Kehidupan masyarakat yang majemuk, perjumpaan budaya dan agama menjadi realitas yang tidak bisa dihindari. Sebut saja di Indonesia. Sebuah negeri dengan ragam etnis, bahasa, dan kepercayaan, telah lama menjadi laboratorium sosial yang memicu terjadinya akulturasi budaya. Alih-alih memicu konflik, akulturasi ini justru menjadi potensi ciptakan tatanan hidup yang moderat, saling menghargai, dan damai.
Salah satu bentuk akulturasi yang menarik di sini adalah tradisi ziarah. Dalam Islam, ziarah kubur menjadi salah satu praktik spiritual yang bertujuan mengingat kematian, mendoakan leluhur, serta memperkuat nilai keimanan. Sementara dalam tradisi Katolik, umat juga mengenal praktik ziarah, seperti yang dilakukan di Goa Maria Watu Blencong (Borosuci, Banjarasri , Kulon Progo) yang merupakan tempat perenungan dan doa serta kerap dikunjungi dengan maksud mencari ketenangan batin dan memperkuat relasi spiritual dengan Tuhan. Dua tradisi ini menunjukkan bahwa dalam laku keagamaan, terdapat kesamaan titik benang merah yaitu terdapat nilai nilai yang menyatukan penghormatan terhadap yang transenden dan juga pencarian makna kehidupan.
Ketika umat Islam dan Katolik sama-sama menjalankan tradisi ziarah, bukan hanya bentuk spiritualitas yang ditegaskan, melainkan juga terbentuk ruang dialog budaya yang memungkinkan tumbuhnya empati dan toleransi. Misalnya, warga yang tinggal berdampingan di sekitar Goa Maria Watu Blencong, mereka akan saling menjaga suasana damai meski berbeda keyakinan. Selain itu dalam banyak kasus pun, sering kali dijumpai masyarakat Muslim terlibat langsung dalam menjaga ketertiban disaat berlangsungnya perayaan keagamaan Katolik. Inilah contoh nyata bagaimana akulturasi budaya menciptakan ruang moderasi, bukan sekadar dalam tataran simbolik, tetapi dalam tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Di era polarisasi dan kecenderungan eksklusivisme, praktik-praktik akulturatif semacam ini perlu terus dirawat dan dikuatkan. Pendidikan multikultural, ruang-ruang dialog lintas agama, serta pengakuan terhadap kearifan lokal yang menyatukan semuanya menjadi fondasi penting bagi tumbuhnya moderasi yang sejati. Moderasi bukan berarti mencairkan identitas agama atau budaya yang dianut, melainkan kemampuan untuk bersikap adil, seimbang, dan inklusif.
Dengan demikian, akulturasi budaya bukan sekadar proses historis belaka, melainkan strategi sosial yang hidup dan relevan dalam membentuk masyarakat yang toleran dan damai. Sebagaimana adanya tradisi ziarah lintas iman menunjukkan bahwa keberagaman bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dirayakan dalam kebersamaan. Maka, moderasi tumbuh bukan dari wacana semata, tetapi dari praktik hidup sehari-hari yang bersandar pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Saidatun Nisa’
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung