Bagi sebagian, hukum Islam seolah cuma dua: wajib dan haram. Nggak heran jika mereka terlihat kaku; ruang gerak mereka memang sempit, hanya berada di antara dua ujung: wajib di kanan, haram di kiri. Dari ruang sempit ini mereka juga ngeliat di luar sana hanya ada dua warna: putih sama hitam. Sampai sini saja kita sudah mendapatkan paling nggak dua kata buat menggambarkan mereka: Kaku dan sempit.
Kaku dan sempit membelenggu mereka dalam memandang segala hal, tidak kecuali perkara Corona berikut semua turunannya. Kaku dan sempit sangat dekat dengan tergesa-gesa; gampang menghukumi, mudah memvonis. Tak peduli bahwa persoalan yang dihukumi atau divonis di luar otoritas pengetahuannya. Kaku dan sempit juga berjarak sangat dekat dengan sektarianisme dan klaim kebenaran. Juga biasanya hanya beberapa langkah dengan kebencian. Setiap yang bukan diri dan kelompoknya hampir selalu dipastikan salah.
Maaf jadi ke mana-mana. Saya cuma mau mengritik sikap sementara orang yang tidak saya ragukan kesalehan dan semangat keberagamaannya. Dalam dua hal yang disebut terakhir, saya merasa tak lebih dari sebutir debu di hamparan luas sahara tak berbatas. Jadi, kritik saya sama sekali tidak mengurangi pengakuan saya akan kesalehan dan keberagamaan mereka.
Ketika Corona awal-awal merebak, tak sedikit dari mereka buru-buru menyebut wabah itu sebagai azab. Kenyataan ia datang dari China meneguhkan keyakinan bahwa ia memang kiriman Tuhan untuk mengutuk China. Sejalan waktu, Corona ternyata melanglang kemana-mana. Iran dan Italia menjerit didera “kejamnya” Corona.
Apakah mereka akan merevisi pandangan bahwa ia kutukan atas China? Tentara manusia sangat bisa salah tembak; keliru sasaran. Tapi tak bisa diterima akal jika Tentara Tuhan salah sasaran hingga korbannya mencapai ribuan. Ini saja sudah memberi pelajaran; jangan tergesa menilai ini-itu, terutama dalam perkara di luar kemampuan kita.
Hingga catatan ini diposting di Fb, entah sudah bertambah berapa jiwa yang meninggal dari jumlah terakhir yang kita baca di media. Setiap kita mohon perlindungan pada Yang Kuasa dari ganasnya Corona. Tapi jika ia menimpa siapa saja di dekat kita, apakah kita masih sempat berpikir bahwa itu adalah azab? Kerdil sekali sisi kemanusiaan kita jika berpikir seperti itu!
Sebagai kaum beriman, kita percaya akan qadla-qadar. Tapi qadla-qadar dalam pemahaman yang benar tidak pernah meminta kita menegasikan atau mengabaikan hukum yang bekerja di alam. Segala sesuatu bekerja sesuai hukum dan aturannya. Doa dan tawakkal melapisi segala ikhtiar kita dalam koridor hukum alam.
Tuhan memang nggak terikat hukum alam, sebab hukum alam hanya mengikat alam. Namun setiap insan pertama-tama dituntut ikut aturan alam telebih dulu. Janganlah, belum apa-apa kita langsung berharap Tuhan menunjukkan kuasa-Nya mengeluarkan kita dari frame hukum alam. Dunia memang acap menunjukkan keajaiban. Tapi janganlah, belum apa-apa kita langsung bersandar pada keajaiban yang bahkan tiada kepastian tentangnya. Memangnya kita siapa dibanding Ibrahim yang kebal api? Dibanding Musa yang dapat membelah laut? Dibanding Isa yang bahkan bisa menghidupkan orang yang sudah mati?
Kita memang beragama. Tapi nggak usah melecehkan himbauan atau peringatan pihak berwenang terkait prosedur sementara yang mengatur peribatan selagi Corona menggila. Anjuran dan peringatan itu sama sekali tidak berangkat dari motif memusuhi agama atau anti peribadatan. Justru wujud tanggung jawab atas keselamatan bersama, sementara pokok-pokok peribadatan tetap berjalan dalam format atau prosedur yang disesuaikan dengan kondisi darurat.
Di sinilah wawasan tentang keluwesan dan “fleksibilitas” hukum Islam diperlukan. Hukum Islam yang bukan cuma wajib dan haram, hemat saya, lebih menunjukkan keluwesan tersebut. Ribuan jilid kitab fikih dan ushul-nya merupakan bukti sahih betapa hukum Islam tidak kaku. Kejumudan banyak dari kita sesungguhnya yang membuat hukum Islam sering terlihat seperti besi; kaku dan saklek! Buat apa Tuhan menganugerahi kita akal, jika sedikit saja upaya ijtihadiah dicap liberal dan anti-Islam?
Stop bicara Corona jika kita nggak punya pengetahuan memadai tentangnya. Serahkan pada ahlinya, percayakan pada otorita yang mumpuni di bidangnya. Ikuti sekuat yang kita bisa segenap anjuran dan kisi-kisi pencegahan dari pihak berwenang. Agama bukan hanya peduli seberapa kuat upaya kita menjadi pribadi yang taat ritual, lebih dari itu ia sangat senang melihat kita menjadi pribadi-pribadi yang saleh secara sosial. Saleh sosial, antara lain meminta kita taat pada ulil amri dalam arti pihak otoritatif tentang sebuah masalah; tidak terkecuali masalah Corona

Terlahir sebagai orang “Perancis (Peranakan Ciamis),” Menamatkan SD, MTs dan MAN di Ciamis. Pernah mengajar di Pesantren Darussalam, Ciamis (1997-1998), menjadi penerjemah lepas naskah-naskah berbahasa Arab