Suluk.id – Setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tugas pertama bangsa Indonesia adalah membentuk tatanan masyarakat yang memiliki tradisi berbasis pada kearifan lokal dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan bangsa sebagai salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia dapat diwujudkan dengan agenda dan gerakan visioner pada penguatan literasi. Keilmuan yang dipelajari anak bangsa dalam rangka mengisi kemerdekaan sudah diperjuangkan mati matian oleh Founding Father bangsa ini. Agenda penguatan literasi kepada pemuda Indonesia bisa dalam bentuk apapun, salah satunya dengan pemahaman terhadap kitab turats. Pengajian kitab kuning (turats) menjadi salah satu kegiatan yang dapat menakar upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Isi kitab kuning bukan hanya membicarakan mengenai hukum Islam atau yang berkaitan dengan surga dan neraka. Namun substansinya jika dianalisis dan didiskusikan lebih lanjut akan selaras dengan berbagai problem kehidupan yang terjadi di masa kini (Gustav Brown, 2019).
Keilmuan yang didapatkan dari mengkaji (ngaji) dan memahami kitab turats serta mengaplikasikannya dapat menjadi upaya preventif kebodohan bangsa. Bukan hanya perihal isi dan maksud, metode belajar mengajar kitab kuning ini juga dapat dilaksanakan oleh warga masyarakat. Termasuk sebagai bahan mengisi kemerdekaan. Lebih lanjut, kegiatan Ngaji yang dilanggengkan secara terus menerus, tidak memungkinkan akan berubah menjadi tradisi. Tradisi di masa mendatang merupakan cerminan dari apa yang dilakukan pada masa kini. Apabila seseorang sekarang berusaha mentradisikan keilmuan maka kecerdasan bangsa pun di masa mendatang cenderung akan mudah didapatkan. Dengan hal ini pula bangsa Indonesia akan berjalan pada rel sesuai cita cita pendiri bangsa.
Tradisi Ngaji merupakan salah satu jawaban cita cita bangsa yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Kegiatan ngaji kitab turats, saat ini masih identik dengan kegiatan yang ada di pondok pesantren, terutama pesantren salaf. Namun tak jarang pula akibat perkembangan zaman, metode ngaji pesantren salaf diadopsi dalam berbagai cara. Seperti dalam majlis ta’lim non pesantren, hingga merambah ke dunia media sosial. Walaupun demikian terdapat metode belajar mengajar yang sudah menjadi ciri khas ala pesantren karena dianggap efektif dan dapat dilakukan pada setiap zaman. Lebih dari itu, makna filosofis dari metode pembelajarannya dapat digali lebih dalam.
Pertama, metode Ngaji bandongan. Pengajian ini dilakukan dengan konsep seorang Kyai atau ustadz mengajar dengan membaca teks redaksi isi kitab disertai maknanya (makna pegon) . Tugas santri atau audience adalah menyimak dan mencatat makna yang sudah dibacakan oleh sang ustadz. Selain membaca dan memaknai, ustadz akan menerangkan isi kitab ke dalam bahasa yang mudah dipahami. Terkadang diselingi dengan contoh, cerita, hingga guyonan agar santri tidak mudah bosan. Tetapi tidak sampai menutup substansi inti dari materi. Hal tersebut menjadi keunikan serta ketertarikan tersendiri.
Pemaknaan lebih luas, ngaji bandongan juga sarat akan nilai yang terkandung dan dapat diimplementasikan pada kehidupan bermasyarakat. Misalnya Ustadz yang membaca dan memaknai serta menjelaskan maksud dari kitab tersebut artinya dia sedang menunjukkan jalan kebenaran, memberikan petunjuk, mengarahkan dan membimbing. Artinya pemimpin bangsa di semua lapisan masyarakat idealnya orang yang harus dapat menunjukkan, mengarahkan, dan mengayomi masyarakat yang dipimpinnya. Santri yang menyimak penjelasan ustadz dapat dipahami bahwa tugas orang yang dipimpin harus patuh terhadap petunjuk pemimpin yang benar.
Kedua, Ngaji Sorogan yakni metode pengajian dengan konsep di mana santri akan dituntut mencari arti kata per kata dalam redaksi kitab yang ditelaah sebelumnya. Kemudian menjelaskan kembali maksud dari kata atau beberapa kalimat yang telah dibaca. Singkatnya, santri membaca dan menelaah kembali apa yang sudah diterima dari Ustadz sebelumnya. Kemudian mereka praktik membaca dengan disimak oleh seorang Ustadz guna mengoreksi bacaan dan pemahaman santri santri yang di-sorog (menyodorkan kitab atau diri kepada Ustadz). Makna Filosofi dari metode ngaji seperti ini adalah seorang warga negara dituntut untuk lebih aktif dan inovatif dalam setiap langkah dan aspeknya. Sikap aktif dan inovatif ini akan membawa masyarakat kepada peradaban yang lebih modern didukung perkembangan arus globalisasi era ini. Globalisasi sudah membaur menjadi satu dengan kehidupan, maka warga negara diwajibkan dapat berkolaborasi dengan zaman dan tempatnya. Senada dengan istilah dari Abuya Sayyid Muhammad Al Maliki “Yanbaghi li tholibil ilmi an yakuna aliman bi makanihi wa arifan bi zamanihi”, wajib hukumnya bagi seorang pencari ilmu mengetahui keadaan yang ditempatinya dan bijaksana terhadap kondisi di zamannya (Muhamad Arif, 2020).
Ketiga, pasti kita tidak asing dengan Ngaji Kilatan yakni metode pengajaran sama dengan sistem Ngaji Bandongan. Namun perbedaannya, ada pada cara membacanya. Seperti halnya “kilat” yang diidentikkan dengan kecepatan, maka pengajian dengan metode Ngaji Kilatan akan dibaca dengan cepat. Jika ngaji bandongan Ustadz membaca, memaknai, dan menjelaskan dengan “kalem” dan detail, maka ketika kilatan Ustadz membaca dengan cepat dan hanya dengan penjelasan singkat. Metode ini secara tidak langsung mengajarkan untuk bisa terampil dan cepat dalam menyimak atau menyelesaikan sebuah masalah. Pada zaman serba instan ini, upaya melakukan sebuah pekerjaan dan kewajiban juga membutuhkan kecepatan tanpa harus mengurangi nilai kesempurnaan.
Keempat, Syawir yakni metode pemahaman kitab turats dengan cara bermusyawarah atau istilah lain dikenal dengan Bahtsul Masail. Para santri akan bermusyawarah membahas mengenai substansi dari kitab yang dibaca. Seiring dengan berkembangnya zaman, pemaknaan kitab butuh untuk dikontekstualkan pada problem yang terjadi di masyarakat. Agenda Syawir ini pula akan banyak membahas problem tersebut sehingga menghasilkan jawaban solusi permasahan masyarakat (Dietrich Jung, 2023). Makna syawir ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia dihimbau untuk bermusyawarah dalam rangka menyelesaikan persoalan. Melalui forum seperti ini seseorang juga dapat belajar mendengarkan pendapat atau masukan dari orang lain dengan rasa hormat dan menghargai.
Bercermin dengan kehidupan dan metode pengajian ala pesantren, seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra bahwa pesantren sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan pada perjalanan negeri ini. Karena kontribusi yang diberikannya sudah sangat besar.4 Metode yang digunakan untuk mengkaji kitab dalam rangka penguatan pemahaman kitab turats ternyata dapat pula diambil nilai-nilai nya untuk diterapkan di kehidupan masyarakat. Cara belajar mengajar di atas patut untuk diaplikasikan dengan harapan agar kemerdekaan yang sudah didapatkan diisi dengan hal yang positif dan bermanfaat. Aspek berkelanjutan akan menjadi tantangan bangsa ini. Namun usaha mempertahankan integritas dan pola pikir yang terkandung pada metode pengajian kitab turats dapat menjawab tantangan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Makalah di atas menjadi pemenang juara 1 lomba esai nasional yang diselenggarakan oleh STAI MAS Tulungagung. Ditulis oleh Ahmad Misbakhul A. (kader NU Kab. Tuban) yang sekarang sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi di UIN SATU.
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan