Kepedulian masyarakat kepada negara hingga sampai golongan akar rumput. Terbukti dengan salah satunya obrolan tentang wacana demonstrasi bulan Agustus 2025 sudah sampai di lesehan warung kopi di pinggir alun-alun. Salah satu pertanyaan menarik yang menjadi topik pembicaraan kami, yakni apa yang bisa kita lakukan sebagai orang-orang yang tidak terjun ke lapangan mengawal aspirasi dengan cara berdemonstrasi? Saya bisa menjawab: perbaiki literasi dan kita rasani pemegang policy (kebijakan).
Paparan dan Propaganda dari Platform
Paparan dari platform (istilah lain dari media sosial) mengenai demonstrasi yang terjadi pada tanggal bulan Agustus 2025 tengah memadati pusaran informasi. Algoritma dengan sifatnya yang menyuguhkan preferensi konten berperan penting terhadap sebaran dan serapan informasi. Bukan lagi melalui media konvensional televisi dan radio, tetapi sudah menjalar kuat melalui kanal-kanal media sosial. Perihal demikian sudah umum menjadi pengetahuan publik. Bahwa paparan media sosial sudah menggeser kegagahan media konvensional sebelumnya (koran, majalah televisi, dan radio).
Beberapa lapisan masyarakat dengan mudah menerima informasi yang beredar melalui media sosial. Belakangan bahkan menganggap semua informasi di media sosial adalah informasi yang benar dan valid. Salah satu penyebab adanya efek kebenaran ilusi (Illusory truth effect). Jessica Udry & Sarah J. Barber (2024) mengungkapkan dari eksperimen yang dilakukannya. Bahwa informasi yang diulang-ulang di media sosial meningkatkan kepercayaan kepada sebuah misinformasi.
Sebab media sosial telah menyeting sedemikian hingga atas konten yang beredar. Audien cenderung menafsirkan informasi yang mereka cari dan mudah mengingat informasi yang mereka yakini sesuai dengan latar belakangnya. Kemudian diperkuat melalui algoritma media sosial yang menggiring pada informasi dan dalam ruang dengung tertentu (filter bubble and echo chamber effect). Padahal paparan media sosial sekarang menjadi sebuah halaman awal (front page) untuk mencari informasi.
Sesuai dengan survei yang dilakukan Reuters Institute bahwa 60% masyarakat Indonesia mengakses berita melalui media sosial. Good State merinci bahwa sekitar 40% berasal dari usia 18-24 dan sebanyak sekitar 38% dari kalangan usia 24-35 tahun. Artinya terjadi pergeseran minat (preferensi) ke media sosial sebagai tempat mengakses informasi utama, bukan lagi melalui mesin pencarian seperti google, Yahoo, Bing dan sebagainya.
Kemudian bagaimana terpaan wacana yang berkembang terkait peristiwa yang terjadi mengenai demonstrasi massa belakangan. Hasil wawancara narasumber dari kalangan Gen – Z. Beberapa mengaku menyimak informasi demonstrasi melalui media sosial. Namun tidak secara langsung memahami isi (substansi) dari aksi demonstrasi. Beberapa pula mengaku hanya mengikuti kata teman untuk mengikuti euforia tawuran.
Terpaan informasi tentang demonstrasi nyatanya sudah membuat suasana semakin bertambah kisruh. Tentu media sosial bukan sebagai alasan utama sebagai penyulut emosi publik. Walaupun sebelumnya ‘influencer’ media sosial juga yang membuat unggahan mengenai tingkah laku yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh pejabat publik. Namun di sisi lain, pasti setiap gerakan masyarakat tersebut ada yang memengaruhi pikiran masyarakat (opinion leader). Namun peran media sebagai ‘kompor’ propaganda gerakan akan sangat mudah mengobarkan gerakan dari awal hingga puncak aksi massa.
Mengawal Informasi dan Menangkal Disinformasi
Banyak kali para praktisi media, akademisi, hingga ahli menggaungkan untuk terus berhati-hati dengan informasi yang tersebar melalui media sosial. Karena sifat media sosial sebagai platform user-generated content (konten dibuat oleh pengguna), maka sebebas itu pula pengguna membuat dan menyebarkan konten. Tidak seperti media massa yang harus melakukan pekerjaan lebih panjang. Mulai dari pengumpulan, menguji kebenaran, hingga melakukan pengecekan ulang (verifikasi) informasi sebelum disebarkan kepada publik. Maka langkah yang bisa ditempuh pada masa-masa huru-hara (chaos) seperti ini jika tidak turun ke jalan yakni dengan mengawal kredibilitas informasi dan menangkal disinformasi.
Hati-hati dengan konten provokatif dan judul clickbait. Pastikan melihat secara keseluruhan antara judul dan isinya. Terkadang tidak semua isi dari informasi sesuai dengan judul yang ditampilkan. Karena mayoritas audien lebih nyaman untuk melihat judul yang singkat dan bombastis daripada melihat lebih dalam lagi tentang isi.
Kemudian biasakan mempunyai pikiran skeptis dan kritis. Baca kembali bagaimana aktivitas mengakses media sosial dapat menjadi propaganda melalui terpaannya. Selanjutnya mengenali dan mencari dari situs, influencer terpercaya, mempunyai kredibilitas dan terverifikasi. Langkah berikut nya yang bisa dilakukan, bandingkan informasi dengan media massa lain. Periksa penulis dan profil redaksi. Terlebih memeriksa kembali video atau foto menggunakan situs Google Lens, Yandex atau semacamnya untuk memverifikasi keasliannya. Karena terkadang informasi yang tersebar bukan dari situasi terkini.
Pada akhirnya gerakan masyarakat sebagai bentuk partisipasi dalam negara demokrasi sangat penting untuk dilakukan. Sebagai penyeimbang antara aspirasi dan policy (kebijakan) yang diambil oleh pemegang kebijakan. Huru-hara menjadi salah satu bukti kemarahan rakyat agar pemegang kebijakan harus segera mempertimbangkan dengan kebutuhan rakyat dan segera melakukan berbenah dengan tindakan nyata. Termasuk perihal cara berkomunikasi kepada rakyat.

Islamic digital activist. Mugi Barokah Manfaat