Cerita itu memang benar adanya dan terjadi secara nyata, tidak dibuat-buat oleh masyarakat awam atau hanya omongan yang tidak bermakna. Itu adalah kisah nyata dan benar-benar terjadi.
Namun oleh sejarawan orientalis (termasuk murid-muridya di Indonesia, yang menyusun Sejarah Nasional Indonesia) kisah para Wali Songo hanyalah kisah-kisah mistis yang kebenarannya tidak akurat, penuh khayalan, sehingga mereka tidak memasukkannya dalam deretan masa-masa dalam sejarah Indonesia.
Cerita ini sudah akrab di telinga masyarakat Tuban secara khusus dan secara umum warga Nahdliyin di seluruh Indonesia. Dimana pertarungan Sunan Bonang versus Brahmana Sakyakirti telah membuktikan bahwa Islam benar-benar Tinggi dan Agama yang benar.
Kisah itu bermula ketika rombongan sang Brahmana beserta para muridnya telah terhempas di pantai Tuban karena kapal yang ditumpanginya telah karam akibat ombak, angin dan hujan yang menghantamnya. Lalu bertemulah sang Brahmana dengan Sunan Bonang di pantai Tuban dan terjadilah dialog yang terkenal.
Alih-alih ingin menantang Sunan Bonang adu kesaktian dan kecerdasan, Brahaman Sakyakirti mendapati kitab-kitabnya berada di depannya (bersama air yang muncrat dari tanah itu) yang hilang di laut karena tongkat sunan Bonang yang ditancapkan di tanah pantai. Heran, jelas sekali, bahkan kaget luar biasa.
Sosok yang akan dihadapinya ternyata bukan orang sembarangan dan telah membuktikan diri sebagai sosok yang melebihi ilmunya. Singkat cerita sang Brahaman dan para muridnya akhirnya sungkem dan bersujud dihadapan Sunan Bonang sambil berharap diangkat menjadi muridnya. Tiga Temuan
Dari kisah pertemuan Sunan Bonang dengan Brahaman Sakyakirti itu paling tidak penulis bisa memetik tiga hal penting, diantaranya:
Kesaktian dan Kecerdasan Adalah Satu Kesatuan
Orang yang cerdas pasti sakti dan orang sakti tentu juga cerdas, itulah yang seharusnya terjadi dalam setiap ilmu yang dipelajari dan diamalkan oleh manusia.
Jika seseorang mempelajari suatu ilmu maka ilmu itu pasti akan menghadirkan kesaktian diri dan kecerdasan intelektualitas, yang artinya jika ilmu itu tidak bisa menghadirkan dua hal yang saling melengkapi itu maka bisa jadi ilmu tersebut bukan ilmu yang sesungguhnya.
Mungkin bisa juga duplikatnya yang kosong dan ompong. Hanya nampak luarnya saja, tidak mengandung kekuatan atau isi. Inilah yang membentuk diri Sunan Bonang yang memiliki kecerdasan sekaligus kesaktian.
Kesaktian dan kecerdasan dalam Islam tidak mengandalkan tekstualitas. Itulah yang dibuktikan oleh Sunan Bonang terhadap Brahamana dari India yang penganut dewa-dewa Hindu. Ilmu yang dipelajari oleh sang Brahamana hancur dan tidak mampu berkutik dihadapan keilmuan yang dikuasai oleh Sunan Bonang.
Jika keilmuan sang Brahmana masih mengandalkan mantra dalam kitab-kitabnya yang ditulis dengan huruf-huruf (mungkin menggunakan bahasa Sansekerta) maka Sunan Bonang hanya menggunakan kekuatannya yang tidak terlihat, yang melekat di dalam dirinya.
Kesaktian dan kecerdasan di dalam Islam jelas tidak mengandalkan teks-teks kitab yang tersusun atas simbol-simbol huruf.
Islam adalah Nyata dan bisa dibuktikan
Jika Islam tidak bisa dibuktikan secara nyata maka Islam adalah agama yang salah dan memiliki Tuhan yang salah pula. Artinya, Islam harus bisa dibuktikan secara nyata mampu mengalahkan kekuatan yang bukan Islam. Islam harus mampu menunjukkan kebenaran dari keyakinan yang dibangunnya atas kenyakinan lain yang dibentuk dari Tuhan yang palsu.
Jika seseorang yang beragama “Islam” tidak mampu membuktikan kebesaran Islam melalui “pengamalan ibadahnya” jelas beragama “Islam”-nya itu merupakan duplikat, alias salah. Inilah yang kemudian dibuktikan oleh Sunan Bonang terhadap Brahamana asal India yang ingin membuktikan kebenaran kenyakinannya.
Akibatnya, si Brahaman telah terbukti bahwa Tuhan yang disembah telah salah dan justru malah ditunjukkan atas kebenaran agamanya Sunan Bonang.
Salah Membaca Metode
Dewasa ini nampaknya ada yang salah dengan jargon mengikuti dan meneruskan perjuangan Wali Songo oleh para da’i-da’i Muslim. Dimana perjuangan Wali Songo dalam berdakwah diikuti dan diteruskan oleh umat Islam Indonesia, namun tidak dibarengi dengan keilmuan yang sama persis dengan amalan dan keilmuan yang dipelajari oleh Sunan Bonang.
Yang diikuti dan ditiru adalah cara berdakwahnya Sunan Bonang yang konon dengan cara-cara akhlak yang mulia, santun, dan kasih sayang, dan itu memang benar adanya. Namun yang nampak justru hanya penampilan luarnya saja, tanpa ada isi dan kekuatan yang menyertai para da’i. Apa yang dimiliki oleh Sunan Bonang tidak dimiliki oleh Umat Islam.
Lebih jelasnya, dewasa ini kita tidak menemuai sosok para da’i yang memiliki kemampuan yang sama dengan sunan Bonang. Sehingga tidak salah jika kemudian ada sosok da’i yang dikalahkan oleh seorang dukun atau oleh seorang pendekar yang tidak sholat dan tidak bisa mengaji.
Lalu, Kader NU….
Sebagai jam’iyah yang komitmen dengan perjuangan dan berupaya meneruskan ajaran Wali Songo tentunya Nahdlatul Ulama dan kader-kadernya harus mampu mengikuti keilmuan yang dimiliki oleh Sunan Bonang. Kader-kader Nahdlatul Ulama harus mampu mengikuti jejak-jejak keilmuan yang telah dimiliki dan dipelajari oleh Sunan Bonang.
Jika memungkinkan 100 persen keilmuan Sunan Bonang harus berada di tangan kader NU, bisa dikuasai oleh kader NU. Jika tidak memungkinkan cukuplah 50 persen saja.
Jangan hanya melihat Sunan Bonang itu sosok da’i yang menggunakan seni gamelan sebagai media dakwah, atau menggunakan media lainnya yang nampak oleh mata saja, tapi dibalik semua itu Sunan Bonang adalah sosok yang dekat pada Allah dengan amalan-amalan (yang dipelajarinya) yang lurus diwarisi dari Rasulullah shollahu’alaihi wassalam. Dan itu bisa dibuktikan secara nyata dan harus benar. Tidak hanya angan-angan dan dalam bentuk tulisan saja.
Sosok Kader NU harus bisa mengikuti jejak-jejak Sunan Bonang karena perjuangan yang dilanjutkan adalah perjuangan Sunan Bonang dan para Wali Songo lainnya.
Bisa mengalahkan sosok pendeta hanya dengan tongkatnya saja, bisa menghadirkan apa yang dipikirkan oleh musuh yang akan dihadapinya, dan bisa menaklukkan musuh menjadi kawannya.
Jika hal itu tidak bisa dilakukan oleh kader NU maka jelas ada yang salah dengan cara “menjadi Islam”nya, dan memerlukan evaluasi dan
Mencari sosok Guru yang sama dengan Sunan Bonang. Secara langsung bertatap muka, bukan melalui pembacaan teks-teks tulisan. Teks tulisan itu hanya informasi yang tidak mengandung esensi ilmu itu sendiri. (*)