Akhirnya saya lebih tenang, karena terjemah yang saya lakukan tidak meleset jauh dari pendapat yang dikatatakan oleh Ibnu Katsir. Tentu, kenapa saya membuka terlebih dahulu tafsir Ibnu Katsir, ya, karena menurut pandangan para ulama, jenis tafsir beliau adalah tafsir bil ma’tsur yang menduduki rangking pertama metodologi tafsir Alquran.
Suluk.id – Malam itu, saya mencoba kembali membaca Alquran setelah lama tidak saya buka. Kali ini, pembaca jangan meniru saya. Setelah agak lama membaca, sampailah kepada sebuah bacaan Alquran yaitu ayat tentang puasa Al-Baqarah ayat 184. Di tengah-tengah ayat tersebut ada sebuah kalimat yang bunyinya begini:
وَعَلَى ٱلَّذِینَ یُطِیقُونَهُۥ فِدۡیَةࣱ طَعَامُ مِسۡكِینࣲۖ
Saya memandangi serius ayat itu sambil mengernyitkan dahi. Potongan ayat tersebut jika saya terjemahkan dengan kemampuan bahasa Arab saya yang sederhana artinya begini, “Bagi orang-orang yang mampu (namun tidak berpuasa), maka baginya membayar fidyah untuk orang miskin.”
Saya kembali mengernyitkan dahi, terjemah yang saya lakukan sudah sesuai dengan kaidah gramatika Arab. Dan saya tidak menemukan kata lam alif (tidak) di antara kata alladzina dan yutiquna. Tentu saya meyakini ini sudah benar, dan saya harap pembaca jangan percaya terlebih dahulu terjemahan nggedabrus saya.
Tidak puas sampai di situ, saya akhirnya membuka terjemahan ayat tersebut yang diterbitkan oleh kementerian agama. Terjemah yang saya temukan begini: “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin.” Tampak jelas perbedaan terjemahan versi saya dengan apa yang diterjemahkan oleh Kementerian Agama.
Namun, investigasi saya tidak berhenti. Kali ini saya mencoba menelusuri tafsir yang dikarang oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir Al-Qur’an al-’Adzim: cukup mencengangkan Ibnu Katsir ternyata sepakat dengan terjemahan model saya. Beliau mengatakan demikian:
Sedangkan pendapat yang valid ialah orang yang mukim yang mampu berpuasa maka dia boleh memilih antara puasa dan tidak puasa. Jika dia ingin maka dia bisa berpuasa, jika tidak dia boleh tidak berpuasa dengan konsekuensi memberi makan orang yang tidak mampu setiap harinya. Jika setiap hari dia memberi makan lebih dari 1 orang tidak mampu maka itu lebih baik. Jika dia berpuasa maka itu lebih utama dari memberi makan orang tidak mampu. Pendapat ini disampaikan oleg Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil bin Hayyan, dan ulama salaf yang lain.
Akhirnya saya lebih tenang, karena terjemah yang saya lakukan tidak meleset jauh dari pendapat yang dikatatakan oleh Ibnu Katsir. Tentu, kenapa saya membuka terlebih dahulu tafsir Ibnu Katsir, ya, karena menurut pandangan para ulama, jenis tafsir beliau adalah tafsir bil ma’tsur yang menduduki rangking pertama metodologi tafsir Alquran.
Saya ingin menggali lebih dalam ulama mufassir yang lainnya. Apakah juga berpendapat demikian. Pandangan saya hinggap kepada Sebuah tafsir yang cukup tebal. Jami’ al-Bayan yang dikarang oleh Syaikh Tabari, lebih dikenal dengan Tafsir al-Tabari. Syaikh Tabari lebih memilih untuk menggelar pendapat seluruh ulama daripada mengunggulkan salah satu di antaranya.
Dan, ternyata para ulama salaf sudah banyak berdebat tentang ayat tersebut. Mulai dari cara membaca yutiquna hingga makna dari lafad tersebut. Simak saja empat uraian dari Al-Tabari:
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat tersebut diperuntukkan di awal kewajiban puasa. Saat itu orang yang mampu berpuasa dan mukim dipersilahkan untuk berpuasa atau tidak berpuasa kemudian membayar fidyah kepada orang miskin. Sampai kemudian ketentuan seperti ini dihapus.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ayat ini khusus untuk orang yang sudah tua renta, lagi lemah namun masih kuat berpuasa. Maka ayat ini merupakan ayat yang meringankan mereka dengan cara membayar fidyah. Kemudian ayat ini dinasakh dengan ayat “barang siapa yang melihat bulan itu hendaklah dia berpuasa”. Sehingga seseorang yang sudah uzur namun masih kuat berpuasa tetap wajib berpuasa sebagaimana para pemuda yang juga wajib menjalankan puasa.
Para ulama yang lain berpendapat bahwa ayat itu tidak di-nasakh. Itu adalah ketetapan dari Yang Maha Kuasa hingga hari kiamat. Karena lafad alladziina yutiqunahu mengandung arti kuat melaksanakan saat muda, remaja, saat sehat, serta kuat, bila kelak mereka sakit, menua, dan melemah hingga tidak dapat melaksanakan puasa maka baginya membayar fidyah.
Sebagian yang lain berpendapat yang dimaksud dengan lafad alladzina ialah orang yang sudah renta, serta perempuan yang lemah diperbolehkan tidak berpuasa dengan membayar fidyah setiap hari puasa yang dia tinggalkan. Penapat ini menentang pendapat yang menasakh ayat ini.
Dalam uraiannya yang panjang Syaikh Tabari mengutip banyak dasar untuk menguatkan pendapatnya masing-masing di atas yang tidak bisa saya sampaikan di sini.
Saya kemudian menutup mushaf Al-quran saya, menciumnya dan menaruhnya dalam almari. Setelah puas mengarungi dua tafsir itu tadi saya berkesimpulan perbedaan pendapat ini menegaskan bahwa Allah benar-benar menginginkan kemudahan kepada hamba-Nya daripada menginginkan kesukaran.
Tapi, bagaimana kalau hobi kita memang suka menyulitkan diri. Ah, kita kan memang manusia.
Lulusan Pondok Pesantren Al-Islam Nganjuk serta dosen di IAIN Tulungagung