Genap lah sudah perjalanan spiritual, selama 30 hari mendendangkan lantunan syair mahabah disetiap bangunan suci seantero Nusantara bahkan dunia. Ayat-ayat Tuhan berkumandang indah menghiasi disetiap malam pasca ritualitas sholat tarawih yang penuh makna. Mereka silih berganti dan saling bersahutan mendendangkan ayat-ayat suci Tuhan.
Perjalanan itu penuh dengan liukan yang menantang, sebagaimana seseorang yang mendendangkan lagu kerinduan pada kekasihnya. Disetiap hembusan nafas kehidupan selalu terlantunkan namanya. Mereka harus mampu menahan sebuah keinginan yang membuncah dan akan berdampak pada percikan perpisahan. Dan mereka harus berbagi, karena mencinta harus saling memahami dan mengerti.
Sisi-sisi kemanusiaan akan memancarkan cahaya dalam diri seorang hamba, spiritualitas yang kuat disandingkan dengan nurani solidaritas kemanusiaan akan mampu melahirkan harmoni dalam bingkai kebersamaan di bulan suci Ramadhan. Ramadlan yang penuh dengan kesyahduan, ramadlan yang penuh keberkahan, ramadlan yang penuh dengan ampunan. Semua akan bermuara pada indahnya kehidupan sebagaimana syair Rumi.
Meski ragamu kan memucat sebab puasa
Namun, jiwamu kan melembut bagai sutra
Do’a-do’a di bulan ini mustajab
Pintu-pintu langit kan terbuka
Yusuf menjadi pemimpin Mesir yang dicintai
Sebab ia bersabar dalam sumur gelap tak terperi
(Rumi, Divan-e Syams, Puisi 2344).
Dan saat ini, gema takbir menyebut kebesaran-Nya berkumandang laksana ombak yang saling berkejaran di pesisir pantai timur. Fenomena yang hanya hadir sekali disetiap tahun. Seolah-olah tidak mau lepas dari sebuah ikatan yang sudah terjalin kuat. Baik di Masjid, Mushola, rumah, dan bahkan disepanjang jalan. Mereka bergerak dalam tarikan nafas cinta mengagungkan nama Tuhannya. Atas nama cinta, mereka melesat laksana banjir bandang, dengan kecepatan rasa menuju muara yang dicintainya.
Kalau kita membaca dalam filsafat Yunani ada sebuah istilah yang mungkin klise bagi kita yaitu agape yakni mencintai tanpa syarat. Sebuah perjalanan para pencinta dalam pencapaiannya tidak lagi mengharapkan sesuatu dari yang dicintainya. Ia hadir dengan kesadaran penuh dalam ruang batin untuk melakukan perjalanan pulang memenuhi kerinduan.
Kerinduan Tak Mengenal Efisiensi
Kehadiran mereka dalam menempati ruang dan waktu, menunjukkan bahwasanya kerinduan tak mengenal efisiensi. Mereka kembali ketanah kelahiran dari perjalanan panjang akan sebuah pengorbanan dan perjuangan untuk merasuk pada ruang kebahagian. Bertemu dengan kekasih hatinya dan orang-orang yang dicintainya. Tidak hanya mereka yang masih menapak jejak di tanah kelahiran. Akan tetapi kerinduan pada orang-orang yang sudah mendahulinya. Dengan rasa yang bergemuruh di dada, mereka berjalan perlahan menuju tanah persemayaman diakhir kehidupan. Duduk bersimpuh melafadkan do’a dan menaburkan bunga segar yang harum semerbak tertiup angin di pekuburan. Setelah memenuhi kerinduan di persemayaman, ia duduk dan menerawang jauh, di sinilah dulu perjalanan kehidupan di mulai.
Perjalanan panjang itu, telah memberikan sebuah pembelajaran bahwasanya sejauh mana kita berada akan kembali pada kebenaran cinta. Kerinduan yang tak dapat dibahasakan hanya bisa dirasakan. Gema Takbir yang berkumandang di tanah kelahiran, mengingatkannya pada sejarah kehidupan dimasa nan lalu. Bersama teman sebayanya membawa obor yang terbuat dari bambu berkeliling desa dengan mengumandangkan dendang takbir Keagungan. Bercanda dan saling berkejaran dengan sesama teman. Dan tertidur pulas di Langgar tua.
Idul Fitri Memperkuat Silaturrahmi
Setelah tertidur pulas di sebuah langgar tua, subuh pun menyapa dan anak desa bergegas pulang untuk mempersiapkan diri melaksanakan sholat Idul Fitri. Namun sekarang keliahatanya sudah tak ada lagi. Anak-anak lebih suka menyendiri dengan ditemani produk globalisasi. Ruang kesejarahan dalam perjalanan memori kehidupan tak lagi berarti.
Selanjutnya sungkem memohon maaf kepada kedua orang tua, mereka bergegas bersama teman-temanya berkeliling desa. Membangun ruang kebersamaan dalam memperkuat silaturrahmi. Dari satu rumah ke rumah dengan keceriaan memohon maaf pada seluruh semesta. Bangunan peradaban yang mengalir indah dan sekarang mulai bubrah.
Hari yang mulia itu dalam terminologi Arab dinamakan “Idul Fitri. Sebuah harapan kesucian hadir dalam perjalanan kehidupan. Yakni sebuah ikatan suci yang bersifat vertikal antara hamba dengan Tuhannya. Dan bersifat horizontal yakni kesucian yang hadir dalam relasi sesama ciptaan Tuhan. Karena itulah hari raya Idul Fitri merupakan siklus kefitrahan manusia yang wajib diupayakan menjelma menjadi ruang kebatinan yang didasari dengan kesantunan, kejujuran, rendah hati dan mau memaafkan.
Momentum Idul Fitri merupakan upaya menciptakan dan merajut lagi bangunan peradaban itu hadir. Dengan menciptakan sejarah baru dalam himpitan arus modernisasi. Dengan demikian kita memasuki lembaran perjalanan Idul Fitri dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan. Menjadikan hari yang mulia, sebagai langkah penting terciptanya keharuman pada bunga kefitrian. Selamat hari raya Idul Fitri, semoga kesucian cinta yang menjelma pada keluhuran budi menjadi benteng moralitas di bumi Nusantara ini.

Dosen IAINU Tuban – Pasulukkan Literasi Nuswantoro