Bulan haji tiba. Jutaan muslim dari seluruh penjuru dunia menuju satu titik yang konon menjadi punjer atau poros atau pusat perputaran bumi. Kakbah itulah magnet yang luar biasa bagi kaum muslim untuk datang.
Kemudian melakukan ritual tawaf dengan mengelilinginya. Sebuah ritual yang menggambarkan kisah Nabi Adam AS ketika baru diturunkan di dunia, di muka bumi oleh Allah SWT.
Di tempat Kakbah berdiri itu pula, konon titik turunnya Nabi Adam AS. Dan ritual tawaf dalam ibadah haji adalah perbuatan yang dilakukan Nabi Adam AS, kala kebingungan mencari Siti Hawa. Istrinya yang juga diturunkan ke dunia. Jadi, tawaf adalah napak tilas perjalanan Nabi Adam AS. Dan ritual haji lainnya adalah kisah nabi-nabi lain, termasuk Nabi Ibrahim AS an Nabi Isa AS.
Karena itu, tidak ada pahala atau ganjaran lain bagi muslim yang beribadah haji kecuali surga. Namun, berhaji yang bagaimana yang menjadikan muslim berhak mendapat ganjaran surga itu?
Apakah muslim yang congkak, yang menyombongkan kemampuannya beribadah haji karena kebetulan dikaruniai harta yang melimpah.
Atau muslim yang berniat menunaikan ibadah haji hanya karena ingin dipanggil Pak Haji atau Bu Hajah? Atau muslim yang berniat haji selain untuk memenuhi panggilan Allah SWT.
Hanya Allah yang tahu dan malaikat mencatat semua itu. Buku catatan itulah yang akan dilaporkan malaikat pada Allah. Dan, hanya Allah yang berhak memutuskan ganjaran atas apa yang diperbuat hambaNya.
Ada sebuah kisah yang bisa menjadi cermin kita semua. Abu Abdurrahman Abdullah Bin Al-Mubarak Al Hanzhali Al Marwazi, seorang ulama terkenal di Makkah yang menceritakan riwayat ini.
Suatu ketika, setelah selesai menjalani salah satu ritual haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit. Ia mendengar percakapan mereka :
“Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“Tujuh ratus ribu,” jawab malaikat lainnya.
“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak satupun”
Percakapan ini membuat Abdurrahman Abdullah gemetar. Dia menangis dalam mimpinya itu. Semua orang yang berhaji ini telah datang dari belahan bumi yang jauh. Dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, namun usaha mereka menjadi sia-sia.
Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar perbincangan kedua malaikat itu.
“Namun ada seseorang,yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji di Makkah, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat dia, seluruh haji mereka (jamaah yang berhaji tahun itu) diterima oleh Allah.”
“Kok bisa”
“Itu Kehendak Allah”
“Siapa orang tersebut?”
“Said bin Muhafah, tukang sol sepatu di kota Damsyiq (Damaskus, Syiria sekarang)”
Mendengar ucapan itu, Abdurrahman Abdullah itu langsung terbangun. Sepulang haji, ia tidak pulang ke rumah, tapi langsung menuju kota Damaskus.
Sampai di sana ia langsung mencari tukang sol sepatu yang disebut malaikat dalam mimpinya itu. Hampir semua tukang sol sepatu ditanya, apa ada tukang sol sepatu yang namanya Said bin Muhafah.
“Ada, di tepi kota” jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.
Sesampai di tempat yang dituju, ulama itu menemukan tukang sepatu yang berpakaian lusuh.
“Benarkah Anda bernama Said bin Muhafah?” tanya Abdurrahman Abdullah.
“Betul, siapa tuan?”
“Aku Abdullah bin Mubarak”
Said pun terharu,
“Bapak adalah ulama terkenal, ada apa mendatangi saya?” Sejenakulama itu kebingungan, dari mana ia memulai pertanyaanya, lalu ia pun menceritakan perihal mimpinya.
