Bulan maulid merupakan salah satu bulan besar bagi umat Islam. Bulan di mana datang seseorang yang kelahirannya mampu memadamkan api abadi di Persia, mengguncang istana Romawi dengan begitu hebatnya, bahkan semesta dan segala isinya berebut ingin menyambut kedatangannya. Beliaulah Kanjeng Nabi Muhammad Saw, sosok manusia mulia yang menjadi panutan sepanjang zaman.
Bagi para perindunya, momen maulid digunakan sebagai ajang pembuktian. Ya, pembuktian seberapa besar cinta seorang umat kepada rasulnya, bukan hanya dalam ucapan tapi juga termanifestasi dalam perbuatan. Mulai dari giat melaksanakan sunah, semangat membaca sirah nabawiyah, hingga antusias melantunkan sholawat. Karenanya berbagai acara banyak digelar pada bulan maulid, mulai dari pengajian hingga sholawatan.
Hal serupa juga bisa ditemukan di Dusun Mlangi, salah satu daerah di kabupaten Sleman, Yogyakarta. Desa yang dikenal sebagai kampung santri ini tak tanggung-tanggung dalam mengadakan perayaan maulid. Para warga, mulai dari laki-laki hingga perempuan, dari yang muda hingga lanjut usia, menunjukkan antusias besar dalam menyambut bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Perayaan maulid yang berlangsung pada Sabtu pagi (06/09/2025) di Masjid Pathok Negoro Mlangi berlangsung secara megah. Bagaimana tidak, pada acara ini masyarakat Mlangi akan saling berlomba membuat “berkat” terbaik untuk dibawa ke masjid. Tidak hanya berisi nasi lengkap dengan lauk pauk yang beraneka ragam seperti bebek goreng, ikan bandeng, ayam ingkung, hingga aneka jajanan pasar, tapi juga berisi hadiah bahkan uang tunai.
Hadiah yang diberikan juga tidak tanggung-tanggung, mulai dari baju, alat rumah tangga seperti panci, termos, juga kompor gas. Bagi yang punya rezeki lebih pun ada yang membawa hadiah berupa rice cooker, kipas angin, bahkan sepeda. Masyarakat dengan ekonomi menengah pun tak kalah antusiasnya, mereka akan menabung jauh-jauh hari agar bisa memberikan yang terbaik pada perayaan maulid nanti. Bukannya keberatan, masyarakat Mlangi akan sangat senang sekali jika “berkat” yang telah mereka buat bisa diberikan kepada para kyai.
Acara dimulai sekitar pukul sembilan pagi, diawali dengan pembacaan sholawat ngelik. Berbeda dengan sholawat kebanyakan, pembacaan sholawat di Mlangi cukup unik, yaitu sholawat yang berbahasa arab ini dilantunkan dengan langgam Jawa. Jika tidak mendengarkan dengan seksama mungkin akan mengira jika yang dibaca adalah gending-gending Jawa, padahal sebetulnya lantunan maulid Syariful Anam. Pembacaan sholawat berlangsung sekitar tiga jam, jeda sebentar sholat dhuhur lalu berlanjut hingga pukul dua siang. Kendati cukup lama tapi tidak menyurutkan semangat mereka dalam bersholawat.
Tak hanya berhenti di situ, malam harinya acara masih dilanjutkan dengan kesenian Kojan khas Mlangi. Para santri tidak hanya membaca sholawat tapi juga mengiringinya dengan tarian, mereka juga mengenakan baju adat seperti beskap dan blangkon. Acara malam hari lebih semarak karena tidak hanya dihadiri kaum lelaki saja, tetapi juga seluruh warga Mlangi turut serta. Kesenian ini menjadi ciri khas yang hanya ada di Mlangi, sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat terutama sanak saudara yang datang dari luar kota.
Masuknya agama Islam di tanah Jawa memberikan angin segar bagi kebudayaan lokal. Kehadirannya yang santun dan terbuka semakin menambah keragaman budaya yang ada. Banyak tradisi dan ritual yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat jawa tidak lepas dari pengaruh agama. Salah satunya bisa kita temukan pada tradisi maulid di Mlangi.
Perayaan maulid masyarakat Mlangi yang menggunakan sholawat dengan langgam Jawa merupakan bentuk akulturasi antara agama dan budaya.
Menurut Gus Zamzami, seorang pengasuh pondok pesantren Mlangi Timur, dahulu setiap acara di dusun Mlangi kerap diisi dengan tembang jawa seperti macapat dan lain-lain. Baru kemudian oleh Kyai Nur Iman yang merupakan putra Raja Amangkurat IV diubah dengan membaca sholawat yang masih mempertahankan tembang jawa.
Tradisi pembacaan sholawat ngelik inilah yang merupakan bentuk penyatuan yang harmoni antara agama dan budaya. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Tradisi disertai nilai-nilai agama akan lebih bernilai, begitupun sebaliknya. Agama jika tidak dikontekstualkan dengan tradisi lokal akan terasa kering dan kurang membumi. Tradisi maulid tidak hanya sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad saja, tapi juga sarana pertemuan antara agama dan kebudayaan. Berkah kelahiran Kanjeng Nabi menjadi ajang silaturahmi, berkumpul dengan keluarga besar hingga mengeratkan ukhuwah dalam masyarakat.