Suluk.id – Narasi feminisme dan agama sering kali bersinggungan di titik yang penuh ketegangan, terutama menyangkut isu-isu terkait hak perempuan dalam syariat Islam. Di satu sisi syariat Islam diyakini oleh mayoritas umat Muslim sebagai pedoman hidup yang adil dan komprehensif. Namun, di sisi lain sejumlah kelompok feminis menantang interpretasi syariat, karena dianggap memarginalkan perempuan dan memperkuat struktur patriarki. Syariat Islam, sebagai sistem hukum yang berasal dari wahyu, sering kali menjadi subjek kontroversi. Dalam konteks ini mereka banyak tidak sependapat adanya syariat islam yang mengatur hak suami istri, khususnya urusan rumah tangga. Mereka berpendapat bahwa syariat Islam mengandung ketimpangan sosial dan diskriminasi terhadap perempuan. Tulisan ini akan berusaha meluruskan pandangan negatif kaum feminisme liberal tentang beberapa persoalan yang mereka angkat.
Hadirnya tokoh-tokoh seperti Ayaan Hirsi Ali dan Taslima Nasrin, sejak akhir abad ke-20 sampai pada awal abad ke-21. Membawa kritik yang tajam terhadap aspek syariat Islam. Keduanya menganggap syariat sebagai penghalang terhadap kebebasan perempuan. Mereka juga menyoroti ketidaksetaraan gender, yang menurut mereka diperkuat oleh aturan-aturan syariat, termasuk dalam hal pernikahan, perceraian, dan hak-hak sosial. Pemikiran mereka memicu perdebatan yang sangat luas, apakah aturan agama ini dapat direkonsiliasi dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Pertanyaannya: apakah kritik mereka hanyalah cerminan dari kesalahpahaman, ataukah memang ada elemen-elemen dalam syariat yang perlu ditinjau ulang dalam konteks modern?
Untuk memahami lebih jauh hubungan antara syariat dan konsep kesetaraan gender, penting untuk meninjau asal-usul gerakan feminisme dan perbedaan dalam nilai-nilai yang diusung. Dimulai dari gerakan feminisme yang lahir di Barat tidak dapat dipisahkan dari pengaruh agama dan budaya yang berkembang saat itu. dengan adanya syariat Islam penuh dengan kontradiksi. Karena pada zaman itu feminisme terbagi menjadi beberapa periode atau zaman, secara garis besar ada pada zaman kegelapan dan dan zaman perubahan. Dimana pada zaman kegelapan masyarakat barat sangat tunduk pada doktrin-doktrin gereja, misalnya keberadaan kaum perempuan saat itu hanya dipandang sebelah mata, bahwa perempuan hanya dianggap sebagai pemuas nafsu dan pelayanan bagi laki-laki. Pada zaman perubahan barulah kaum perempuan saat itu sudah muak dan merasa tertindas dengan adanya doktrin dari gereja tersebut, yang pada akhirnya mereka mulai berani menggalakan kekuatan untuk mendobrak doktrin gereja agar kaum perempuan mulai dihargai. Dari sinilah gerakan feminisme dalam islam dipahami sebagai isu-isu feminisme yang muncul di Barat dikemas dalam paradigma Islam.
Dalam ajaran islam sendiri tidak pernah ada diskriminasi atau eksploitasi pada kaum perempuan, karena dalam islam perempuan sudah menempati posisi yang sangat istimewa tanpa adanya feminisme. Sebelum agama Islam datang, yakni pada masa jahiliyah masyarakat hidup dalam sistem sosial budaya patriarki dan perzinaan yang merajalela. Bahkan lebih tragisnya lagi ketika ada bayi perempuan lahir akan dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai beban hidup. Amina Wadud (1999), dalam bukunya Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Dia menegaskan bahwa Al-Qur’an mempromosikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, meskipun seringkali interpretasi patriarki yang bias gender mendominasi tafsir tradisional. Menurut Wadud, ketidaksetaraan yang tampak dalam beberapa aspek hukum Islam lebih merupakan hasil dari tafsiran yang dipengaruhi oleh budaya patriarki, bukan substansi teks Al-Qur’an itu sendiri.
Dengan hadirnya Islam yang dibawa oleh Rasulullah untuk memperbaiki dan mengatur keadaan masyarakat supaya perempuan juga mendapatkan hak yang layak. Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi di dalam kitabnya mengatakan:
اِنَّ الاِسْلَامَ حِيْنَ جَاءَ اِلَى الْعَالَمِ رَفَعَ مَكَانَةَ الْمَرْأَةِ وَأَعْطَاهَا حُرِّيَتَهَا وَكَرَامَتَهَا وَشَخْصِيَتَهَا وَسَاوَى بَيْنَهَا وَبَيْنَ الرَّجُلِ فِي الْحُقُوْقِ وَالْوَاجِبَاتِ
Artinya, “Sungguh ketika Islam datang ke bumi, ia mengangkat derajat wanita, memberikan kebebasannya, kemuliaannya, kepribadiannya, serta menyamaratakannya dengan laki-laki dalam hak-hak dan kewajiban.” (Syekh Sya’rawi, Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah, 2019, halaman 9).
Akan tetapi golongan-golongan feminisme ekstrim seperti, feminisme sekuler, feminisme liberal. Mereka cenderung menentang syariat Islam karena percaya bahwa hukum agama ini mengabadikan ketidaksetaraan gender dan mengekang kebebasan perempuan.
Munculnya pertentangan syariat dalam menanggapi isu feminisme ternyata disinyalir oleh beberapa pertanyaan Problematik atas ketimpangan sosial dalam rumah tangga. Pertama, kenapa wanita tidak diberi legalitas memiliki suami lebih dari satu (poliandri)? Menurut kesehatan pasangan yang melakukan poliandri juga sangat rentan mengalami penyakit seksual. Sebagaimana tulisan Murtadha Muthahhari dalam bukunya The Rights of Women in Islam (1981:306), menyatakan bahwa penerapan poliandri bertentangan dengan fitrah manusia, bahkan poliandri dapat menimbulkan dampak negatif berupa penyakit venereal, yaitu penyakit yang dijangkiti melalui hubungan seksual yang berganti-ganti, sebab poliandri identik dengan kupu-kupu malam (PSK) yaitu wanita yang suka menjual diri kepada para pria (pelacur). Kesulitan terbesar dalam poliandri adalah tidak diketahuinya ayah dari anak yang dilahirkan, sehingga perkawinan model ini hubungan antara ayah dan anak menjadi tidak pasti. Selain bertentangan dengan fitrah manusia, jika ada salah satu suaminya meninggal dunia, maka juga dapat berdampak pada sistem kewarisan terhadap anak dan suami-suami wanita tersebut.
Dampak yang selanjutnya adalah anak dari pasangan poliandri nasab akan kabur, karena yang menggauli istri tidak hanya satu suami. Kalaulah ada tes DNA itu masih dhonni, artinya masih dalam taraf (perkiraan atau sangkaan), maka dalam Islam pembuktian dengan DNA belum bisa mencukupi karena illat atau sebabnya tidak diketahui (Ta’abbudi). Ta’abbudi adalah sesuatu yang tidak diketahui ‘illat yang terkandung di dalamnya meskipun hikmahnya bisa dimengerti. Sehingga dapat dipahami dalam islam praktik poliandri bertentangan dengan maqashid syari’ah dalam aspek Hifdzu An Nasl ( حـفـظ النـسـل) atau Menjaga Keturunan. Maka tujuan dari pelarangan tersebut adalah untuk menjaga nasab. Ada satu hadist yang membahas tentang poliandri,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَوََّجَهَا وَلِيَانِ فَهِيَ لِلأَوَّلِ مِنْهُمَا
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka pernikahan yang sah bagi wanita itu adalah yang pertama dari keduanya.” (H.R. Ahmad).
Hadis di atas, secara tekstual memang seakan hanya menjelaskan bahwa apabila seorang perempuan dinikahkan oleh dua wali dengan lelaki berbeda, maka yang sah hanyalah pernikahan pertamanya. Tetapi secara tersirat juga menginformasikan bahwa seorang perempuan tidak boleh menikah atau dinikahkan lagi selama ia masih dalam status menjadi istri dari laki-laki yang menikahinya secara sah.
Kedua, islam tidak mengatur hak talak bagi istri. Karena memang hak talak (hak menceraikan) berada di tangan suami, tetapi Islam sebenarnya juga memberikan peluang bagi istri untuk mendapatkan jalan keluar dari pernikahan yang tidak diinginkan atau tidak harmonis. Talak yang merupakan hak suami harus dibedakan dari mekanisme lain yang memungkinkan istri untuk mengakhiri pernikahan, yaitu khuluk, fasakh, dan tafwidh al-talaq. Melalui ketiga mekanisme ini, istri juga bisa mendapatkan jalan keluar dari pernikahan yang bermasalah, sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan keluarga yang dianjurkan dalam islam.
Ketiga, mengapa Islam banyak mengatur cara berbusana kaum wanita, sehingga kesannya terlalu mengekang kaum wanita dalam urusan berbusana? Bukan karena mengekang namun Islam hanya membatasi dalam aturan berbusana bagi perempuan, lantaran aurat perempuan lebih banyak ketimbang aurat lelaki. Secara otomatis aurat perempuan lebih dijaga dan dilindungi. Pensyariatan kewajiban wanita menutup hampir seluruh bagian tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan, merupakan salah satu cara menjaga martabat seorang wanita agar tidak mudah dilecehkan oleh lelaki karena laki-laki sangat mudah terpancing oleh syahwat.
