Suluk.ID
Monday, November 10, 2025
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
Suluk.ID
Home Ngilmu

MEMBACA KARTINI SEBAGAI PEJUANG LITERASI

by Muhammad Makhdum
April 21, 2021
in Ngilmu
MEMBACA KARTINI SEBAGAI PEJUANG LITERASI
Share on Facebook

Suluk.id – Di saat nyala pengetahuan Indonesia masih gelap karena kolonialisme, apa yang dilakukan Kartini adalah sesuatu yang telah jauh melebihi jamannya.

Menuliskan pemikiran atau pemikiran melalui surat adalah sebuah langkah out of the box. Meskipun surat bersifat sangat pribadi, tetapi surat yang ditulis di atas kertas adalah gambaran tentang watak, gagasan, sekaligus bentuk keseriusan penulisnya mengenai gagasan tersebut.

Bukan kebetulan pula jika Kartini dihadirkan Tuhan di saat bangsa ini masih terkungkung dalam politik etis. Di mana perempuan duduk saat itu hanya sebagai obyek seksual belaka. Jangankan kesetaraan perempuan, rakyat pribumi secara keseluruhan saja masih dalam semena-mena, yang disajikan sebagai ras yang tersisih dan tak berguna.

Dan yang pasti, perempuan Jawa di era Kartini belum akrab dengan kerudung, apalagi belanja jilbab dan gamis secara online. Bagaimana mungkin, hanya memiliki sehelai kain untuk menutup tubuh dengan layak saja masih merupakan pemandangan yang sangat langka. Maka tak menganggap sinis Kartini sebagai perempuan yang tidak mengerti agama hanya karena nampak rambutnya.

Dalam kronika sejarah, Kartini berada di zaman feodal, yakni ketika para penguasa, abdi dalem keraton, maupun bangsawan Jawa harus membebek pada kebijakan Belanda. Kedaulatan keraton digerogoti, sehingga keraton hanya berdaulat secara sosial, tetapi tidak berdaya secara politis, termasuk dalam kebijakan kebijakan pendidikan.

Melihat ketimpangan sosial, ketidakadilan pada perempuan, serta tabunya dunia pendidikan bagi perempuan, kartini menumpahkan kegelisahannya melalui surat demi surat yang melayaninya pada Ny. Abendanon, sahabatnya dari Belanda. Pertemuannya dengan Kyai Soleh Darat Semarang semakin mengasah batin dan mempertajam goresan penanya. Bukan hanya itu, Kartini bahkan sempat membuka “sekolah” khusus perempuan, meski konon audit yang diberikan hanya sebatas belajar membaca dan mendengarkan cerita-cerita.

Marilah kita belajar membaca Kartini secara manusiawi. Tak usah membandingkannya dengan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Cut Keke, bahkan Cut Meyriska. Masing-masing hidup pada jaman yang berbeda, masing-masing menghadapi kompleksitas tantangan hidup yang tidak sama.

Jika Cut Nyak Dien memilih berjuang dengan senjata, maka ikhtiar perjuangan Kartini ditempuh dengan buku dan pena. Keduanya sama-sama mulia. Yang justru memalukan adalah merendahkan salah satu atau bahkan malah. Menuduh Kartini sebagai antek penjajah Belanda, imannya goyah, hanya karena tidak memakai penutup kepala.

Sekali lagi, membandingkan antara Michael Schumacher dengan Michael Jordan jelas bisa, soto dan bakso jelas berbeda, demikian pula tidak membandingkan perbandingan antara gajah dengan jerapah.

Ah, seandainya saat itu Tuhan berkehendak merubah takdirnya, tidak mencabut nyawa Kartini di usia belia, bukan tidak mungkin pemikiran dan cita-cita yang dituliskan Kartini dalam surat-suratnya akan terwujud dalam beberapa masa setelahnya. Para perempuan Indonesia akan semakin berdaya, tidak hanya berlenggak-lenggok penuh gaya, serta peringatan Hari Kartini tidak sebatas kontes kebaya.

Selamat Hari Kartini.

Muhammad Makhdum
Muhammad Makhdum

Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban

Tags: Kartiniliterasi
Previous Post

Ayo Belajar Bahasa Arab di Bulan Ramadan

Next Post

Cerita tentang Mbah Kiai Ma’roef Kedunglo Kediri

Related Posts

Goa Akademik Itu Bernama “State of the Art”

Goa Akademik Itu Bernama “State of the Art”

by Ahmad Misbakhul Amin
October 29, 2025
0

Cerita tentang tulis menulis memang tidak ada habisnya. Begitu pula dengan pembelajaran dan penulisannya. Euforia ini saya rasakan pula ketika...

Ketika Marah Disalahpahami: Membaca Ulang Argumen Emosi Santri

Ketika Marah Disalahpahami: Membaca Ulang Argumen Emosi Santri

by Hari Prasetia
October 28, 2025
0

Oleh: Hari Prasetia (Alumnus PP Haji Ya’qub dan PP Murottilil Qur’an Lirboyo) Beberapa waktu terakhir, ruang digital kembali ramai oleh...

Sholawat Ngelik: Akulturasi Agama dan Budaya di Mlangi yang Lestari Hingga Kini

Sholawat Ngelik: Akulturasi Agama dan Budaya di Mlangi yang Lestari Hingga Kini

by Laila Rohmatul Izzah
September 30, 2025
0

Bulan maulid merupakan salah satu bulan besar bagi umat Islam. Bulan di mana datang seseorang yang kelahirannya mampu memadamkan api...

Lebih Dulu Menikah atau ke Mekah? 

Lebih Dulu Menikah atau ke Mekah? 

by Muchamad Rudi C
October 7, 2025
0

Ada-ada saja memang pertanyaannya. Memang terlihat sepele, tapi menjadi bahan diskusi menarik bahkan sampai serius. Pertanyaan itu muncul ketika saya...

Next Post
Cerita tentang Mbah Kiai Ma’roef Kedunglo Kediri

Cerita tentang Mbah Kiai Ma'roef Kedunglo Kediri

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sosial Media

Terkait

Napak Tilas dan Studi Tiru Ranting NU Desa Mojorejo

Napak Tilas dan Studi Tiru Ranting NU Desa Mojorejo

November 10, 2025
Fatayat-Muslimat Desa Sukorejo Gelar Ngaji Bareng, Ikhtiar Jadi Wanita Sholihah

Fatayat-Muslimat Desa Sukorejo Gelar Ngaji Bareng, Ikhtiar Jadi Wanita Sholihah

November 8, 2025
Gelar Pengajian, Beri Sepeda ke Anak Yatim

Gelar Pengajian, Beri Sepeda ke Anak Yatim

November 5, 2025
Suluk.id - Merawat Islam yang Ramah

Suluk.id termasuk media alternatif untuk kepentingan dakwah. Dengan slogan Merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan.

Suluk.ID © 2025

  • Redaksi
  • Tentang
  • Disclaimer
  • Kerjasama
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan

Suluk.ID © 2025