Tradisi nyadran di Desa Mlorah Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk tahun ini digelar hari Jumat Pahing, tanggal 25 April 2025. Ini berarti masih masuk dalam kalender bulan Badha (Jawa) atau Syawal (Hijriyah). Biasanya, tradisi nyadran di Desa Mlorah digelar bulan Sela (Jawa) atau Dzulqa’dah (Hijriyah).
Menurut penulis, fakta tersebut dikarenakan di dalam bulan Sela (Dzulqa’dah) tahun ini tidak ditemukan hari Jumat Pahing. Sehingga tradisi nyadran sedikit “dimajukan” dalam bulan Badha (Syawal). Hari Jumat Pahing diyakini warga Desa Mlorah sebagai “hari lahir” desanya.
Makna Filosofis
Istilah nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu sraddha, yang berarti kepercayaan atau keyakinan. Pada banyak desa di Pulau Jawa lainnya, rata-rata nyadran digelar pada bulan Ruwah (Sya’ban), menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Pelaksanaan nyadran di Desa Mlorah pada bulan Sela (Dzulqa’dah) sehingga menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Sebagai tradisi masyarakat Jawa, nyadran pasti dilakukan dengan membersihkan dan mendoakan makam leluhur (besik). Termasuk juga adat makan bersama (kembul bujono) tumpeng yang melambangkan keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Tradisi ini memiliki makna kebersamaan, syukur dan mengenang jasa leluhur. Sehingga eksistensinya terus dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal dan menjaga nilai-nilai budaya Jawa.
Menurut Yanu Endar Prasetyo (2025), nyadran tidak hanya dimaksudkan sebagai sarana mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia. Namun juga mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian. Di samping tentunya dijadikan sebagai sarana melestrikan tradisi gotong royong dalam masyarakat. Termasuk upaya untuk dapat menjaga keharmonisan bertetangga melalui kegiatan slametan.
Dengan dipimpin pemangku adat, slametan juga menyampaikan tujuan dari serangkaian upacara yang dilaksanakan (ujub). Bahkan di banyak desa di Pula Jawa lainnya, nyadran selalu diiringi dengan kirab menuju tempat pelaksanaan upacara adat dilangsungkan. Pada puncaknya, tokoh agama menutup serangkaian upacara dengan doa yang ditujukan bagi para arwah leluhur desa.
Pemaknaan berbagai atribut simbolik dalam berbagai tradisi masyarakat Jawa, termasuk nyadran, menjadi keniscayaan. Dalam berkomunikasi dengan alam semesta maupun leluhur, masyarakat Jawa masih berpegang erat dengan makna-makna simbolik penuh filosofis yang tidak mudah dijelaskan. Pada posisi ini, muncullah istilah abangan sebagai tipologi masyarakat Jawa yang masih kuat berpegang teguh dengan tradisi.
Clifford Geertz, dalam buku The Religion of Java (1960), mengakui adanya trikotomi di masyarakat Jawa, yaitu abangan, santri dan priyayi. Pandangan ini telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang hubungan antara agama dan budaya ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama, khususnya Islam, dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya.
Akulturasi
Perkembagan dunia modern telah berhasil membawa manusia kepada era yang tidak pernah dibayangkan oleh nenek moyang sebelumnya. Menurut Nurcholis Madjid (1997), dunia modern mengharuskan manusia modern “mampu menyesuiakan” dengan perkembangan jaman. Tidak sekedar mengikuti tradisi sebelumnya.
Pada konteks nyadran di Desa Mlorah, fakta ini sudah ditunjukkan secara nyata. Keberagamaan masyarakat Desa Mlorah yang sudah mulai meningkat, mengharuskan adanya akulturasi terhadap tradisi nyadran. Tentu dengan berbagai ritual yang penuh dengan nilai-nilai Islam.
Tidak mengherankan jika pada dua dekade terakhir ini, setiap nyadran selalu dirangkai dengan khatmil Qur’an, tahlil, pengajian umum dan shalawatan. Tentu dengan tetap melestarikan tradisi lama yang terus dipertahankan, terutama pertunjukan wayang golek dan langen beksa (tayub). Lokasinya pun tetap seperti dahulu, di rumah kepala desa dan punden desa di sebelah SDN Mlorah 1.
Di samping itu, tiga situs awal di Desa Mlorah sudah saatnya dieksplorasi sebagai lokasi berbagai rangkaian kegiatan nyadran. Jika memungkinkan, tidak mustahil menjadi jujugan dalam melakukan ziyarah. Baik situs kuno batu lingga di punden Mbah Jantho, petirtan Mbah Janeng di selatan maupun makam kuno Mbah Canthing di pojok’an Desa Mlorah.
Ketiga situs ini bersesuai dengan peta desa dari KITLV Leiden Belanda. Peta itu dibuat pada Juli 1892. Dalam peta menunjukkan wilayah Desa Mlorah di akhir abad XVIII Masehi.
Akulturasi nilai-nilai Islam kepda tradisi nyadran diidentifikasi sebagai bentuk manifestasi keterbukaan kaum santri dalam “menerima” tradisi lama yang belum bisa diubah. Sebagaimana tulisan Zamakhsyari Dhofier dalam buku The Pesantren Tradition (1980), kaum santri merupakan sosok yang konsisten melaksanakan ajaran agamanya. Meski tetap membaca kondisi riil di lapangan di bawah bimbingan kiainya.
Perpaduan yang apik ini dalam tradisi nyadran di Desa Mlorah tentu membutuhkan waktu lama untuk merealisasikan. Tidak seperti membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan kesepahaman dari para pemangku adat dan tokoh agama dalam menemukan titik kompromi demi kebaikan bersama.
Tradisi nyadran yang sudah turun temurun di Desa Mlorah merupakan warisan leluhur yang harus tetap dilestarikan. Berbagai nilai positif tentu akan bisa dipetik dari tradisi ini. Mulai dari menjalin silaturahim, nilai sedekah kepada sesama dan gotong royong akan dengan mudah ditemukan dalam nyadran.
Hal yang paling penting untuk digarisbawahi adalah adanya upaya untuk terus menjaga sejarah desa. Histori ini penting untuk tidak dibelokkan oleh oknum-oknum yang sekedar mencari untung dari pemutarbalikkan sejarah itu sendiri. Ini harus terus dilakukan bagi warga Desa Mlorah yang mayoritas masih agraris. Meski gempuran industrialiasasi yang mengarah kepada individualistik makin mengancam.

Dosen STAI Darussalam Krempyang Nganjuk