Suluk.id – Di pinggir jalan dengan pedagang cilok, saya sedang menunggu kontingen karnaval anak saya. Melihat banyak orang yang hilir mudik iseng saya menyapa teman-teman mahasiswa di grup kami yang sudah lama tidak ada perdebatan. Saya ketik ucapan selamat bagi yang Sabtu ini menjalani wisuda. Seketika grup menjadi ramai. Saling berkirim foto dan kabar bagi mereka yang telah wisuda duluan. Ah, mereka tampak bahagia sekali. Mereka yang wisuda saat ini adalah teman-teman saya.
Saya tidak pernah menyebut mereka anak bimbingan atau saya mendaku sebagai dosen pembimbing. Sekali lagi, saya lebih nyaman menyebut hubungan ini dengan pertemanan. Alasannya sederhana saja, saya bukan orang yang pakar dalam hal keilmuan mereka. Baca buku saja tidak pernah, apalagi penulisan ilmiah. Hampir dua tahun ini saya tidak pernah menulis. Jadi, saya lebih memilih sebagai teman mereka saja.
Aneh sekali kalau saya menyebut diri sebagai dosen pembimbing jika tulisan saya tidak pernah terbit. Ngomong ndakik ndakik soal teori tapi hanya berbekal baca wikipedia. Minta revisi ini dan itu tapi karya ilmiah masih numpang saja. Jadi, istilah pertemanan sepertinya jauh lebih tepat. Ya, saya hanya teman mahasiswa. Wajar jika kadang saya misuh dan gojlok-gojlokan.
Saat pertama kali kami bersepakat tentang tugas akhir, saya meminta teman-teman bersiap mental dan pikiran. Alasannya sederhana, dari 20 mahasiswa mereka semua orang yang punya kesibukan. Sibuk kerja, sibuk dagang sampai sibuk ngopi bahkan ada yang sibuk glimbang glimbung di kamar. Setelah bersepakat kami menjalani dengan riang gembira. Meski bolak balik kita diskusi dan hasilnya tidak saling paham pokok kita tetap ha ha hi hi. Jurus akhirnya pokoke budal. Lalu menyiapkan mental untuk ujian dan revisi berbulan-bulan.
Tidak ada kata menyerah, seburuk apapun penilaian penguji pada karya mereka saya tetap tersenyum. Saya sampaikan, “Panggah tenang,”. Saya tidak pernah kecewa dengan hasil mereka. Malu? tidak sama sekali. Saya tetap mengakui mereka adalah teman-teman saya. Saya meyakini mereka akan berkiprah di bidangnya masing-masing. Bahkan, sekalipun mereka tidak paham apa yang mereka kerjakan saya tetap bilang, “pokoke dilakoni. Sing tenang wae,”.
Kini mereka telah memakai baju toga. Mungkin ada yang tertinggal karena mereka repot. Bahkan ada yang sudah duluan wisuda dan bekerja atau melanjutkan studi. Ah, saya jadi terharu melihat capaian mereka. Dengan jungkir balik menjalani empat tahun menjadi mahasiswa kini mereka telah purna.
Memang benar kata para pakar, wisuda bukan akhir tapi wisuda adalah permulaan. Awal dari gerbang kehidupan sebenarnya. Setelah tidak lagi menyandang status mahasiswa maka bersiaplah menjadi bagian dari publik. Tidak ada istilah pengangguran. Kita semua sebenarnya sibuk namun belum diakui saja sama orang-orang. Panggah kudu tenang, jika hidup teman-teman masih saja ngopi dan tidak berpenghasilan. Sebab kelak pasti akan ada kesempatan untuk kerja berkeringat dan merasakan kenikmatan.
Oiya, tidak perlu malu untuk ngarit cari rumput untuk pakan sapi atau kambing di rumah. Atau hanya sekadar jadi tukang adzan di musala. Jalani saja aktivitas tersebut, sebab itu pekerjaan mulia bukan sembarang orang bisa menjalani kehidupan seperti itu. Jika ada kesempatan pekerjaan sekalipun itu dianggap tidak bonafit terima saja anggap saja itu sebagai medan belajar gelombang dua setelah kuliah. Juraganmu yang semena-mena disenyumin saja toh nanti juga akan capek sendiri.
Oiya, Jika benar-benar terpuruk tanpa ada kesempatan untuk bekerja atau selalu gagal melamar pekerjaan saran saya pergilah ke pasar atau cari orang tua renta yang masih jualan. Cium tangannya lalu bilang, “Mbah kulo njenengan dongaken. Kulo isin kaleh awak kulo piyambak. Isih enom tapi mung saget glimbang glimbung mawon,”. Artinya, kalau ada orang tua yang masih berjuang untuk dagang maka kesempatan itu juga masih ada pada diri kita semua. Intine Sing obah bakal mamah. Salam. (*)
Redaktur suluk.id