Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2025 ini mengambil tema Partisipasi Semesta, Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua. Sejak era Presiden Soekarno, peringatan Hardiknas sudah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Penetapan itu berdasarkan tanggal 2 Mei 1889, hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh dunia pendidikan di Indonesia.
Keterjarakan
Pendidikan adalah investasi berharga bagi masa depan suatu bangsa, termasuk Indonesia. Apa yang terjadi sekarang adalah menjadi tugas bersama untuk terus berproses menata agar ke depan menjadi lebih baik. Indonesia patut berbangga karena sudah memiliki sistem pendidikan, meskipun belum mampu terstruktur secara apik berdasarkan zamannya. Ini karena sejarah Indonesia sebagai bangsa adalah panjang, termasuk dalam perspektif pendidikan.
Dialektika pemikiran, di satu sisi, selain berfungsi sebagai kanal-kanal pemikiran, menurut Prof Masdar Hilmy (2022), juga dapat berfungsi sebagai kanal-kanal kegelisahan psiko-sosial terhadap menggelindingnya bola salju perubahan. Di setiap perubahan terdapat pergeseran-pergeseran nilai yang dianut oleh masyarakat. Dari nilai-nilai lama menuju nilai-nilai baru. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan mewadahi membuncahnya kekhawatiran dan kegelisahan psiko-sosial dimaksud melalui dialektika pemikiran yang sehat.
Proses transformasi sebuah masyarakat akan berjalan mulus karena didasarkan pada sebuah proses pertimbangan yang panjang atas pilihan-pilihan sosial yang dibuat oleh mereka. Tidak bisa dibayangkan jika proses membuncahnya segala bentuk kekhawatiran dan kegelisahan psiko-sosial tersebut tidak terakomodasi dengan baik melalui lembaga pendidikan, maka bisa dipastikan akan terjadi kekacauan (chaos) di sana-sini.
Terdapat keterlibatan rasionalitas publik, berapapun derajatnya, dalam proses transformasi masyarakat yang menggiring pada pilihan-pilihan kolektif. Pilihan ini, menurut Arthur Lupia dalam Constructing a Theory of Reasoning (2000), yang pada akhirnya menjadi rujukan bagi praktik, adat-istiadat atau norma etika-sosial masyarakat dimaksud. Ada proses penyeleksian yang dilakukan terhadap pilihan-pilihan yang ada sesuai dengan tingkat berpikir dan konteks politik-sosial sebuah masyarakat. Semakin tinggi tingkat rasionalitasnya, semakin tinggi pula tingkat peradaban sebuah masyarakat.
Paradigma deduktif dalam dunia pendidikan Indonesia selama ini cenderung mengabaikan pengalaman empiris dan kehidupan sehari-hari sebagai bagian integral dari proses pembelajaran. Murid sering mengalami kesulitan dalam memahami dan menguasai materi pembelajaran karena keterjarakan teori yang dipelajari dari pengalaman atau realitas kehidupan sehari-hari. Padahal, menurut John Dewey, dalam Experience and Education (1997), inti pendidikan adalah mengalami. Oleh sebab itu, pengalaman sehari-hari adalah laboratorium terpenting dalam pendidikan.
Pola pembelajaran berparadigma deduktif ini mengingatkan kita kepada teori Banking Concept of Education-nya Paulo Freire (1970) yang lebih menekankan kepada aspek resepsi ketimbang produksi pengetahuan. Dalam konteks ini, murid diberlakukan sebagai “bejana” kosong yang siap menerima materi apapun dari sang guru tanpa ada proses dialektika analitis-kritis. Mestinya, pendidikan harus mampu membangkitkan kesadaran eksistensial murid lewat keterpaparan pada pengalaman hidup sehari-hari.
