Oleh: Mukani
Guru Ahli Madya di SMAN 1 Jombang dan MA Salafiyah Syafi’iyah Seblak Jombang
Dunia pendidikan di Indonesia menjadi gaduh. Ini karena kasus kriminalisasi yang menimpa Mansur. Guru SD di Kendari itu divonis 5 tahun penjara dan denda sebesar satu milyar. Pembacaan vonis sudah dilakukan Senin (1/12) di Pengadilan Negeri Kendari Sulawesi Tenggara.
Kasus Mansur ini bermula dari laporan salah satu walimurid. Dia didakwa melakukan pelecehan seksual kepada salah satu siswinya. Peristiwa itu terjadi Senin, 8 Januari 2025. Proses pun berlanjut, mulai dari penyelidikan sampai penyidikan digelar di Polres Kendari.
Penasihat hukum Mansur langsung menyatakan banding. Ini dilakukan karena hakim dinilai tidak melihat fakta-fakta persidangan. Saksi yang diajukan untuk didengarkan keterangannya hanya satu orang. Hasil visum dari rumah sakit juga tidak diperlihatkan di persidangan secara memadai.
Tidak Reaktif
Kasus guru Mansur ini bukan pertama kali. Namun seolah sudah menjadi rentetan yang berkesinambungan. Mulai kasus guru Budi Cahyono (2018) di Sampang yang meninggal dunia karena dihajar muridnya sendiri. Sampai paling terakhir saat guru madin Ahmad Zuhdi di Demak yang harus didenda Rp 25 juta oleh walimurid. Termasuk guru Eko di Trenggalek yang dianiaya kakak dari muridnya.
Modus pelaku kriminalisasi terhadap guru biasanya berawal dari hal sepele. Bahkan sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, tanpa diajukan ke ranah hukum. Nafsu arogan dan emosional sesaat menjadikan “kesalahpahaman” seperti ini semakin runyam. Bahkan berdampak besar ke khalayak ramai.
Berbagai kasus tersebut telah banyak menyita waktu dan menjadi headline di berbagai media massa. Tentu belum semuanya. Masih ada kasus remeh temeh lainnya yang sebenarnya bisa diselesaikan jika prosedur diikuti. Baik melalui walikelas, guru konseling ataupun komite sekolah. Tidak lantas bersikap reaktif saat murid melaporkan sesuatu ke orang tua, sebelum adanya klarifikasi.
Pemahaman Walimurid
Langkah konkrit dan komprehensif sangat dibutuhkan agar kasus Mansur ini tidak terulang ke depan. Ini karena sebenarnya yang dilakukan guru masih dalam konteks pembelajaran. Bahkan pengakuannya hanya sekedar mengecek suhu badan sang murid yang tidak mengikuti apel. Itupun dengan memegang dahi.
Para walimurid juga sudah saatnya memiliki kesepahaman berbagai dinamika yang terjadi di sekolah. Khususnya terkait dengan problematika pembelajaran. Ini mengingat tugas guru tidak sekedar mencerdaskan, tapi juga membiasakan karakter baik dalam diri murid. Meski itu tidak semudah yang dibayangkan.
Pemerintah juga perlu memperkuat regulasi yang melindungi guru dari upaya kriminalisasi saat melaksanakan tugas profesinya. Tidak hanya guru di sekolah formal, tapi juga di di berbagai lembaga pendidikan tempat menimba ilmu. Karena mereka adalah para pejuang di garis terdepan dalam mencerdaskan bangsa.
Peran organisasi profesi keguruan juga masih harus ditingkatkan lagi. Tidak sekedar aktif setelah kasus menimpa salah satu anggotanya. Pemahaman yang baik tentang kode etik profesi keguruan harus terus dilakukan. Sehingga diharapkan para guru tidak terus-terusan dikriminalisasikan oleh pihak luar.
Secara teori, antara walimurid dengan pihak sekolah harus terikat dalam sebuah kepercayaan (trust). Anak merupakan “amanat” dari walimurid yang harus dibelajarkan oleh sekolah, terutama guru, agar memperoleh ilmu dan etika. Keduanya harus berjalan secara seimbang.
Namun sering menelan mentah-mentah informasi yang diberikan anak tentang perlakuan guru. Ironinya, reaksi yang diambil tidak melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Pada titik ini, aksi kriminalisasi menjadi respon yang diberikan walimurid tidak bisa dihindarkan.
Jika komitmen ini bisa dipahami dalam benak semua walimurid, maka kasus guru Mansur tidak akan terulang di masa mendatang. Meski semua pihak harus tetap turut serta aktif untuk tetap mengawal perkembangan anak dalam proses pendidikan. Terlebih dari pihak walimurid.
Koreksi dan apresiasi tetap harus diberikan dalam pelaksanaan tugas oleh guru. Namun dengan cara santun. Bukan aksi kriminalisasi yang mencederai wajah dunia pendidikan. Ini karena banyak jalur yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan suatu kesalahpahaman.
Aparat penegak hukum sebenarnya berperan penting juga dalam meminimalisasi upaya kriminalisasi terhadap guru. Perlu didorong pihak-pihak yang memperkarakan agar menyelesaikan kasus itu sebelum dibawa ke ranah hukum (restorative justce). Terutama kasus menimpa guru Mansur dengan alat bukti dan saksi yang minim.
Peran media massa juga penting dalam mempublikasikan upaya-upaya kriminalisasi terhadap guru. Lewat publikasi yang masif dan berkesinambungan, diharapkan stakeholders memiliki kepekaan dan kejernihan hati dalam melihat “kasus” yang menimpa guru. Sehingga diharapkan keadilan benar-benar bisa ditegakkan bagi para guru di depan hukum.
Guru merupakan profesi yang harus diapresiasi semua pihak. Terlebih oleh walimurid yang sudah menitipkan anak ke sekolah. Profesi guru tentu sudah memiliki standar minimal kompetensi dan kode etik yang dihormati. Ini karena guru adalah profesi mulia untuk membentuk generasi bangsa yang bermutu dan berkarakter.*
Panelis Debat Calon Bupati Nganjuk (2024)