Banyaknya kasus-kasus pelecehan seksual bukan hanya murni kesalahan dari laki-laki, bisa juga bermula dari perempuan itu sendiri yang memakai pakaian minimalis, atau ada bagian-bagian yang tidak semestinya ditampakkan, dan keluar rumah dengan memakai parfum berlebihan. Hal-hal seperti itulah yang menjadi awal mula pelecehan seksual, seakan si wanita memancing lelaki melihat pemandangan yang ia perlihatkan kepadanya. Naluriahnya semua manusia apalagi lelaki, jadi sangat berpeluang tergoda dengan perempuan. Itulah kenapa Islam sangat memperhatikan wanita dalam urusan berpakaian, Islam sangat menjaga dan menjunjung tinggi Marwah dan Martabat seorang wanita.
Selanjutnya, menjawab adanya klaim-klaim tugas rumah itu hanya dibebankan kepada seorang istri. Itu juga tidak benar, menurut Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi itu sebuah kesalahan, beliau memberikan solusi yang setara dan adil dalam urusan keluarga. “Lelaki punya tugas untuk menjaga dan menanggung wanita terkait urusannya. Sedangkan wanita juga sama, mendampingi lelaki (kerja sama) dan juga punya tanggung jawab terhadap dirinya”. Kalau memang solusi tersebut belum bisa terealisasi atau terwujud dalam kehidupan keluarga, boleh jadi karena budaya patriarki yang sudah bertumbuh kembang dalam lapisan masyarakat. Adat dan kebiasaan dipandang akan sulit untuk dilakukan perubahan, bila masih ada pertentangan antara ego lelaki dan kenyataan yang harus dihadapi. Lelaki mempunyai tanggung jawab kepada seorang wanita. Seperti dalam urusan keluarga, seorang bapak menjadi kepala keluarga yang akan memimpin dalam urusan keluarganya. Keluarga merupakan sekelompok orang yang harus pemimpin, maka dari itu seorang lelaki jika dilihat dari karakteristiknya (fisik dan internal) lebih condong kearah lelaki. Allah SWT berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (An Nisa`/4 : 34).
Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum laki-laki diberi Allah kelebihan dan tanggungjawab terhadap perempuan yang menjadi istrinya, hal ini mencakup segala hal terlebih dalam masalah nafkah. Hal ini menjadi konstruksi yang absolut berkembang sudah lama dimasyarakat yang turun-temurun diwariskan hingga sekarang. Namun terkadang kenyataan tidak melulu demikian, pasalnya terdapat istri yang juga mampu menafkahi keluarganya. Dalam kaidah umum, menafkahi keluarga adalah kewajiban dari seorang suami. Tetapi jika sebaliknya istri yang mencari dan memberikan nafkah untuk suami dan membantu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya maka hukumnya boleh, dengan catatan istri telah mendapat izin dari sang suami.
Diperlukanya kearifan yang lebih objektif dan realistis untuk mengembangkan persepsi hingga konsep peran gender yang lebih proporsional dan adil. Interpretasi Al-Qur’an oleh cendekiawan feminis Muslim seperti Amina Wadud menunjukkan bahwa ketidaksetaraan yang tampak dalam beberapa aspek hukum Islam lebih merupakan hasil tafsiran yang telah dipengaruhi oleh budaya patriarki, bukan substansi teks Al-Qur’an itu sendiri. Juga dalam hal ini, perspektif kesetaraan gender yang digagas oleh Wadud tersebut, hanyalah untuk mengakui hak-hak atas perempuan, bukan untuk mengambil alih pekerjaan pada laki-laki. Islam tidak hanya setara dalam memposisikan perempuan, lebih dari itu islam telah adil dalam mendudukkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan proporsinya. Konstruksi sosial perihal budaya patriarki menjadi tradisi kuno yang telah kita waris, kontrol ekonomi oleh negara yang dirasa kurang adil menjadi penyebab kuatnya budaya patriarki. Disini peran pentingnya institusi, serta lembaga-lembaga di tengah masyarakat. Harus ada upaya transformasi dari berbagai level, dari kebijakan hukum hingga perubahan nilai-nilai sosial. Lembaga pendidikan, seperti pesantren dan perguruan tinggi, juga menjadi salah satu peran untuk mengaktualisasikan perubahan mulai dari level terendah.
Ahmad Nur Fadhil
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Manusia amatir yang hobi nongkrong dan menyukai perkopian, terkadang juga suka membaca dan menulis. Pernah menyasar dalam perjalananya di Pesantren Tambakberas Jombang, kini sedang menempuh studi di Fakultas Syariah UIN SATU Tulungagung