Suluk.id – Di saat nyala pengetahuan Indonesia masih gelap karena kolonialisme, apa yang dilakukan Kartini adalah sesuatu yang telah jauh melebihi jamannya.
Menuliskan pemikiran atau pemikiran melalui surat adalah sebuah langkah out of the box. Meskipun surat bersifat sangat pribadi, tetapi surat yang ditulis di atas kertas adalah gambaran tentang watak, gagasan, sekaligus bentuk keseriusan penulisnya mengenai gagasan tersebut.
Bukan kebetulan pula jika Kartini dihadirkan Tuhan di saat bangsa ini masih terkungkung dalam politik etis. Di mana perempuan duduk saat itu hanya sebagai obyek seksual belaka. Jangankan kesetaraan perempuan, rakyat pribumi secara keseluruhan saja masih dalam semena-mena, yang disajikan sebagai ras yang tersisih dan tak berguna.
Dan yang pasti, perempuan Jawa di era Kartini belum akrab dengan kerudung, apalagi belanja jilbab dan gamis secara online. Bagaimana mungkin, hanya memiliki sehelai kain untuk menutup tubuh dengan layak saja masih merupakan pemandangan yang sangat langka. Maka tak menganggap sinis Kartini sebagai perempuan yang tidak mengerti agama hanya karena nampak rambutnya.
Dalam kronika sejarah, Kartini berada di zaman feodal, yakni ketika para penguasa, abdi dalem keraton, maupun bangsawan Jawa harus membebek pada kebijakan Belanda. Kedaulatan keraton digerogoti, sehingga keraton hanya berdaulat secara sosial, tetapi tidak berdaya secara politis, termasuk dalam kebijakan kebijakan pendidikan.
Melihat ketimpangan sosial, ketidakadilan pada perempuan, serta tabunya dunia pendidikan bagi perempuan, kartini menumpahkan kegelisahannya melalui surat demi surat yang melayaninya pada Ny. Abendanon, sahabatnya dari Belanda. Pertemuannya dengan Kyai Soleh Darat Semarang semakin mengasah batin dan mempertajam goresan penanya. Bukan hanya itu, Kartini bahkan sempat membuka “sekolah” khusus perempuan, meski konon audit yang diberikan hanya sebatas belajar membaca dan mendengarkan cerita-cerita.
Marilah kita belajar membaca Kartini secara manusiawi. Tak usah membandingkannya dengan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Cut Keke, bahkan Cut Meyriska. Masing-masing hidup pada jaman yang berbeda, masing-masing menghadapi kompleksitas tantangan hidup yang tidak sama.
Jika Cut Nyak Dien memilih berjuang dengan senjata, maka ikhtiar perjuangan Kartini ditempuh dengan buku dan pena. Keduanya sama-sama mulia. Yang justru memalukan adalah merendahkan salah satu atau bahkan malah. Menuduh Kartini sebagai antek penjajah Belanda, imannya goyah, hanya karena tidak memakai penutup kepala.
Sekali lagi, membandingkan antara Michael Schumacher dengan Michael Jordan jelas bisa, soto dan bakso jelas berbeda, demikian pula tidak membandingkan perbandingan antara gajah dengan jerapah.
Ah, seandainya saat itu Tuhan berkehendak merubah takdirnya, tidak mencabut nyawa Kartini di usia belia, bukan tidak mungkin pemikiran dan cita-cita yang dituliskan Kartini dalam surat-suratnya akan terwujud dalam beberapa masa setelahnya. Para perempuan Indonesia akan semakin berdaya, tidak hanya berlenggak-lenggok penuh gaya, serta peringatan Hari Kartini tidak sebatas kontes kebaya.
Selamat Hari Kartini.
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban