Suluk.ID
Tuesday, August 19, 2025
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
Suluk.ID
Home Ngilmu

Memahami Tren Wacana Untuk Penyampaian Pesan Dakwah Islam

by Abdur Rohman Assidiis
August 19, 2025
in Ngilmu
Memahami Tren Wacana Untuk Penyampaian Pesan Dakwah Islam
Share on Facebook

Suluk.id, Akhir-akhir ini, dunia jagat maya sedang digencarkan oleh wacana perbincangan filsafat. Hal ini dipicu oleh salah satu sosok yang sudah dikenal oleh banyak orang: Ferry Irwandi. Berbicara tentang filsafat, aku sempat terpikirkan bagaimana jika sebuah metode dan materi dakwah melalui jalur stoikisme. Stoikisme merupakan sebuah aliran filsafat yang mengajarkan pentingnya pengendalian diri, ketenangan batin, dan hidup selaras dengan alam.

Bila kita mengulik dari sejarah, stoikisme lahir di Yunani sekitar abad ke-3 SM, yang dipelopori oleh Zeno dan Citium. Lalu di kemudian hari diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Seneca, Epictetus, serta Marcus Aurelius. Maka sebenarnya, inti dari ajaran stoikisme adalah bagaimana mengendalikan apa yang bisa dikendalikan dan menerima apa yang tidak bisa dikendalikan. Bagi yang berpaham stoikisme, kunci sebuah kebahagian adalah menjaga batin, menahan emosi, dan fokus akan kebajikan.

“You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength.” Marcus Aurelius

Beberapa nilai dari stoikisme memang beririsan dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam hal kesabaran, stoikisme mengajarkan untuk tetap tenang di tengah cobaan yang ditimpa. Sejalan dengan Islam yang tertuang dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 153. Allah SWT bersama dengan orang-orang yang sabar. Begitu pula Nabi Muhammad SAW bersabda dalam Hadis bahwa orang kuat adalah yang mampu menahan amarah (HR. Bukhari & Muslim). Dari firman Allah dan hadis Nabi tersebut, perihal pengendalian diri sudah dianjurkan dalam syariat Islam. Sehingga terkesan sejalur dengan stoikisme yang juga mengajarkan agar mengendalikan emosi.

Namun, di balik kemiripan itu, terdapat perbedaan mendasar. Stoikisme berorientasi pada pencapaian ketenangan batin demi kebajikan moral, dengan ukuran berdasarkan akal manusia. Sedangkan Islam berorientasi pada keridhaan Allah dan kebahagiaan akhirat, dengan ukuran berdasarkan wahyu. Dalam Islam, sabar bukan hanya strategi mental, melainkan ibadah yang berpahala. Tawakkal bukan sekadar menerima nasib, tetapi keyakinan penuh bahwa Allah adalah sebaik-baik Pengatur.

Lalu, mengapa penulis menyebutkan istilah Dakwah Stoikisme? Sederhananya, bukan berarti memadukan ajaran kedua hal tersebut. Melainkan menjadi sebuah strategi dalam komunikasi dakwah. Komunikasi sangat penting pada dunia dakwah itu sendiri, untuk dapat menyambungkan faham antara pembicara dan penerima pesannya. Jika seseorang sudah familiar dengan Stoikisme, pesan dakwah dapat dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, kita dapat menyampaikan, “Prinsip Stoikisme mengajarkan fokus pada hal yang bisa dikendalikan. Dalam Islam, ini sejalan dengan tawakkal, yakni berusaha maksimal lalu menyerahkan hasil kepada Allah.”

Dari titik ini, Stoikisme bisa dipahami sebagai bentuk kontekstualisasi pesan dakwah. Nilai-nilainya dipakai sebagai pintu masuk untuk menjelaskan prinsip Islam dengan bahasa yang akrab di telinga beberapa audiens. Kontekstualisasi bukan berarti menggabungkan, tetapi menjelaskan sesuatu sesuai dengan konteksnya. Yakni pesan keislaman melalui kata yang biasa dikenal oleh beberapa pendengar. Misalnya, ketika Stoikisme menekankan ketenangan jiwa di tengah musibah, hal itu bisa dikontekstualisasikan dengan konsep sabar dalam Islam. Sehingga tidak hanya tenang secara mental, akan tetapi bernilai ibadah dan mendatangkan pahala.

Dengan demikian pesan dakwah menjadi lebih komunikatif untuk diterima oleh beberapa audien tanpa kehilangan substansi. Islam tetap menjadi sumber utama, sementara stoikisme berfungsi sebagai ilustrasi pada ilmu yang populer pada akhir-akhir ini. Allah SWT sudah menegaskan kesempurnaan agama Islam dalam firman-Nya, seperti “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agamamu (QS. Al-Maidah: 3)”. Ayat QS. Al-Maidah: 3 menjadi dasar bahwa Islam tidak memerlukan tambahan secara subtansi. Namun sebagai manusia, khususnya sebagai pendakwah dapat menggunakan metode kontekstual agar lebih mudah dipahami berbagai kalangan.

Terakhir, kata “Dakwah Stoikisme” dapat dimaknai awal sebagai seni komunikasi dakwah kontekstual. Ia mengajarkan bahwa seorang pendakwah perlu bijak membaca audiens, memilih bahasa yang tepat, dan memanfaatkan apa yang mereka kenal sebagai jembatan untuk masuk pada nilai-nilai Islam. Dengan begitu, dakwah tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga menjembatani perbedaan cara pandang. Sehingga pesan Islam tetap murni sekaligus mampu menembus beragam lapisan masyarakat. Dalam dunia modern yang penuh arus pemikiran global, strategi semacam ini menjadi semakin relevan. Seorang pendakwah dituntut tidak hanya menguasai dalil. Tetapi perlu memahami psikologi, budaya, bahkan tren yang berkembang agar dakwah lebih diterima dengan baik.

Penyunting : M Rudi C

Abdur Rohman Assidiis
Abdur Rohman Assidiis
Tags: #FILSAFAT DAKWAH 01KomunikasiMetode DakwahStoikisme
Previous Post

Pawai Budaya Rejoso Nganjuk, Warga Empat Dusun Tumpah Ruah

Next Post

Sugeng Tindak KH Muhammad Thoifur Mawardi, Senyumnya Menyejukkan Ucapannya Menenangkan

Related Posts

Memaknai Tiga Ekspresi Kemerdekaan

Memaknai Tiga Ekspresi Kemerdekaan

by Nur Aziz Muslim
August 9, 2025
0

Kemerdekaan bukan sekadar hanya bebas dari penjajahan secara fisik, akan tetapi harus dimaknai sebagai suatu keadaan yang disitu bebas dari...

Merangsang Guru PAI Gairah Berliterasi

Merangsang Guru PAI Gairah Berliterasi

by Mukani
July 29, 2025
0

Tradisi literasi di Indonesia masih perlu ditingkatkan karena masih jauh dibanding negara-negara lainnya. United Nations Education, Scientific and Cultural Organization...

AKULTURASI BUDAYA SEBAGAI PILAR MODERASI DI LINGKUNGAN SOSIAL

AKULTURASI BUDAYA SEBAGAI PILAR MODERASI DI LINGKUNGAN SOSIAL

by elhimmah
July 18, 2025
0

Kehidupan masyarakat yang majemuk, perjumpaan budaya dan agama menjadi realitas yang tidak bisa dihindari. Sebut saja di Indonesia. Sebuah negeri...

Muhammad Nahdlatul Ulama: Begitu Saya Menyebutnya

Muhammad Nahdlatul Ulama: Begitu Saya Menyebutnya

by Ahmad Misbakhul Amin
July 13, 2025
0

Salah satu rangkaian KKN adalah program kerja. Untuk menggambarkan dan merancang program kerja dibutuhkan satu siklus urgen yakni observasi dan...

Next Post
Sugeng Tindak KH Muhammad Thoifur Mawardi, Senyumnya Menyejukkan Ucapannya Menenangkan

Sugeng Tindak KH Muhammad Thoifur Mawardi, Senyumnya Menyejukkan Ucapannya Menenangkan

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sosial Media

Terkait

Sugeng Tindak KH Muhammad Thoifur Mawardi, Senyumnya Menyejukkan Ucapannya Menenangkan

Sugeng Tindak KH Muhammad Thoifur Mawardi, Senyumnya Menyejukkan Ucapannya Menenangkan

August 19, 2025
Memahami Tren Wacana Untuk Penyampaian Pesan Dakwah Islam

Memahami Tren Wacana Untuk Penyampaian Pesan Dakwah Islam

August 19, 2025
Pawai Budaya Rejoso Nganjuk, Warga Empat Dusun Tumpah Ruah

Pawai Budaya Rejoso Nganjuk, Warga Empat Dusun Tumpah Ruah

August 19, 2025
Suluk.id - Merawat Islam yang Ramah

Suluk.id termasuk media alternatif untuk kepentingan dakwah. Dengan slogan Merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan.

Suluk.ID © 2025

  • Redaksi
  • Tentang
  • Disclaimer
  • Kerjasama
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan

Suluk.ID © 2025