“Saya ingin tahu, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur itu?”
“Wah saya sendiri tidak tahu!”
“Coba ceritakan bagaimana kehidupan Anda selama ini, kejar Abdullah bin Mubarak.
Said bin Muhafah pun bercerita.
“Setiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar :
Labbaik Allahumma labbaik. Labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wannimata laka wal mulk. laa syarika
lak.
Ya Allah, aku datang karena panggilanMu. Tiada sekutu bagiMu. Segala nimat dan puji adalah kepunyaanMu dan kekuasaanMu.
Tiada sekutu bagiMu.
Setiap kali aku mendengar itu, aku selalu menangis. Ya allah aku rindu Mekah. Ya Allah aku rindu melihat Kakbah. Ijinkan aku datang… Ijinkan aku datang ya Allah.
Oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang lalu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya, sebagai tukang sol sepatu.
Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Akhirnya pada tahun ini, saya punya 350 dirham, cukup untuk saya berhaji.
“Saya sudah siap berhaji”
“Tapi Anda batal berangkat haji”
“Benar”
“Apa yang terjadi?”
“Istri saya hamil, dan sering ngidam. Waktu saya hendak berangkat saat itu dia ngidam berat” ungkap Said bin Muhafah.
“Suami ku, engkau mencium bau masakan yang nikmat ini? ucap istri Said.
“Ya sayang”
“Cobalah kau cari, siapa yang masak sehingga baunya nikmat begini. Mintalah sedikit untukku” pinta istrinya.
“Ustadz, sayapun mencari sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang hampir runtuh. Di situ ada seorang janda dan enam anaknya. Saya bilang padanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit. Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya.
Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan :
“Tidak boleh tuan” kata janda itu.
“Dijual berapapun akan saya beli” kata saya.
“Makanan itu tidak dijual, tuan” katanya sambil berlinang air mata.
Akhirnya saya tanya kenapa?
Sambil menangis, janda itu berkata
Daging ini halal untuk kami dan haram untuk tuan” katanya. Dalam hati saya: Bagaimana ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama muslim.
Karena itu saya mendesaknya lagi
“Kenapa?”
“Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Di rumah tidak ada makanan. Hari ini kami melihat keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk dimasak.“Bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan. Namun bagi Tuan, daging ini haram”.
Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya pulang. Saya ceritakan kejadian itu pada istriku, diapun menangis, kami akhirnya memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu, tutur Said.
“Ini masakan untuk mu” kata saya ketika sampai di rumah janda itu.
Uang peruntukan haji sebesar 350 dirham pun saya berikan pada mereka,
”Pakailah uang ini untukmu sekeluarga. Gunakan untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi”
Ya Allah……… disinilah Hajiku
Ya Allah……… disinilah Mekahku.
Mendengar cerita tersebut Abdullah bin Mubarak tak bisa menahan air matanya.
Kisah ini memberi hikmah, bahwa membantu orang di sekitar kita bisa jadi sama nilainya dengan pergi haji di mata Allah. Namun, terkadang banyak dari kita lebih mengutamakan perbuatan dibanding nilai. Banyak muslim yang begitu semangat melaksanakan ritual, ibadah yang seolah-olah bernilai akhirat (surga), namun di mata Allah hanya bernilai dunia, tak berarti apa-apa di hadapan Allah karena niat dan tujuannya bukan karena Allah.
Kita sering begitu bersemangat seolah-olah ingin membeli surga dengan ibadah kita, yang justru terkadang meninggalkan, terkadang melupakan Allah yang berhak atas ibadah kita.
Mari semangat kita dalam beribadah hanya untuk Allah, semangat membeli keridhoan Allah, bukan yang lain termasuk, mengapling surga. Labbaik Allahumma labbaik. Labbaika la syarika laka labbaik. Waallahu alam (*)
Tinggal di Tuban, Jawa Timur