Tradisi literasi di Indonesia masih perlu ditingkatkan karena masih jauh dibanding negara-negara lainnya. United Nations Education, Scientific and Cultural Organization (Unesco) tahun 2024 kemarin menempatkan Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia. Minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca.
Di tahun yang sama, penelitian CEOWorld menunjukkan hasil mencengangkan. Lembaga ini mensurvei negara-negara yang paling rajin membaca buku dalam satu tahun. Ranking tertinggi diduduki oleh Amerika Serikat dengan 357 jam setiap tahun digunakan membaca buku. Sedangkan Indonesia “bertengger” di ranking 31 hanya dengan 129 jam.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan
hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang rajin membaca buku. Angka ini menunjukkan tingkat minat literasi yang rendah di kalangan masyarakat. Sedangkan Kurniawan Muhammad (2022) menulis bahwa dari 24 jam waktu sehari, masyakarat Indonesia hanya menggunakan 1% untuk tradisi tulisan. Sisanya budaya lisan.
Sadar Literasi
Literasi dimaknai sebagai orang yang belajar, karena berasal dari bahasa Latin yaitu literatus. Kata literasi sebenarnya merujuk kepada kemampuan dan keterampilan seseorang dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dengan cara mengolah dan memahami informasi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI membagi literasi menjadi baca-tulis sebagai dasar. Baru kemudian meningkat menjadi literasi numerasi, literasi sains, literasi budaya, literasi finansial dan literasi digital.
Sebagai seorang pendidik, guru mata pelajaran pendidikan agama Islam (PAI) bertugas secara akademis dalam membantu murid untuk beragama semakin meningkat. Baik yang di jenjang TK, SD, SMP, SMA maupun SMK. Selain mendidik, sebagaimana guru lainnya, guru PAI juga dituntut untuk memberikan teladan dalam implementasi keberagaman. Termasuk dalam melakukan publikasi karya yang sudah dihasilkan.
Menurut Hasti Budi Santoso (2023), puncak dari kemahiran guru dalam berliterasi terletak dari pengembangan profesi. Artinya, guru harus berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengembangan profesi di forum guru atau lembaga profesi. Guru harus menunjukkan kegemaran membaca, memiliki kompetensi menulis, membagi dan menuliskan praktik baik pembelajaran dan/atau penelitian.
Agar guru PAI mampu membudayakan literasi, komitmen kuat harus dijaga. Motivasi utama untuk mendapatkan koin dan poin dalam menulis. Secara konsisten, luangkan waktu untuk berkarya. Terkadang, semangat harus dipaksa untuk berliterasi. Guru PAI juga harus berani menerbitkan karyanya. Kritik pembaca adalah obat bagi perbaikan karya selanjutnya. Guru PAI seyogyanya tidak mudah puas dengan hasil yang sudah ada dan terus mencoba bentuk lain publikasi.
Sumber tulisan karya guru PAI bisa berasal dari lingkungan sekolah, terutama yang unik dan menginspirasi. Kebijakan pemerintah, pernyataan tokoh dan berita di media massa yang sedang aktual juga bisa dijadikan bahan awal dalam menulis karya. Kajian terhadap kitab referensi sebagai rujukan (turats) maupun buku teks pelajaran juga dimungkinkan menjadi sumber tulisan bagi guru PAI.
Sebagai penulis yang baik, guru PAI harus menulis berdasar fakta dan bukan hoax serta tidak menjelekkan yang lain (hate speech). Dalam suatu tulisan, hendaknya ada sisi menarik, unik, baru dan menginspirasi. Ejaan dan kaidah tulisan juga wajib diperhatikan. Termasuk juga terbuka untuk minta masukan dari ahli atau teman sebaya. Pada tahap awal, dimungkinkan juga menulis berkolaborasi bersama teman-teman guru lainnya, misalnya berbentuk buku antologi. Dan terakhir, tidak menyerah untuk terus berlatih jika karya masih ditolak untuk diterbitkan.
Bervariasi
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPAN-RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional, mengkategorikan guru sebagai salah satu jabatan fungsional keahlian. Jenjang jabatan yang bisa dilalui mulai ahli pertama, ahli muda, ahli madya hingga ahli utama. Dibutuhkan keahlian tertentu agar seorang guru bisa melakukan kenaikan pangkat.
Salah satu keahlian akademik yang bisa dilakukan guru adalah melakukan publikasi. Bentuk tulisan yang bisa dihasilkan guru PAI juga bervariasi. Tidak melulu berupa penelitian tindakan kelas (PTK). Tapi juga bisa berupa opini atau artikel ilmiah populer di media massa. Ini adalah bentuk paling mudah dan ringan karena hanya sekitar 700 kata tentang isu-isu aktual yang hangat dibicarakan di masyarakat.
Guru PAI juga bisa menulis berupa modul, diktat, pengalaman terbaik (best practice), buku pedoman guru atau buku teks pelajaran. Untuk karya jenis ini, tentu dibarengi dengan beberapa ketentuan yang berlaku dan sistematika penyusunan yang lumayan ketat. Sedangkan karya berupa buku tentang pendidikan, guru PAI agak lebih longgar sistematika pembahasannya. Asalkan tetap dalam konteks tema-tema pendidikan.
Sedangkan karya berupa buku terjemah, seorang guru PAI dipastikan tidak boleh keluar dari naskah yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Baik yang berasal dari buku berbahasa Inggris maupun kitab berbahasa Arab dari para ulama terdahulu (turats). Pengkajian dan penterjemahan turats oleh guru PAI pada beberapa dekade terakhir ini justru mengalami penurunan signifikan dan drastis.
Hasil penelitian sederhana yang dihasilkan guru PAI juga bisa bervariasi. Baik berupa penelitian kualitatif, pengembangan maupun kuantitatif. Seorang guru PAI juga dibolehkan melakukan book review dari referensi utama pembelajarannya.
Pada konteks ini, karya itu bisa dipublikasikan di jurnal ilmiah. Tidak hanya yang sudah memiliki international series standart number (ISSN). Sekarang sudah ada beberapa guru yang berhasil mempublikasikan artikel di jurnal terakreditasi Sinta, bahkan hingga level Sinta-2.
Tentu ini prestasi yang luar biasa, mengingat untuk bisa tembus dan lolos sehingga dipublikasikan di jurnal Sinta-2 butuh perjuangan untuk revisi agar layak publikasi. Pada scope dosen, mempublikasikan artikel di jurnal Sinta-2 merupakan syarat wajib untuk menduduki jabatan fungsional Lektor Kepala (LK), sebelum naik ke jenjang guru besar alias profesor.
Menulis sebenarnya bukan suatu hal yang sulit bagi guru PAI. Hanya diperlukan kemauan dan langkah konkrit untuk mewujudkannya. Jika ini bisa dilakukan secara kontinyu, menulis akan menjadi sebuah rutinitas yang menyenangkan. Apalagi jika pemerintah daerah memiliki political will yang tinggi untuk memajukan literasi guru dengan melakukan reward and punishment secara nyata di lapangan.
Juga, menulis seyogyanya tidak menggunakan pendekatan kebendaan. Tapi lebih kepada sumbangsih bagi pengembangan sains untuk membangun peradaban bangsa. Pepatah pendek, publish or perish! harus benar-benar diterapkan. Upaya terus merangsang guru untuk gairah berliterasi memang tidak mudah. Tapi itu harus terus dilakukan disertai dengan perjuangan untuk menghasilkan publikasi bermutu.
Mukani
Guru PAI di SMAN 1 Jombang dan Penerima Anugerah Tokoh Teladan Literasi dari Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur (2024)
Dosen STAI Darussalam Krempyang Nganjuk