamakkin, Kajen). Kumpul dengan santri-santri Tahfidh Qur’an yang juga sedang menghafal. Baru sekitar jam 16.00 WIB, pulang ke pondok untuk istirahat.
Itu saya. Mungkin, Kiai Zulfa beda. Tapi, intinya bagi anak yang nyantri di Matholek, kelas II Tsanawiyah adalah medan berat yang harus dilalui. Sukses itu, berikutnya akan lebih mulus. Itu persepsi umum yang terbangun di kalangan santri.
Mengetahui Kiai Zulfa Musthofa alumni Matholek Kajen, tentu saya merasa bangga. Merasa dekat, meski tidak pernah bertemu. Kalau melihat tahun lahirya, beliau jauh di bawah saya. Kalau saya angkatan 85-an, beliau 90-an.
Jadi, beliau KH Zulfa Musthofa adalah adik kelas saya. Tapi, beliau jauh lebih hebat dari kakak kelasnya heheh….
Dari sisi nasab, sudah sepantasnya Kiai Zulfa Musthofa menjadi orang yang alim dalam bidang agama. Beliau tumbuh dan besar dari keluarga ulama. Bila diurut ke Syeck Nawawi Albantani, beliau adalah cucu kemenakan. Dengan Kiai Ma’ruf, beliau adalah keponakan. Ayah beliau, juga seorang kiai dari Pekalongan Jawa Tengah.
Yang pasti, munculnya nama beliau di jajaran elite PB NU saat ini perlu disyukuri. Semakin menambah deretan ulama muda yang ada di NU. Jika sebelumnya kita sudah mengenal nama-nama beken seperti, Gus Baha, Gus Ghofur, Gus Kauthsar, Gus Awis (Darul Ulum), Gus Ulil Absar, maka sekarang bertambah lagi: Kiai Zulfa Mustofa. Usianya baru 45 tahun. Lebih muda dari Gus Baha yang seumuran dengan saya.
Kita patut bersyukur, insya Allah Indonesia –khususnya NU—tidak akan kekurangan setok ulama. Dan di luar mereka itu, saya yakin masih banyak kiai muda (gus) di lingkungan pesantren NU yang alim alamah. Mereka adalah para pencinta ilmu. Di tangan mereka, Islam terlihat begitu indah. Perbedaan dalam menafsiri agama, bisa ditampilkan sebagai rahmah. Bukan musibah! (*)
_______________
Ditulis oleh Akhmad Zaini , mantan jurnalis, kini mengajar di IAINU Tuban.
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan