Suluk.id – Lampu merah menyala. Deru kendaraan memenuhi udara, bercampur dengan suara klakson yang bersahut sahutan. Asap knalpot menebal, menusuk hidung, membuat siapa pun ingin cepat cepat meninggalkan tempat itu. Di tengah riuhnya jalanan, mataku tertuju pada seorang bocah kecil. Tubuhnya kurus, kulitnya legam terbakar matahari, bajunya lusuh penuh noda. Di tangannya ada plastik berisi beberapa bungkus tisu, yang ia sodorkan dengan ragu kepada pengendara yang berhenti. “Mas, beli tisunya ya…” suaranya lirih, hampir tenggelam oleh bising motor dan deru mesin.
Aku melihat bagaimana sebagian besar orang hanya melirik sekilas lalu menoleh ke arah lain. Ada yang pura pura sibuk dengan ponsel, ada yang menutup kaca mobil rapat rapat, ada juga yang hanya menggeleng cepat seolah tak ingin terlibat. Bocah itu menunduk, menahan kecewa, lalu berlari kecil ke pengendara berikutnya. Hatiku tercekat. Bukan karena aku tidak pernah melihat pemandangan ini sebelumnya justru karena aku sering melihatnya, tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu di matanya. Ada kesedihan yang dalam, bercampur dengan harapan yang hampir padam.
Aku memanggilnya. Ia mendekat dengan langkah ragu, seolah takut ditolak lagi. Aku tidak langsung membeli tisunya. Aku menatap wajah kecil itu, berusaha membaca cerita di balik sorot matanya yang sayu.
“Kenapa kamu berjualan, dek? Seharusnya kamu bermain bersama teman temanmu,” tanyaku pelan.
Ia menunduk. Suaranya bergetar ketika menjawab, “Bapak sama Ibu sudah nggak bareng lagi, Mas. Aku tinggal sama nenek. Jadi aku harus bantu nenek cari uang. Kalau nggak, kita nggak bisa makan.”
Aku terdiam. Dunia seolah berhenti sesaat. Di usia sekecil itu, ia sudah memikul beban yang bahkan terlalu berat untuk orang dewasa. Waktu yang seharusnya ia isi dengan bermain, belajar, atau bercanda bersama teman teman, malah ia habiskan di perempatan lampu merah, melawan teriknya matahari dan kerasnya kehidupan. Aku merogoh dompetku. Tapi langkah tanganku terhenti. Memberinya uang mungkin akan membuatnya kenyang hari ini, tapi bagaimana dengan besok? Bagaimana dengan lusa? Apakah ia harus terus mengulangi siklus yang sama, menjual tisu dengan tatapan iba, berharap belas kasihan orang orang yang mungkin hanya sekali sekali mau berhenti?
Aku ingin membantunya dengan cara lain. Cara yang bisa membuatnya lebih berdaya, meski sederhana. Aku mencari cari sesuatu di sekitarku. Di pojok perempatan ada kardus bekas, aku ambil sepotongnya. Aku keluarkan spidol dari tasku, lalu menuliskan kalimat yang muncul begitu saja di kepalaku. Setelah itu, aku membuat lubang di sisi kardus dan memberinya seutas tali. Aku kalungkan papan itu di leher si bocah kecil. Di sana tertulis: “Aku tidak butuh tisu ini. Mungkin karena air mataku sudah lama habis sejak Ibu dan Ayah berpisah.” Aku melihat ia menatap tulisan itu, lalu menatapku, seolah tak benar benar paham. Tapi aku mengangguk pelan, menyemangatinya. “Cobalah pakai ini, dek. Biarkan orang tahu alasanmu berada di sini.”
Beberapa menit kemudian, sesuatu yang menakjubkan terjadi. Orang orang mulai berhenti. Ada yang membuka kaca mobilnya, ada yang meraih dompet, ada yang menepuk pundaknya dengan mata berkaca kaca. Tisu tisunya satu per satu berpindah tangan. Untuk pertama kalinya sore itu, wajah bocah kecil itu merekah dengan senyum. Senyum yang sederhana, tapi penuh arti. Aku berdiri mematung, dadaku sesak oleh haru. Bukan karena aku merasa hebat telah menolongnya, tetapi karena aku belajar sesuatu yang jauh lebih besar. Terkadang, cara terbaik untuk membantu seseorang bukan sekadar memberi, tetapi membantu mereka menemukan jalan agar bisa berdiri lebih kuat di atas kaki mereka sendiri.