Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diyakini sebagai firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam yang menjadi pedoman hidup bagi umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan, baik spiritual, moral, sosial, maupun hukum. Al-Qur’an memberikan petunjuk hidup yang komprehensif, yang diharapkan dapat membimbing umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun, ada sebuah gagasan yang menarik mengenai Al-Qur’an yang diungkapkan oleh Aksin Wijaya, seorang akademisi dan cendekiawan Muslim Indonesia yang terkenal dalam bidang Al-Qur’an dan Tafsir. Aksin Wijaya mengemukakan bahwa sebenarnya Al-Qur’an, atau lebih tepatnya Mushaf Utsmani, tidak dapat menampung seluruh gagasan atau wahyu Tuhan. Menurut Aksin, wahyu yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW memiliki dimensi yang lebih luas, dan Al-Qur’an yang kita miliki saat ini hanya dapat menampung sebagian dari wahyu tersebut.
Sejak era klasik, para ulama memperdebatkan empat aspek utama terkait wahyu (Al-Qur’an), yakni asal-usul istilah Al-Qur’an, status wahyu sebagai hadits (sesuatu yang diciptakan) atau qadim (sudah ada sejak dulu), hubungan antara lafaz dan makna, serta penggunaan bahasa Arab atau non-Arab. Aksin Wijaya berpendapat bahwa perdebatan ini belum mampu menjadikan Al-Qur’an sepenuhnya berfungsi sebagai petunjuk bagi semua situasi dan kondisi. Hal ini dikarenakan adanya wahyu yang terlalu dianggap sakral, sehingga hanya tafsir klasik dari ulama tertentu yang diterima. Akibatnya, pendekatan baru untuk memahami wahyu hampir tidak mendapat ruang.
Aksin pun menawarkan cara pandang baru untuk membongkar “kesakralan” yang selama ini melekat pada wahyu. Dengan begitu, metode lain bisa digunakan untuk memahami wahyu secara lebih luas. Menurut Aksin, perdebatan ini muncul karena kurangnya kategorisasi antara wahyu sebagai kalam Tuhan, Al-Qur’an sebagai wahyu berbahasa Arab, dan Mushaf Utsmani sebagai produk tertulis. Ia menegaskan bahwa kategorisasi ini dapat membongkar lapisan budaya yang selama ini melekat pada wahyu Tuhan.
Secara umum, umat Islam memahami wahyu sebagai pesan Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Namun, Aksin Wijaya memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, wahyu adalah komunikasi langsung antara Tuhan dan Nabi Muhammad tanpa adanya perantara. Dalam proses ini, Nabi melepaskan dimensi kemanusiaannya untuk dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Komunikasi tersebut berlangsung dalam “bahasa parole,” yaitu bahasa non-ilmiah yang hanya dipahami oleh Tuhan dan Nabi Muhammad. Bahasa ini tidak terikat oleh struktur linguistik manusia, sehingga dianggap sepenuhnya murni dan autentik sebagai pesan Tuhan.
Setelah menerima wahyu dalam bentuk bahasa non-ilmiah, Nabi Muhammad memiliki tugas untuk menyampaikan pesan tersebut kepada umat manusia, khususnya masyarakat Arab sebagai audiens awal. Untuk itu, wahyu diterjemahkan oleh Nabi ke dalam bahasa Arab, bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat pada saat itu. Proses ini dikenal sebagai “naturalisasi wahyu,” di mana wahyu Tuhan mulai berinteraksi dengan sistem bahasa manusia. Pada tahap ini, wahyu yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dikenal sebagai Al-Qur’an. Namun, karena wahyu telah melebur dalam kerangka bahasa manusia, Al-Qur’an dianggap hanya mampu menampung sekitar 70% dari esensi wahyu Tuhan.
Seiring berjalannya waktu, perbedaan dalam membaca Al-Qur’an menimbulkan konflik di kalangan umat Islam. Untuk mengatasi hal ini, Khalifah Utsman bin Affan memutuskan untuk membukukan Al-Qur’an dalam satu versi resmi yang menggunakan bahasa Quraisy. Versi ini, yang dikenal sebagai Mushaf Utsmani, menghilangkan semua variasi bacaan dan menetapkan satu bentuk standar tertulis. Pada tahap ini, wahyu Tuhan dianggap hanya mampu ditampung sekitar 50%, karena proses standarisasi dan pembukuan ini lebih menekankan pada keseragaman dan struktur manusiawi. Menurut Aksin Wijaya, hal ini membuat sebagian dari pesan ilahiah terpenjara oleh budaya dan sistem tulisan manusia.
Dengan adanya pembagian tersebut, muncul implikasi bahwa tanpa disadari, kedudukan Hadis dapat diposisikan sejajar dengan Al-Qur’an. Ini dikarenakan Hadis, seperti halnya Al-Qur’an, juga mengandung kekayaan bahasa yang tinggi, termasuk unsur-unsur balaghah (retorika) seperti isti’arah (personifikasi) dan tasybih (penyerupaan). Kedua sumber ini memiliki keindahan bahasa yang tidak hanya menyampaikan makna tetapi juga memberikan kesan mendalam melalui struktur bahasanya. Dalam konteks Al-Qur’an, keajaiban bahasa (i’jaaz) dan kepadatan makna (ijaaz) menjadi bukti kemukjizatannya. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak hanya dipahami dari sisi maknanya saja tetapi juga dari keindahan dan kekuatan bahasanya.
Demikian pula Hadis memiliki dimensi linguistik yang tidak kalah pentingnya. Gaya bahasa Hadis sering memanfaatkan keindahan retorika untuk menyampaikan pesan moral dan ajaran agama. Hal ini menunjukkan bahwa baik Al-Qur’an maupun Hadis memiliki dimensi bahasa yang luar biasa, yang layak untuk dikaji lebih mendalam, bukan hanya dari sisi isi tetapi juga dari sisi estetikanya.
Oleh Nabila Rahma Al Aghna
Mahasiswa Ilmu Hadis
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung