Bisa jadi juga, urusan rumah tangga dibagi-tugaskan kepada dua orang baik suami maupun istri. Mengingat berumah tangga adalah sebuah ketrampilan yang tidak bisa ditarik kesimpulan yang universal.
suluk.id – Ningsih (tentu saja nama samaran), teman seprofesi saya, mengajak berdiskusi siang itu. Wajahnya begitu penuh dengan pertanyaan setelah saya sedikit menjelaskan mazhab-mazhab feminisme kemarin sore. Memang, kemarin kemarin sore kita sempat mendiskusikan feminisme radikal, liberal, psikoanalisis, hingga sosial, dan sepertinya Ningsih tertarik dengan penjelasan saya.
“Begini,” Ningsih membuka percakapan dengan penuh antusias.
“Kamu harus tahu, bahwa suamiku tidak bekerja. Dia mengakui benar bahwa dia lebih menyukai pekerjaan di rumah, memasak, membersihkan rumah, dan pekerjaan rumah tangga yang lainnya. Sedangkan aku sendiri lah yang bekerja mencukupi kebutuhan hidup, dalam artian mencari nafkah.”
“Serius? Ada laki-laki seperti itu?” saya memotong pembicaraan begitu saja.
“Iya, ada, benar begitu dan itu suamiku, unik memang. Dan kami baik-baik saja, mempunyai dua anak, dan berdamai dengan hal-hal yang berbeda jauh dengan kebanyakan teman dan tetangga saya.”
“Jadi, umpamanya kamu berdinas ke luar kota, kamu juga izin juga?” selidikku, saya memang penasaran kali ini. Bagaimana tidak, yang dilakukan Ningsih masih sangat jarang terjadi dalam konstruksi sosial kehidupan kita sehari-hari. Mana mungkin saya tidak tertarik dengan keunikan ini.
“Iya, dan ketika suami saya tidak mengizinkan, ya, sudah. Saya tidak akan pergi dan digantikan oleh orang lain. Tapi, semua keputusan vital rumah tangga ada di tangan saya,”
“Boleh saya tahu, contohnya apa?”
“Baru minggu kemarin proses pembangunan rumah usai. Dan, saya sendiri lah yang menginisiasi pembangunan rumah, mulai dari kebutuhan material hingga mengawasi proses pembangunannya.”
“Hebat,” pujiku, setelah kupastikan bahwa keluarganya baik-baik saja, dan berlangsung begitu harmonis.
Cerita Ningsih begitu luar biasa, jika dibolehkan saya menyebutnya dengan feminisme kultural, di mana dia tanpa pengetahuan tentang feminisme, dia telah begitu menjiwai ruh feminisme itu sendiri. Bagaikan orang yang mampu membaca Alquran dengan fasih dan benar, namun tidak mengetahui kaedah-kaedah dalam ilmu tajwid.
Sampai di rumah, saya merenungi keluarga Ningsih yang unik. Saya baru sadar, ternyata saya masih terpengaruh dengan bias laki-laki selalu menjadi pemimpin, dan masih saja saya menganggap tidak lazim keluarga yang dipimpin lahir batin oleh seorang perempuan. Saya paham dan memakluminya, bukankah ini tradisi kita semua.
Ternyata, perenungan saya belum selesai, terlintas di kepala saya sebuah ayat yang membuat gusar para peneliti feminisme muslim. Ya, ayat yang tidak asing lagi, yaitu arrijalu qawwamuna ‘alan nisa’ (para laki-laki lebih utama daripada perempuan). Bagaimana memahami ayat ini dari segi keunikan Ningsih? Pada akhirnya ini memaksa saya untuk membuka kembali penafsiran tentang ayat ini.
Di antara penafsiran yang menarik adalah sebuah bahwa arti dari kata ar-rijal dalam ayat tersebut bukanlah laki-laki melainkan maskulinitas yang masuk dalam ranah gender. Maskulinitas bisa dimiliki oleh seluruh manusia tanpa memandang jenis kelamin. Maka, bagi siapa pun yang memiliki sifat maskulin dia akan menjadi lebih utama dari yang lain.
Cendekiawan lain, semisal Amina Wadud memberikan penjelasan bahwasanya ayat tersebut harus ditekankan kepada kalimat selanjutnya yaitu, “Dengan apa yang Allah lebihkan sebagian manusia di atas yang lain.” Jadi, kelompok mana yang dilebihkan oleh Allah bukanlah sesuatu yang mutlak. Jadi seyogyanya hak dan kewajiban baik laki-laki maupun perempuan harus dibagi atas dasar keadilan sesuai dengan kelebihan masing-masing.
Kalau merujuk kepada tafsir para cendekiawan salaf, semisal Ibnu Katsir, seorang laki-laki mutlak harus menjadi pemimpin bagi perempuan. Laki-laki wajib menjadi pemimpinnya, manusia utama, hakim, bahkan menjadi penegak disiplin bagi perempuan. Selanjutnya, Ibnu Katsir menilai bahwa laki-laki (memang) lebih baik daripada perempuan.
Beraneka ragam penafsiran tersebut, membuat Saya pribadi berpikir, bagaimana dengan seni berumah tangga ala Ningsih di atas. Ningsih jelas telah menjadi pribadi yang terampil dalam menjadi tulang punggung keluarga sekaligus pemegang nahkoda ke mana bahtera keluarganya berlabuh.
Saya kemudian memilih membaca kalimat selanjutnya dalam ayat tersebut: “Wa bima anfaqu min amwalihim [Dan karena laki-laki telah menafkahkan harta mereka].” Kelanjutan ayat ini menarik karena untuk menjadi qawwam (lebih utama) dari perempuan, laki-laki harus mencari nafkah untuk di-tasarruf-kan kepada keluarganya.
Singkatnya nafkah adalah penyebab utama seorang laki-laki bisa memimpin keluarga.
Namun, nafkah pada masa ini, bisa dipegang oleh siapa saja. Dan Ningsih ialah salah satu dari sekian keluarga yang membebankan kehidupannya kepada istri. Maka, apabila kewajiban nafkah saat itu dialihkan kepada perempuan atau dilakukan secara bersama-sama. Urusan kepemimpinan pun berada pada tempat yang sama, bisa saja ibu rumah tangga menjadi pemimpin dan juga sebaliknya.
Bisa jadi juga, urusan rumah tangga dibagi-tugaskan kepada dua orang baik suami maupun istri. Mengingat berumah tangga adalah sebuah ketrampilan yang tidak bisa ditarik kesimpulan yang universal. Bisa jadi sebuah keluarga bahagia karena dipimpin oleh seorang laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan yang lain pula, banyak keluarga yang harmonis manakala seorang ibu rumah tangga menentukan masa depan keluarganya. Dalam berkeluarga, apalagi kalau bukan kebahagiaan yang menjadi tujuan?
Lulusan Pondok Pesantren Al-Islam Nganjuk serta dosen di IAIN Tulungagung