Suluk.id – Menarik memang untuk membahas tentang fenomena pondok, barokah, dan wacana keislaman yang dibangun saat ini. Ada yang bertanya “bagaimana perspektif sebagian masyarakat terhadap pondok? Apakah ada terbesit di pikiran tentang anak pondok itu tidak semua baik, pondok itu jahat, pondok itu diisi dengan orang-orang yang menjadi pelaku pembuli, banyak konflik internal, masalah transparansi, terjadi banyak eksploitasi di atas namakan mengabdi, pelecehan dan kekerasan?”
Jadi, tetap kita bisa menempatkan pondok sebagai objek yang dapat dikenai nilai apapun. Kemudian siapa yang bisa melakukan sebuah pekerjaan. Yakni subjek. Subjek yang menjalankan pekerjaan adalah orang-orang yang berada di dalam pondok diantaranya Kiai, Ustadz, Santri dan Pengurus pondok.
Dari sini berarti dapat kita lihat ada seseorang sebagai subjek di pondok yang melakukan tindakan yang tercela. Sehingga konsekuensi dari kehidupan sosial (komunal) maka klaim generalisasi ke semua subjek di pondok dapat terjadi.
Belum lagi sekarang, peran media (lebih ke media sosial) yang sangat berpengaruh kepada perilaku manusia (efek jarum hipodermik). Sehingga wacana pondok sebagai tempat yang menyeramkan semakin mudah digaungkan dan diterima publik secara sadar maupun tidak.
Ekploitasi, konflik, pelecehan, kekerasan, sangat memang tidak bisa kita hindari di manapun juga. Sama halnya di sekolah, fasilitas umum, dsb akan sama tetap terjadi.
Kemudian kenapa seolah berbeda ketika itu terjadi di Pondok pesantren? Karena dari dasarnya pondok cenderung diklaim banyak orang tempat yang suci, alias tidak akan terjadi hal-hal semacam itu. Ekspektasi yang sudah tertanam pada pikiran manusia kemudian terpatahkan oleh fakta di lapangan. Maka patahan dari ekspektasi tersebut yang membuat itu semakin terkesan “wah” dan perlu terus diperbincangkan (Istilah dalam berita: unusualness).
Tantangan sekarang juga misalnya yang sedang ‘digodok’ yakni tentang konsep barokah. Banyak konten beredar di media sosial yang menyoroti praktik mengambil barokah dari orang ‘Alim. Misalnya orang yang mengabdi trus manut melakukan apapun, termasuk konten mencelupkan tangan ke air, dan sebagainya. Akhirnya kesan yang ditangkap orang awam menjadi lebih skeptis kepada konsep-konsep tersebut, alias dapat berpikir “apaan sih itu”.
Termasuk salah satu film yang memang banyak mengkritik fenomena feodalisme yang terjadi di sebuah instansi pendidikan Islam. Penonton menjadi tambah skeptis atau keyakinan tentang barokah dari orang ‘alim semakin tergerus. Lagi-lagi media salah satu penyebab besarnya.
Memang sangat benar dan fakta bahwa di pendidikan agama Islam yang diklaim ‘suci’ masih banyak penyelewangan terjadi. Kita tidak bisa memungkirinya. Maka kritik akan perbuatan tersebut dapat dilakukan melalui konten dan media apapun. Apalagi tinggal pada zaman yang sudah sangat mudah sekali menyebarkan dan mengakses informasi.
Namun harus ada yang memberikan wacana lain tentang barokah yang berkembang di publik. Kita dapat saja masih tetap meyakini bahwa tidak mungkin semua keberhasilan, keberuntungan yang kita dapatkan hanya dari kerja keras kita. Tapi ada banyak yang menyebabkan nya, misal do’a ortu, guru, hasil dari mendo’akan mereka, mencium tangan mereka, mencium kaki dan lain sebagainya. Barokah (tambahnya kebaikan) tidak terlihat tapi terasa. Sehingga tinggal bagaimana kita sebagai manusia menyikapi dan mengambil perspektif lain (kritis).
کم من مشهور ببرکة المستور
“Berapa banyak orang yang tenar (sukses) karena keberkahan dari orang-orang yang tidak tenan”
Akhirnya pertanyaan di awal ditutup dengan “semakin kesini alhamdulillah beberapa kali kunjungan ke pondok-pondok dikit sedikit mulai mengikis pikiran itu, bahwa kalau ga semua pondok itu jahat” pungkasnya.

Islamic digital activist. Mugi Barokah Manfaat