Banjir Jakarta telah banyak korban. Tapi, masih saja masyarakat lain sibuk dengan perdebatan. Debat tentang kinerja pemerintah hingga saling olokan. Ada juga yang gembar-gembor tentang tafsir penyebab banjir Jakarta.
Apapun itu, setiap orang punya respon masing-masing tentang banjir di Ibu Kota. Namun, sebaiknya mereka tak banyak berkata melainkan harusnya membantu korban banjir.
Nahdlatul Ulama telah memberikan contoh pada kita semua. Tentang apa yang seharusnya dilakukan saat banjir terjadi. Bukan sibuk komentar tapi lebih banyak melakukan gerakan untuk korban.
Gerakan membantu koran banjir telah dilakukan dengan berbagai macam cara. Memberi bantuan secara finansial hingga membangun posko dan para kader yang terjun ke lapangan. Mereka semua berada di tengah-tengah korban banjir.
Kami yakin seyakin yakinnya. Kader-kader NU tidak akan bertanya tentang apa agama para korban banjir. Mereka rela menolong karena itu adalah tugas kemanusian.
Para kader NU juga tak akan menanyakan afiliasi politik para korban banjir. Entah mereka pendukung Gubernur Anis atau bukan. Kami yakin kader NU akan tetap menolong para korban banjir. Sebab, para sesepuh NU telah memberikan pesan jika mereka tidak saudaramu seiman maka mereka adalah saudara kemanusian.
Menyikapi kebencanaan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU (LPBI NU) PWNU Jawa Timur telah memaparkan fikih kebencanaan dalam prespektif NU.
Fikih Kebencanaan ini telah dibahas dalam forum bahtsul masail pada 12-13 Januari 2019 di Ponpes Al-Falah Geger Madiun. Para mushahhihnya adalah KH. Arsyad Bushoiri, KH. Romadlon Khotib, M.H.I., dan KH. Azizi Hasbulloh. Sedangkan para perumusnya yakni Kiai Ahmad Fauzi Hamzah Syam, Kiai Zahro Wardi, Kiai Ahmad Muntaha AM, S.Pd., Kiai Suhairi, Kiai Samsudin, S.Si., Kiai M Arifuddin, S.Pd.I, M.Pd.I, dan Kiai Muhammad Hamim HR.
Ada empat pembahasan tentang fikih kebencanan. Seperti akidah, akhlak, ibadah dan muamalah. Kami akan membahas dua hal saja untuk mengawali. Yakni tentang akidah dan akhlak.
Dalam fikih kebencanaan tentang akidah kita diberikan paparan tentang bagaimana menyikapi bencana. Apakah bencana itu azab atau cobaan. Memang, ada dua pendapat ulama tentang menyikapi bencana yang terjadi.
Mengutip pendalat Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.) pada halaman 173-174menjelaskan balasan suatu dosa hanya akan terjadi pada hari kiamat. Bencana menimpa pada siapa saja, shaleh atau tidak, beriman atau tidak, semua tertimpa. Dunia adalah tempat beramal bukan tempat pembalasan. Bencana sebagai suatu musibah diturunkan karena menjadi proses yang terbaik bagi manusia.
Kemudian, ada delapan adab atau etika saat terjadi bencana. Yakni, menyelamatkan diri, bersabar, membaca istirja’ (inna lillahi wa innailaihi raji’un), merendahkan diri kepada Allah dengan berdoa. Kemudian, melakukan shalat sunnah. Introspeksi diri, tidak menyalahkan orang lain. Bertaubat dan membantu korban terdampak Bencana.
NU telah memberikan banyak ilmu pada kita semua. Mari bersama-sama menyikapi setiap bencana dengan arif dan bijaksana. (*)
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan