Suluk.id – Ali berdiri. Berdiri Ali. Sungguh Ali telah/sedang berdiri. Ada Ali, adalah berdiri.
Kalimat di atas terasa aneh dalam bahasa Indonesia, tidak biasa, kecuali kalimat pertama “Ali berdiri” yang mengikuti SPOK bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab, susunan di atas sangat biasa digunakan. Selain biasa digunakan, kalimat tersebut memiliki makna tersendiri, walau secara umum bermakna Ali berdiri.
Bila kalimat bahasa Arab seperti susunan di atas diterjemahkan dalam bahasa Indonesia seakan-akan makna dan maksudnya sama, walau sebenarnya memiliki maksud yang berbeda.
Misalnya dalam bahasa Arab;
ﻗﺎﻡ ﻋﻠﻲ (Telah bediri Ali)
ﻋﻠﻲ ﻗﺎﻡ (Ali telah berdiri)
ﻋﻠﻲ ﻗﺎﺋﻢ (Ali berdiri)
ﺇﻥ ﻋﻠﻴﺎ ﻗﺎﺋﻢ (Sungguh Ali berdiri)
ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻲ ﻗﺎﺋﻤﺎ (Ada Ali adalah berdiri)
ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻲ ﻗﺎﻡ (Ada Ali telah berdiri)
ﺇﻥ ﻋﻠﻴﺎ ﻗﺎﻡ (Sungguh Ali telah berdiri)
Kalimat di atas diterjemahkan secara tekstual (kata perkata), bila diterjemahkan secara bebas merujuk pada satu makna “Ali berdiri”.
Struktur bahasa Arab di atas memiliki nama-nama tersendiri, ada yang namanya Jumlah Ismiyah atau klausa nomina (ada pula yang menyebut dengan musnad dan musnad ilaih), itupun masih dirinci menjadi Aljumlah Al-Sughara (kalimat terkecil) bila hanya terdiri dari susunan Mubtada’ dan Khabar saja, itu pun khabarnya bila terdiri dari isim mufrad (tunggal). Ada Jumlah al-Kubra yang masih dibagi dua, Aljumlah dzatul wajhi dan Aljumlah Dzatul wajhain.
Susunan kalimat bahasa Arab di atas bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, hanya menunjuk pada satu makna, “Ali Berdiri” tetapi dalam dalam struktur bahasa Arab, susunan fi’liyah (kalimat verba) memiliki beberapa fungsi di antaranya adalah “adam stubut” (tidak tetap), berbeda dengan susunan is’miyah (kalimat nonina) yang memiliki fungsi tetap. Belum lagi bila predikatnya menggunakan fi’il (kata kerja madhi atau mudhari’), sedangkan dalam bahasa Indonesia sering menggunakan keterangan waktu. Dan dalam bahasa Arab sering menggunakan menggunakan pola Predikat + Subjek (fi’liyah).
Belum lagi bila susunan kalimat di atas ditambah dengan Awamil seperti Inna (sungguh), Kana (ada) dan lainnya maka memiliki makna tersendiri.
Tayyib, bagaimana bila subjek berada setelah predikat atau subjek sebelum predikat, atau setelah subjek setelah predikat, objek dan keterangan? Itu juga sangat berpengaruh kepada yang diinginkan oleh teks dalam bahasa Arab, walau dalam bahasa Indonesia terasa aneh misalnya “Berdiri Ali”.
Susunan dalam Al-Qur’an tidak dapat diterjemah secara bebas, walau maksudnya tidak jauh dari struktur bahasa Indonesia atau secara bahas Indonesia sudah benar (S+P+O+K). Sepertinya susunan “Kami Menyembah Kepadamu”. Dan “Kepadamu, kami menyembah”. Atau menerjemah susunan ayat “Idza waqa’atil waqiah” Apabila kiamat telah terjadi, tanpa memahami maksud dari susunan fi’liyah (kalimat verba) di dalamnya, maka seolah-olah kiamat telah pernah terjadi, berbeda dengan terjemahan yang ada “Apabila terjadi hari Kiamat” itu pun tidak ditemukan arti verba madhi (lampau) yang ada di dalamnya.
Alumni Annuqoyah Guluk Guluk Sumenep