Suluk.id, Akhir-akhir ini, dunia jagat maya sedang digencarkan oleh wacana perbincangan filsafat. Hal ini dipicu oleh salah satu sosok yang sudah dikenal oleh banyak orang: Ferry Irwandi. Berbicara tentang filsafat, aku sempat terpikirkan bagaimana jika sebuah metode dan materi dakwah melalui jalur stoikisme. Stoikisme merupakan sebuah aliran filsafat yang mengajarkan pentingnya pengendalian diri, ketenangan batin, dan hidup selaras dengan alam.
Bila kita mengulik dari sejarah, stoikisme lahir di Yunani sekitar abad ke-3 SM, yang dipelopori oleh Zeno dan Citium. Lalu di kemudian hari diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Seneca, Epictetus, serta Marcus Aurelius. Maka sebenarnya, inti dari ajaran stoikisme adalah bagaimana mengendalikan apa yang bisa dikendalikan dan menerima apa yang tidak bisa dikendalikan. Bagi yang berpaham stoikisme, kunci sebuah kebahagian adalah menjaga batin, menahan emosi, dan fokus akan kebajikan.
“You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength.” Marcus Aurelius
Beberapa nilai dari stoikisme memang beririsan dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam hal kesabaran, stoikisme mengajarkan untuk tetap tenang di tengah cobaan yang ditimpa. Sejalan dengan Islam yang tertuang dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 153. Allah SWT bersama dengan orang-orang yang sabar. Begitu pula Nabi Muhammad SAW bersabda dalam Hadis bahwa orang kuat adalah yang mampu menahan amarah (HR. Bukhari & Muslim). Dari firman Allah dan hadis Nabi tersebut, perihal pengendalian diri sudah dianjurkan dalam syariat Islam. Sehingga terkesan sejalur dengan stoikisme yang juga mengajarkan agar mengendalikan emosi.
Namun, di balik kemiripan itu, terdapat perbedaan mendasar. Stoikisme berorientasi pada pencapaian ketenangan batin demi kebajikan moral, dengan ukuran berdasarkan akal manusia. Sedangkan Islam berorientasi pada keridhaan Allah dan kebahagiaan akhirat, dengan ukuran berdasarkan wahyu. Dalam Islam, sabar bukan hanya strategi mental, melainkan ibadah yang berpahala. Tawakkal bukan sekadar menerima nasib, tetapi keyakinan penuh bahwa Allah adalah sebaik-baik Pengatur.
Lalu, mengapa penulis menyebutkan istilah Dakwah Stoikisme? Sederhananya, bukan berarti memadukan ajaran kedua hal tersebut. Melainkan menjadi sebuah strategi dalam komunikasi dakwah. Komunikasi sangat penting pada dunia dakwah itu sendiri, untuk dapat menyambungkan faham antara pembicara dan penerima pesannya. Jika seseorang sudah familiar dengan Stoikisme, pesan dakwah dapat dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, kita dapat menyampaikan, “Prinsip Stoikisme mengajarkan fokus pada hal yang bisa dikendalikan. Dalam Islam, ini sejalan dengan tawakkal, yakni berusaha maksimal lalu menyerahkan hasil kepada Allah.”
Dari titik ini, Stoikisme bisa dipahami sebagai bentuk kontekstualisasi pesan dakwah. Nilai-nilainya dipakai sebagai pintu masuk untuk menjelaskan prinsip Islam dengan bahasa yang akrab di telinga beberapa audiens. Kontekstualisasi bukan berarti menggabungkan, tetapi menjelaskan sesuatu sesuai dengan konteksnya. Yakni pesan keislaman melalui kata yang biasa dikenal oleh beberapa pendengar. Misalnya, ketika Stoikisme menekankan ketenangan jiwa di tengah musibah, hal itu bisa dikontekstualisasikan dengan konsep sabar dalam Islam. Sehingga tidak hanya tenang secara mental, akan tetapi bernilai ibadah dan mendatangkan pahala.
Dengan demikian pesan dakwah menjadi lebih komunikatif untuk diterima oleh beberapa audien tanpa kehilangan substansi. Islam tetap menjadi sumber utama, sementara stoikisme berfungsi sebagai ilustrasi pada ilmu yang populer pada akhir-akhir ini. Allah SWT sudah menegaskan kesempurnaan agama Islam dalam firman-Nya, seperti “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agamamu (QS. Al-Maidah: 3)”. Ayat QS. Al-Maidah: 3 menjadi dasar bahwa Islam tidak memerlukan tambahan secara subtansi. Namun sebagai manusia, khususnya sebagai pendakwah dapat menggunakan metode kontekstual agar lebih mudah dipahami berbagai kalangan.
Terakhir, kata “Dakwah Stoikisme” dapat dimaknai awal sebagai seni komunikasi dakwah kontekstual. Ia mengajarkan bahwa seorang pendakwah perlu bijak membaca audiens, memilih bahasa yang tepat, dan memanfaatkan apa yang mereka kenal sebagai jembatan untuk masuk pada nilai-nilai Islam. Dengan begitu, dakwah tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga menjembatani perbedaan cara pandang. Sehingga pesan Islam tetap murni sekaligus mampu menembus beragam lapisan masyarakat. Dalam dunia modern yang penuh arus pemikiran global, strategi semacam ini menjadi semakin relevan. Seorang pendakwah dituntut tidak hanya menguasai dalil. Tetapi perlu memahami psikologi, budaya, bahkan tren yang berkembang agar dakwah lebih diterima dengan baik.
Penyunting : M Rudi C