Dikatakan santri, saya juga bukan seorang santri tulen. Apalagi santri kaafah yang menguasai banyak ilmu pesantren dari jenjang kelas Ibtidaiyah sampai Aliyah. Ilmu tajwid, balaghah, tauhid, akhlak, maupun tasawuf tidak satupun saya kuasai secara mendalam. Namun harus saya akui bahwa saya menjadi bagian dari sebuah Pondok Pesantren sebagai santri. Beberapa pondok pesantren pernah saya datangi. Hanya singgah beberapa saat atau hanya sekedar mampir mengaji. Saya akui pula pernah tinggal dan mengenyam pendidikan di salah satu pondok pesantren. Itupun karena konsekuensi yang harus saya lakukan sebagai penerima beasiswa kuliah. Konsekuensi itulah yang merubah banyak hal yang saya anggap jauh lebih baik dari sebelumnya.
Bagi saya menjalani hidup di pondok pesantren sangatlah luar biasa. Banyak pengetahuan yang dapat saya gunakan untuk melakoni kehidupan. Baik itu semasa di pondok sampai pada masa “boyong” pasca mondok. Saat nyantri -sebagai sebutan bagi santri yang sedang menuntut ilmu di pondok- saya belajar dan membiasakan banyak hal. Seperti beribadah, menghafal, ikut pengajian, mengaji Al Qur’an, serta sebagai ciri khusus pesantren yang masih menganut ajaran salaf yakni dzikir atau wirid.
Tidak jarang pula belajar membiasakan melakukan ibadah-ibadah sunnah. Maka pondok pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan untuk membiasakan diri berbuat baik dengan pendekatan pengenalan kepada agama. Terdengar klise, tapi memang dibalik hal tersebut menyimpan dampak besar bagi kehidupan saat dikatakan menjadi seorang alumni.
Setelah tidak bermukim di pondok, saya sendiri mencoba mengatur dan membiasakan pada kehidupan saya dengan kegiatan yang sudah bertahun-tahun dilakukan di pondok. Yakni dalam perihal menuntut ilmu, prinsip agama, peribadatan, dan dzikir atau wirid. Pasti suasana akan sangat berbeda ketika masih di dalam pondok dengan setelahnya. Di dalam pondok, jadwal kegiatan sudah diatur sedemikian hingga oleh pengasuh atau pengurus pondok.
Tidak demikian untuk kegiatan setelah lulus dari bawah naungan pondok. Tidak ada lagi yang memarahi, tidak ada yang mentahdzir (istilah yang digunakan untuk memperingatkan atau mengingatkan seorang santri tentang sesuatu yang membahayakan atau tidak baik, dengan tujuan agar mereka menjauhi atau menghindari hal tersebut) dan aturan mengikat lainnya. Seolah bebas lepas, be free, tidak ada lagi yang mengatur atau “menghukum”. Justru itulah yang membuat saya gelisah karena ada sesuatu yang berbeda.
Saya mencari tahu kenapa seseorang menjadi gelisah ketika ada sesuatu yang berbeda pada kebiasaannya. Beberapa referensi yang saya temukan seperti Social Inertia Theory (Pierre Bourdieu, 1985) yakni seseorang mengalami kecemasan akan perubahan sosial karena seseorang cenderung berusaha mempertahankan kebiasaan atau pola perilaku (habitus) yang telah memberikan kenyamanan serta identitas.
Kemudian menurut Self-Discrepancy Theory (Edward Tory Higgins, 1987) mengistilahkan pada diri seseorang mempunyai tiga representasi diri: diri aktual (cara pandang pada diri sekarang), diri ideal (cara pandang pada diri yang ingin menjadi sesuatu), dan diri seharusnya (cara pandang pada apa yang seharusnya dilakukan). Jika ketiganya tidak selaras, maka kecemasan, ketidaknyamanan, dan merasa terancam akan dirasakan pada diri.
Seperti pada kasus saya sebelumnya. Saya yang sekarang bukan lagi santri mukim pondok (diri aktual), yang berkeinginan untuk melakukan rutinitas santri ketika di pondok (diri ideal), dan seharusnya masih melakukannya (diri seharusnya). Namun setelah keluar dari pondok tidak lagi melakukan rutinitas tersebut, sehingga menyebabkan sebuah kegelisahan. Walaupun terkadang sebagai manusia biasa, kegelisahan itu tidak muncul karena telah membuat kebiasaan baru.
Sebagai santri newbie (istilah untuk pendatang baru dalam konteks aktivitas tertentu) saya masih ingat salah satu pesan dan dalil pertama yang saya peroleh dari Kiai. Serta saya dapat melafadzkannya dalam bahasa Arab yakni
اْلإِسْتِقَامَةُ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ كَرَامَةٍ
Al-Istiqomah khoirun min alfi karomah
Artinya: Istiqomah itu lebih baik daripada seribu karomah
Seketika saya mencatanya. Detail akan penjelasannya sudah banyak dipaparkan oleh para Ulama’ dan guru-guru kita yang dapat diakses dari berbagai platform juga.
Pada intinya, bagi saya sendiri, kalimat tersebut kembali menancap pada pikiran saya. Karena sudah menjalani hari-hari di luar pondok, sedangkan saya masih menginginkan untuk tetap mengamalkan apa yang sudah pernah saya peroleh. Sangat berat sekali untuk dilakukan dengan istiqomah. Saya dapat mengambil kesimpulan sementara bahwa dari semua ibadah – ibadah (termasuk melakukan kebaikan) yang kita kerjakan, dari itu semua yang paling berat adalah keistiqomahannya.
Bisa saja kita melakukan ibadah misalnya belajar mengajar seharian penuh, melakukan sholat Tahajud dengan terbangun pukul dua pagi, kemudian dua belas rakaat sholat Dhuha menjelang Dhuhur, membaca beberapa juz Al-Qur’an, menyedekahkan uang beratus-ratus ribu, menggumamkan dzikir atau wirid-wirid atau sekedar berbuat baik kepada orang lain dalam sekali waktu.
Akan tetapi untuk mengulanginya, meneruskannya hingga membentuk sebuah kebiasaan (habitus) membutuhkan kekuatan yang besar. Sehingga guyonan nya “lebih baik banyak dan konsisten daripada sedikit tapi hanya sekali”. Sebagai santri biasa-biasa saja yang baru belajar dan modal pas-pas an, saya lebih mending memilih jalan sedikit demi sedikit dan istiqomah. Karena ibadah yang paling dicintai Allah adalah ibadah yang paling konsisten sekalipun sedikit.
إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Artinya, “Sungguh, ibadah yang paling dicintai oleh Allah adalah ibadah yang paling konsisten sekalipun sedikit.” (HR Muslim).

Islamic digital activist. Mugi Barokah Manfaat