Suluk.id – Perkembangan dunia ditandai dengan kemajuan iptek mendorong adanya kebebasan berfikir dan berpendapat. Seolah olah tidak terdapat limit bagi setiap orang mengutarakan pendapat, pikiran dan pembaharuan tak terkecuali di dunia intelek muslim. Dewasa ini, cendekiawan muslim dan non muslim mempropagandakan kajian Islam, terutama khazanah tafsir Al Qur’an. Banyak sekali dari tokoh Islam modern yang berkiblat pada orientalis dengan mengusung teori hermaneutika sebagai Al Tajdid. Nashr Al Hamid Abu Zaid seorang akademisi Al Qur’an serta penganut liberal Islam menyatakan bahwa Al Quran merupakan Muntaj Tsaqafi yakni dasar ilmu dan budaya Arab berinteraksi dengan Islam dengan berlandaskan pada teks Al Qur’an sehingga metode konvensional dalam kajian tafsir klasik sudah tidak lagi relevan.
Identifikasi Shalih li kulli zaman wa makan pada Al Qur’an menjadi dalil yang secara teori akademik wajib terimplementasikan. Dengan demikian muncul terobosan baru tentang metode penafsiran Al Qur’an yakni gagasan F.E Daniel Schleiermacher dengan nama metode hermeneutika. Metode ini digunakan kaum barat untuk menerjemahkan bible, tentu teori ini mendapatkan pertentangan ulama karena ketidaksesuaian terhadap budaya Islam.
Landasan kontra atas tidak diterimanya metode ini adalah pada argument penilaian Muhammad Abduh yang menilai bahwa Al Qur’an dan kitab lainnya memiliki derajat sama dengan karya ilmiah. Hal ini menciptakan Ikhtilafiyah di kalangan ulama, sebab Al Qur’an secara harfiah merupakan Lafdzan wa maknan minallah berbeda dengan Bible yang merupakan produk interpretasi Gamaliel. Hal ini memunculkan stigma racun hermeneutika sebagaimana penjelasan Syamsuddin Arif atas rusaknya penyampaian maksud Al Qur’an yang sesungguhnya karena adanya revitalisasi makna penafsiran yang ditafsirkan sesuai konteks, kondisi dan trend masyarakat sehingga mengikuti selera masing masing.
Pertentangan juga menitikberatkan pada produk tafsir yang berarah balik dengan syariat hukum Islam. Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur misalnya, menggagas teori baru yang menghasilkan penegasan tentang hubungan seks non marital adalah sah menurut syariat Islam sebagaimana hubungan seksual marital sehingga konsep ini menawarkan akses berhubungan lebih luas dan bebas. Pernyataan sama juga dikuatkan argumentasi Siti Musdah Mulia sosok aktivis hak wanita Indonesia atas kebenaran homosexuality. Bahkan terdapat juga Instansi Perguruan Islam yang menerbitkan tulisan serupa dengan judul “ Indahnya Kawin Sesama Jenis”.
Penafsiran yang tergolong sensitive ini menuai banyaknya pertentangan ulama karena substansinya terlihat bertentangan dengan syariat Islam. Akibatnya hal ini bisa berdampak buruk pada keimanan umat dan berpotensi adanya perdebatan tentang otentisitas Al Qur’an. Selanjutnya perlu digaris bawahi di balik kubu kontra atas tanggapan metode ini terdapat pendapata netral dalam mengintegrasi teori hermeneutika dengan Ulumul Al Qur’an . Salah satu tokoh ini adalah Sahiron Syamsuddin yang menciptakan tawaran baru sebagai upaya menafsirkan Al Qur’an berbasis kontemporer dengan mengharmonisasi kajian Islam dan Barat yang dikenal dengan pendekatan Ma’na-Cum-Maghza. Pendekatan ini merupakan lanjutan teori sarjana Al Qur’an modern, Fazlur Rahman, Abdullah Saeed, dll.
Wal hasil dapat dipahami bahwa upaya memahami teori ini tidak selalu bertendensi pada nilai kontroversialnya saja namun sikap selektif dan kritis dalam memilih prinsip hermeneutika yang sesuai dengan syariat Islam juga berpengaruh pada perkembangan tafsir di era modern. Senada dengan ungkapan M. Quraish Shihab bahwa datangnya pembaharuan teori pengkajian tafsir ini seharusnya dijadikan sebagai proses adaptasi, bukan adopsi.
Penulis : Saidatun Nisa’ Mahasiswa Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan