Suluk.id – Ketika masih duduk di bangku madrasah, pidato termasuk salah satu kegiatan yang menakutkan bagiku. Momok, kata orang. Saya termasuk orang demam panggung dan tidak bisa banyak bicara. Alhasil, kalau ada lomba pidato, saya yang angkat tangan untuk tidak ikut. Saya belum pernah sekalipun ikut lomba pidato. Walaupun mungkin sebagian menganggap guru menganggap saya mampu.
Waktu saya sekolah di MTs, pernah dipilih oleh guru bahasa Inggris untuk ikut lomba pidato bahasa Inggris, sudah diberi teks untuk dihafalkan dan sebagian sudah hafal. Tapi -alhamdulillah- tidak jadi saya yang maju. Hehe.
Kelihatannya ada “pesaing” saya. Hingga lanjut sekolah dan mondok di manapun, saya tidak pernah ikut yang namanya “lomba pidato”. Baik itu bahasa Jawa, Indonesia, Arab, Inggris, atau Korea sekalipun. Hehe.
Tapi, dalam hati, saya berpikiran kelak harus bisa pidato. Apapun dan bagaimanapun modelnya. Tidak peduli baik atau buruk kualitas orasi saya. Karena itu, walaupun saya merasa tidak punya bakat dalam berpidato. Tapi saya terus berlatih untuk bisa pidato. Latihan itu mulai terasa agak lumayan ketika mondok di Lirboyo. Ketika masih di rumah dan nyantri di Tambakberas, saya sama sekali belum pernah pidato. Di samping tidak berani manggung, rasanya susah sekali untuk keluar kata-kata ketika maju.
Saya pernah menjadi ketua panitia Halal Bi Halal Orda (Organisasi Daerah) Tuban Jamissbon Pondok Tambakberas. Saatnya sambutan pidato ketua panitia, saya mundur teratur dan saya wakilkan teman yang sudah sering ikut lomba pidato. Malah ketika itu dia guyoni saya, “kamu minta pidato gaya siapa, gaya Kiai Zainuddin MZ atau siapa”.
Di Pesantren Lirboyo, saya aktif berorganisasi, kalau di pesantren istilahnya Jam’iyyah. Mulai jamiyyah far’ul far’i (terendah), far’iyyah, wilayah, hingga pusat. Dari situ mulai agak lumayan bisa omong di depan banyak orang. Walaupun masih minim. Karena jabatan saya di organisasi umumnya kaitan dengan sekretaris.
Pernah menjadi sekretaris jam’iyyah far’iyyah, sekretaris HISBON (Himpunan Santri Bojonegoro, Tuban dan Lamongan) dan jabatan tertinggi saya ketika itu adalah sekretaris umum Pengurus Pusat (semacam OSIS) Tamatan Aliyah MHM. Lumayan sibuk ketika menjadi pengurus pusat itu. Walaupun sudah mulai berani “tampil”, tapi perlu dicatat sekali lagi, saya tidak pernah ikut lomba pidato.
Ketika masuk kuliah di STAIN Kediri, sudah mulai lumayan berani pidato. Hingga di akhirnya ketika wisuda, saya yang ditunjuk untuk pidato perwakilan mahasiswa. Padahal saya tidak ahli pidato. Saya berusaha menolak, tapi dosen saya agak memaksa. Karena ini kaitannya dengan reputasi jurusan kami, (dan ada sedikit nuansa politis. hehe) akhirnya saya mau maju, walaupun lumayan gobyos. Haha.
Bagaimana tidak grogi? sambutan saya didengar oleh ribuan orang dan juga banyak kiai, profesor, dosen, dan wali mahasiswa duduk di depan saya. Selain harus persiapan penuh materi pidato. Tak lupa merapalkan doa dan mantra. Haha. Ternyata masih gobyos.
Setelah itu, saya mulai agak pede. Pikiran saya, pidato di depan kiai dan profesor saja berani, masak di depan orang-orang biasa tidak berani. Itu pikiran yang mulai menguat. Dan ternyata ada triknya, kalau tidak berani menatap wajahnya para hadirin, lihat saja tembok kanan dan kiri, kayak melihat hadirin yang ada di sekitar. Asal jangan melihat cicak kawin di atap. Haha.
Selain trik itu, trik pertama dan paling penting adalah menguasai materi. Walaupun tidak hafal 100 persen. Itu pengalaman saya. Oiya, untuk menghilangkan grogi atau demam panggung, bisa minum segelas air putih beberapa menit sebelum naik panggung. Dan jangan lupa berdoa “robbisyroh li shodri…”. Dibaca dalam hati dengan mantap sebelum maju.
Kini, setelah saya terjun di masyarakat, saya sudah berani mengisi khutbah di masjid-masjid, mengisi seminar, pidato di pondok dan terkadang diminta sambutan pernikahan tetangga di kampung. Ini berkat latihan dan usaha yang sungguh-sungguh. Karena sebenarnya saya merasa tidak berbakat untuk pidato. Bisa pidato apa adanya saja sudah syukur alhamdulillah.
Maka sebenarnya jika kita mau berusaha dan latihan terus menerus untuk bisa pidato, insyaallah kita bisa pidato. Kiranya untuk bisa menulis juga sama dengan pidato, hanya beda obyek saja.
Jika kita mau latihan menulis dengan terus menerus dan terus berusaha, insyaallah kita akan bisa menulis dengan baik. Jika Anda tidak terbiasa menulis, maka pasti berat untuk menulis sepuluh paragraf seperti saya ini. Bisa berjam-jam untuk mikir apa yang mau dituliskan.
Tulisan ini hanya saya lakukan dalam waktu ketika menjadi pengawas ujian akhir di MA Manbail Futuh Beji Jenu Tuban. Hanya satu selai.
Penulis: Terompah Kiai, Pendidik dan Anggota LTN PC. NU Kab. Tuban