Suluk.id – Pada pukul 14.00 WIB Sabtu 10 April 2021 kita telah dikagetkan dengan adanya peristiwa gempa Bumi. Gempa Bumi tersebut berpusat di 90 km arah Barat Daya dari Kabupaten Malang Jawa Timur. Namun gempa tersebut telah dirasakan di seluruh wilayah Jawa Timur, salah satunya adalah Kabupaten Tuban.
Efek gempa yang dirasakan di Kabupaten Tuban memang tidak separah seperti yang dirasakan di wilayah Jawa Timur bagian selatan, namun Gempa Bumi kali ini cukup mengagetkan dikarenakan goncangannya lebih besar daripada peristiwa gempa sebelumnya.
Dilihat dari beberapa catatan, Tuban pernah mengalami beberapa kali gempa bumi. Data tertua yang memuat gempa bumi di Tuban terdapat di prasasti Waruṅgahan bertarikh 1227 Śaka, atau 1305 Masehi. Prasasti ini ditemukan ketika sedang menggali pondasi bangunan di kedalaman sekitar 0,5 m di bawah permukaan tanah di sebuah desa yang terletak di Kecamatan Semanding.
Ditemukannya prasasti ini sangat berkontribusi dalam kajian sejarah di Indonesia, dan tentunya sejarah di Tuban pada khusunya. Selain dalam dunia kesejarahan, isi dari prasasti ini juga bisa digunakan untuk mitigasi bencana gempa bumi di Tuban, karena dapat menjadi salah satu bahan kajian untuk menerangkan masa ulang gempa bumi yang selalu memilik return period. Data tertua yang dapat diketahui sebelum prasasti ini ditemukan adalah terjadinya gempa di daerah Rengel Tuban dengan guncangan berulang pada tanggal 18 Juli 1864.
Berita tentang gempa bumi sangat sedikit dijumpai di prasasti, namun di prasasti Waruṅgahan ini bahkan menjadi bagian pokok dari alasan para pemegang prasasti. Penjelasan tentang gempa bumi terdapat di lempeng III b.2, “°ika taŋ praśāsti hilaŋ ri kāla niŋ bhūmi kampa” yang artinya “prasasti itu (telah) hilang ketika bumi berguncang”.
Peristiwa berguncangnya bumi adalah peristiwa gempa bumi. Gempa bumi tersebut terjadi di sebuah wilayah bernama Warunggahan. Besar kemungkinan bahwa tempat yang bernama Warunggahan itu adalah nama kuno dari Desa Prunggahan sekarang.
Jarak tempat temuan prasasti dengan Desa Prunggahan hanya sekitar ± 4 km. Pergeseran kata Warunggahan menjadi Prunggahan secara etimologis masih dapat dipertanggungjawabkan.
Sedikit perbedaan penulisan ini dapat dijelaskan melalui pemahaman terhadap hukum perubahan bunyi bahasa. Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa kemungkinan besar wilayah sīma Waruṅgahan itulah yang sekarang ini menjadi wilayah Prunggahan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Sebelumnya, wilayah Warunggahan ini telah ditetapkan menjadi tanah sīma oleh Raja Kertanagara. Penetapan tanah sīma ini diberikan kepada Pāduka Mpuṅku Śri Buddhaketu, yakni salah satu bangsawan di wilayah tersebut.
Pāduka Mpuṅku Śri Buddhaketu diberi tanah sīma dikarenakan telah menemani Raja Kṛtanagara pada saat bercermin/mawas diri, serta melindungi sang raja ketika memuja kepada bhaṭāra Śri Wairocana yang bertujuan untuk meminta kesejahteraan dunia dan surga bagi para warga.
Namun berjalannya waktu, tanda atau piagam dari penetapan sīma tersebut telah hilang dikarenakan di Waruṅgahan telah terjadi gempa bumi. Untuk kapan waktu gempa bumi tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas kejadian tersebut terjadi pada masa pemerintahan Krtanagara (1190-1214 Śaka) karena penetapan awal sīma itu terjadi pada masa pemerintahannya.
Kemudian para ahli waris dari Pāduka Mpuṅku Śri Buddhaketu memohon kepada raja Sanggramaijaya (Raden Wijaya) agar bisa menetapkan kembali hak kepemilikan sīma itu. Permohonan itu dikabulkan sehingga mereka dapat menerima kembali ketetapan tersebut, para ahli waris Pāduka Mpuṅku Śri Buddhaketu mendapatkan hak istimewa lagi. Penetapan kembali prasasti tersebut terjadi pada hari Sabtu Wage Paniruan tanggal 15 Kṛṣṇapakṣa bulan Weśaka tahun 1227 Śaka, jika dimasehikan jatuh pada tanggal 24 April 1305.
Beranjak dari peristiwa di atas, telah menimbulkan sebuah pertanyaan. Seberapa besar gempa bumi pada saat itu, sehingga menghilangkan prasasti yang berada di Warunggahan? Tentunya hal itu membutuhkan penelusuran lebih lanjut. Dalam kaitan ini, tentunya membutuhkan lintas disiplin ilmu untuk membahas peristiwa ini. Hal ini membuka peluang kepada para ahli geologi untuk mengkajinya lebih mendalam.
Daftar Rujukan:
Goenawan A. Sambodo, “Prasasti Waruṅgahan Sebuah Data Baru dari Masa Awal Majapahit”, Amerta: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Vol. 36 (1), Juni 2018.
Beberapa Berita dari Prasasti Waruṅgahan 1227 Śaka, Makalah, disampaikan di Seminar Kongres Nasional Komunitas Sejarah, Kediri 26-28 Oktober 2018.
Pegiat sejarah asal Tuban.