Tidak heran jika sebagai salah satu alternatif solusi konkrit, kemudian Mendikbud Prof Abdul Mu’thi mengenalkan pendekatan deep learning dalam pembelajaran. Deep learning mendorong murid untuk menghubungkan teori dengan dunia nyata, berpikir kritis dan menciptakan pengetahuan baru. Pendekatan ini dibangun dari tiga pilar, yaitu pembelajaran sadar (mindful learning), pembelajaran bermakna (meaningful learning) dan pembelajaran menyenangkan (joyful learning). Ketiganya beriteraksi secara kuat sehingga mampu berkontribusi dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Optimisme
Pendidikan di Indonesia menjadi elemen vital dalam menyiapkan generasi emas saat 100 tahun Indonesia merdeka. Pada tahun 2045 nanti, Indonesia diprediksi akan memperoleh bonus demografi. Ini berarti penduduk usia produktif antara 15-64 tahun akan lebih besar dibanding usia non-produktif di atas 65 tahun. Usia produktif di Indonesia memperoleh proporsi lebih dari 60% jumlah total penduduk.
Pemanfaatan bonus demografi itu, menurut Prof. Ngainun Naim (2024), tentu harus diiringi dengan penguasaan teknologi yang mumpuni. Ini dikarenakan jejaring sosial berbasis internet telah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan manusia sekarang ini. Ada banyak hal baru dan juga budaya baru yang muncul sebagai implikasinya.
Perkembangan sains dan teknologi ini, pada tataran waktu tertentu, diprediksi akan menggerus spirit nasionalisme generasi muda. Ini dikarenakan kecanggohan teknologi sudah tidak mengenal batas antar negara. Sehingga sikap arif dan bijak wajib ditunjukkan dalam mengelola informasi yang diperoleh dari kemajuan teknologi.
Sebagai tulang punggung bangsa, kaum muda sudah waktunya tampil di depan untuk menunjukkan pengabdian sebagai agen perubahan. Namun, strategi harus ditata dengan baik agar perjuangan tidak sia-sia. Ini karena mereka inilah yang akan banyak “berbicara dan berbuat” dalam mewarnai Indonesia ke depan.
Menurut Prof. Azumardy Azra (1999), kaum muda Indonesia memiliki sejumlah modal dasar yang memadai untuk mewujudkan cita-cita ini. Di antara modal dasar terpenting adalah kenyataan bahwa rakyat dan bangsa Indonesia adalah amat agamis, yang sangat menghormati ajaran-ajaran agama. Pendidikan berperan penting untuk terus mengawal mereka dalam memahami bangsa dan negaranya. Tentu tetap dilakukan “penyesuaian pendekatan” yang digunakan sesuai zamannya.
Tradisi ilmiah dalam dunia pendidikan juga masih perlu didorong. Kontribusi nyata dalam menghasilkan karya-karya ilmiah pada pengembangan sains menjadi ranah penting untuk terus membangun peradaban bangsa. Gerakan literasi harus terus disemai secara berkesinambungan oleh para pelaku pendidikan, terutama bagi para generasi muda. Tidak sekedar membaca, gerakan literasi menyandarkan pergerakan kepada publikasi ilmiah dalam ikut menyebarkan gagasan dan temuan, sebagai sebuah tradisi ilmiah yang perlu terus dilestarikan.
Berbagai isu kontemporer dunia pendidikan Indonesia harus terus mendorong para pelakunya untuk melakukan refleksi. Peringatan Hardiknas diharapkan mampu menstimulasi semua pihak secara kontinyu untuk tetap memberikan partisipasi konkrit kepada dunia pendidikan agar kehadirannya tetap relevan dengan kebutuhan rakyat Indonesia. Sehingga akan terus muncul alternatif pemikiran pendidikan dalam memberikan secercah harapan bagi perbaikan mutu pendidikan bagi semua rakyat Indonesia.*
Penulis : Mukani – Praktisi Pendidikan dan Penulis Buku Membaca Pendidikan Indonesia (2022)
Dosen STAI Darussalam Krempyang Nganjuk