Salah satu rangkaian KKN adalah program kerja. Untuk menggambarkan dan merancang program kerja dibutuhkan satu siklus urgen yakni observasi dan beberapa pengamatan. Beberapa pengamatan telah saya lakukan bersama dengan beberapa kawan. Pengamatan empiris biasanya dilakukan melalui tiga media seperti FGD (Forum Group Discution), observasi, dan dokumentasi. Ketiganya biasanya dilakukan mahasiswa KKN apalagi yang metode pengabdiannya menggunakan ABCD, persis dengan metode yang digunakan KKN Nusantara.
Kegiatan pengamatan dan siklus survei itu yang aku lakukan selama seminggu ini. Di KKN Nusantara ini salah satu pengamatan yang saya lakukan adalah bagaimana kultur religi itu dibentuk untuk melahirkan fakta sosial. Ada setidaknya dua tempat ibadah yang selalu saya kunjungi, Mushola dan Masjid. Satu cerita menarik yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ringan ini adalah pengalaman Shalat Jumat pertama kali di desa yang saya gunakan KKN. Tulisan ini bukan hendak menyudutkan ataupun menjustifikasi beberapa pihak, sifatnya hanya deskripsi bukan analitis seperti artikel ilmiah ataupun jurnal penelitian.
Sebut saja Masjid Al Hikmah, salah satu masjid yang berdiri di tengah kultur Jawa kental di Kulon Progo Yogyakarta. Shalat Jumat dimulai tepat jam 12 siang. Terlihat banyak pria paruh baya menyandang sajadah bersongkok hitam dan berjalan dengan rapi ke masjid untuk menunaikan Shalat Jumat termasuk saya pribadi. Mulanya khatib menyampaikan khotbahnya, saya menyimak dengan saksama. Bahasa yang digunakan bahasa Jawa kental, terkesan agak keras kemungkinan khatib ingin menciptakan suasana patriotik dan semangat. Isi khotbahnya tentang tobat, sesekali Khotib menukil ayat Al Quran ataupun hadis untuk menguatkan argumentasi yang disampaikannya. Ada pula kisah yang disampaikan, seperti tobatnya pemuda yang tekah membunuh 98 orang dan kemudian diampuni dosanya sebab ia mati dalam keadaan khusnul khatimah.
Informasinya warga muslim setempat pengikut organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah, jelas ini berbeda dengan kultur saya yang dilahirkan di lingkungan NU dan dibesarkan di pesantren yang basic keagamaannya adalah Nahdiyin. Itu semua tidak masalah, salah satu skil yang saya punya adalah bisa menyesuaikan dengan siapa saya hidup dan bertempat. Dua hal yang saya soroti. Pertama, Khotib menyampaikan khotbah dua kali. Jika kita mencoba merefleksikan diri dengan membuka kitab fikih seperti Fath Al Qarib dan Fath Al Muin yang biasa digunakan kaum Nahdiyin, bahwa khotbah dalam Shalat Jumat dilakukan dua kali. Ini jelas berbeda dengan apa yang dilakukan masyarakat muslim Muhammadiyah.
Pandangan subyektif penulis, berdasarkan pengalaman pribadi bahwa kaum Muhammadiyah cenderung melangsungkan satu khotbah dalam Shalat Jumat. Terkadang ini yang menjadi ciri khas antara santri Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Tapi tidak dengan khotbah di masjid yang saya gunakan Shalat Jumat bersama dengan teman-teman. Khotbah disampaikan dua kali, persis dengan yang dilakukan teman-teman Nahdiyin. Secara hukum adat Muhammadiyah jelas saya tidak punya kapasitas untuk membicarakan apa lagi mempersoalkannya, yang pasti ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh warga nahdiyin.
Kedua, ada tambahan sayidina dalam redaksi shalawat. Kesan karakteristik kedua adalah bahwa kaum Muhammadiyah kurang menggunakan atau terkesan meninggalkan redaksi sayidina untuk shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Berbeda dengan kaum nahdiyin, yang pasti menggunakan redaksi sayidina untuk shalawat. Lagi-lagi ini tidak saya temukan di masjid yang infonya bermayoritas Muhammadiyah itu. Khotib dengan gagahnya menyampaikan shalawat dan mengutip hadis nabi dengan imbuhan sayidina tiap kali menyebut asma nabi. Tentu ini berbeda dengan tradisi yang biasa digunakan masyarakat Muhammadiyah di daerah Jawa Timur. Keduanya jelas menjadikan saya penasaran, apa memang iya mayoritas penduduk muslim di pemukiman ini Muhammadiyah.
Belum selesai memikirkan hal itu, iqamat sudah dikumandangkan. Sesegera mungkin saya mengambil tempat dan bersiap untuk melakukan Shalat Jumat secara berjamaah. Imam telah berada di tempatnya dan dengan lantang memulai Shalat dengan bacaan takbir. Diam sejenak untuk membaca iftitah dan kemudian dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah tanpa bismillah. Ayat satu Surat Al Fatihah itu tidak dibacanya, atau mungkin dalam versi lain bacaan bismillahnya dilirihkan. Ini tentu karakteristik Muhammadiyah, bukan Nahdlatul Ulama. Warga Nahdlatul Ulama yang mayoritas pengikut Imam Syafii dalam urusan fikih cenderung meyakini bahwa bismillah merupakan bagian dari Surat Al Fatihah dan keduanya wajib dibaca secara berurutan. Kedua fenomena di atas secara motorik saya rangsang untuk menjustifikasi bahwa tradisi yang digunakan adalah Nahdlatul Ulama, tapi tidak dengan fenomena terakhir di mana Imam tidak membaca bismillah di awal fatihahnya.
Kebingungan demi kebingungan ini muncul sejalan dengan beberapa tradisi yang memang secara kultural mengakar kuat di dusun yang saya gunakan KKN. Ada banyak tradisi lokal dan budaya yang kemungkinan besar terjadi sebab akulturasi antar budaya dan nilai keagamaan. Fenomena ini jelas fenomena unik dan menarik untuk dilihat dari banyak sudut andang misalnya dari sisi fikih praktisnya, tasawufnya, ataupun di sisi resepsi penerimaan teks kanonis keduanya. Bayangkan saja, di awal saya menduga bahwa masjid dan jamaah yang Shalat Jumat di sini adalah Muhammadiyah terpatahkah, karena Khotib berkhotbah dua kali dan membaca redaksi sayidina tiap kali menyebut nama Nabi Muhammad saw. Namun lagi-lagi praduga saya juga terpatahkah lagi mana kala saya melihat tradisi Nahdlatu Ulama di sini tetapi terbantahkan degan bukti bahwa imam tidak membaca bismillah secara literal. Apapun itu, ini adalah satu gejala sosial yang dapat dilihat dari berbagai banyak sudut pandang. Ini yang saya maksud dengan Muhammad Nahdlatul Ulama
Penulis: Ahmad Misbakhul Amin.