Suluk.id – Islam memiliki ideologi, seperangkat tata nilai, dan pedoman kehidupan yang dalam trilogi ajaran islam dikenal dengan iman, Islam, ihsan. Dilihat melalui Antropologi, kebudayaan juga memiliki unsur yang dikenal dengan sistem kepercayaan, tatanan sosial atau ritual keagamaan. Interaksi antara agama dan budaya menghasilkan dialektika secara terus menerus sehingga melahirkan dinamika yang beragam.
Dimulai dengan proses bertemunya dua atau lebih aspek kebudayaan suatu masyarakat yang berbeda terjadilah proses negosiasi. Dalam proses negosiasi yang terus menerus ini terjadilah dialektika yang dapat menciptakan salah satu dari tiga kemungkinan yaitu benturan [konflik], akulturasi dan integrasi budaya. Secara sosiologis, kehadiran Islam dengan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat jahiliyah, paling tidak ada tiga konsep dalam merespon sosio-kultural masyarakat.
Pada saat Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, bangsa Arab telah memiliki kebiasaan, tradisi maupun kebudayaan yang sudah berlangsung secara turun temurun dan sudah mapan. Namun demikian Islam sebagai agama rahmatan lil‘alamin, tidak langsung menolak dan mengharamkan seluruh tradisi dan kebudayaan bangsa Arab.
Model dialog Islam-Budaya
Interaksi antara Islam dengan budaya lokal bangsa Arab yang telah mapan dilaksanakan, tidak serta merta dihapus dan dilarang pelaksanaannya. Dalam interaksi ini sedikitnya ada tiga model respon Islam dalam menyikapi tradisi dan budaya masyarakat Arab jahiliyah.
Pertama, tahmil yaitu Islam menyempurnakan tradisi dan budaya yang sudah dilaksanakan turun temurun oleh masyarakat bangsa Arab.
Kedua, taghyir yaitu merubah atau merekonstruksi tradisi dan budaya yang sudah dilaksanakan dengan tata cara yang sesuai dengan syariat Islam, namun inti pelaksanaan tradisi tersebut tetap dilaksanakan dan tidak dilarang. Ketiga, tahrim yaitu Islam melarang dan mengharamkan tradisi yang sudah mapan pada masyarakat Arab jahiliyah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Tiga model sikap Islam terhadap tradisi dan kebudayaan masyarakat Arab jahiliyah, didasarkan pada barometer dari nilai ketauhidan yang yang menjadi poros ajaran Islam. Dalam bahasa yang berbeda respon Nabi terhadap tradisi jāhiliyyah ada tiga. Pertama, tradisi diakomodasi, baik keseluruhan (totalaccomodation) maupun sebagian (particular accomodation). Kedua, tradisi yang total ditolak atau total dikoreksi (total refuse or total correction).
Ketiga, tradisi yang secara prinsip tetap dilestarikan dengan sedikit modifikasi di sana-sini (sincronization and modification).
Fakta-fakta sejarah yang berbicara tentang ketiga model respon Rasullah tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut;Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang adalah Ḥanīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah.
Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi dari millahIbrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah ḥijaz, yaitu Yathrib, Ṭaif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū‘Ámir, Umayyah bin Abīal-Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullāh bin Jaḥs, Ka’ab bin Lu`ay,‘Abd al-Muṭallib, ‘As’ad AbūKarb al-Ḥamīrī, Zuhayr bin AbūSalma, ‘Uthmān binal-Ḥuwayrith.
Tradisi-tradisi mereka yang kemudian dikoreksi Islam adalah: penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya.
Selain itu juga tradisi berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaḍan dengan memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaḍan,pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka.
Masyarakat pra Islam saat itu telah memiliki sistem hukum yang berlaku. Diantaranya adalah sistem pewarisan, perkawinan dan perceraian. Khusus masalah perkawinan terdapat bentuk-bentuk perkawinan yang mereka jalankan diantaranya adalah: perkawinan mut’ah (kesenangan), perkawinan ẓawāq (cicipan), perkawinan istibdā’(menjadikan barang dagangan), perkawinan khadn (teman intim), perkawinan mutaḍāmidah (saling membalut), perkawinan badal (tukar).
serta perkawinan ṣighār (liar), perkawinan maqt (kutukan), perkawinan saby (tawanan), perkawinan hamba sahaya, perkawinan antara saudara lelaki dan saudara wanitanya, atau ayah dan putrinya, perkawinan dengan beberapa istri bahkan hingga berpuluh-puluh orang dalam satu masa serta perkawinan bu’ūlah (suami/istri) atau aḥadi (monogami).
Selain itu, tradisi yang hidup di kalangan masyarakat Arab pra Islam selain bidang sastra dan hukum, ada kebiasaan sosial masyarakat Arab yang juga dikoreksi, seperti al-qimār (judi), minum khamar, membunuh anak perempuan hidup-hidup, menjajakan para budak sebagai pelacur dan beberapa kebiasaan lainnya. Sedangkan model akomodasi dapat dilihat dalam hal ibadah.
Misalnya, Islam menjalankan ibadah haji dan umrah sebagaimana telah dipraktekkan dalam masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Masyarakat Arab menjalankan ritual-ritual tersebut sebagaimana dijalankan oleh umat Islam sekarang ini, yaitu: talbiyyah, iḥrām, wukuf dan lain sebagainya. Setelah kedatangan Islam, kemudian praktek tersebut diteruskan dengan penggunaan istilah yang sama.
Akan tetapi Islam kemudian membersihkan ibadah ini dari perilaku syirik. Salah satu yang dibersihkan itu adalah talbiyyah mereka yang semula masih bernuansa syirik. Di samping itu Islam juga melarang bertawaf secara telanjang. Bidang hukum yang juga diakomodasi atau diadopsi oleh islam dari budaya arab adalah sistem qisas dan diyat. Kedua hal tersebut merupakan praktek budaya masyarakat pra-Islam kemudian diadopsi dalam hukum pidana Islam.
Penulis : Zainul Anwar – Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan