Suluk.id, Tanah Purworejo berduka, langit-langit pesantren bersedih, dan hati ribuan santri ikut menangis ketika kabar wafatnya Syaikhina Abuya KH Muhammad Thoifur Mawardi tersebar pada Selasa sore, 19 Agustus 2025. Tepat pukul 16.30 WIB, di RSUD DR. Tjitrowardojo, sang ulama kharismatik menghembuskan nafas terakhir dalam usia 70 tahun.
Jenazah beliau dimakamkan pada Rabu, 20 Agustus 2025, di kompleks pesantren Daarut Tauhid Kedungsari, tempat beliau berjuang, mendidik, dan menebarkan cahaya ilmu sepanjang hidupnya. Ribuan orang datang, santri, alumni, habaib, ulama, dan masyarakat, semuanya larut dalam doa dan air mata, seakan enggan berpisah dengan sosok yang selama ini menjadi oase mereka.
KH Thoifur Mawardi lahir pada 8 Agustus 1955, putra dari KH R. Mawardi, cucu dari KH R. Imam Maghfuro, yang nasabnya bersambung hingga trah Sultan Agung. Sejak belia, kecintaannya pada ilmu agama sudah tampak. Beliau menimba ilmu dari pesantren ke pesantren: Pesantrem Sugihan Kajoran, Lasem, Rembang, hingga akhirnya berlayar menuntut ilmu ke Tanah Suci. Di Ma’had Rushaifah, Mekkah, beliau menghabiskan lebih dari satu dekade berguru pada Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani. Dari Mekkah, beliau kembali ke tanah air dengan membawa cahaya keilmuan yang kemudian dipancarkan melalui pesantren yang diasuhnya.
Pesantren Daarut Tauhid menjadi rumah ribuan santri, bahkan berkembang dengan belasan cabang di Purworejo. Bagi santrinya, KH Thoifur bukan sekadar guru, tetapi seorang ayah, penuntun jalan, sekaligus teladan hidup. Beliau dikenal lembut, rendah hati, namun tegas dalam menjaga nilai-nilai agama. Senyumnya menyejukkan, ucapannya menenangkan, dan doanya menjadi obat bagi hati yang gelisah.
Banyak kisah karomah yang melekat pada diri beliau. Salah satunya tentang Bi’ru Thoifur—sumur yang digali berdasarkan mimpi beliau ketika pesantren Rushaifah di Mekkah dilanda krisis air. Dari sumur itu, mengalir keberkahan yang hingga kini masih dikenang. Santri dan masyarakat menyebut beliau sebagai “kitab berjalan,” lautan ilmu yang tak pernah kering, sekaligus sosok yang mudah bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Beliau sering menasihati, “Siapa yang ingin bertemu Nabi dalam mimpi, kenalilah keseharian Nabi. Maka mimpi itu bukan lagi sekadar bunga tidur, tapi perjumpaan rohani.”
Selain sebagai guru ruhani, KH Thoifur juga seorang penyeru persatuan. Dalam ranah sosial dan politik, beliau dikenal dengan sikap bijak dan nasihat sederhana: jangan menjelekkan orang lain, saling memuji, dan istiqamah dalam perjuangan. Nasihat itu bukan hanya kata, melainkan cermin dari kesehariannya yang penuh kasih sayang dan cinta kepada sesama.
Kehidupan beliau penuh dengan teladan yakni kesederhanaan yang tidak mengurangi wibawa, kedalaman ilmu yang dibalut kerendahan hati, serta keberanian untuk selalu berdiri di sisi umat. Di penghujung hayatnya, beliau masih tercatat sebagai Mustasyar PCNU Purworejo periode 2025–2030, seakan menegaskan bahwa pengabdian beliau kepada umat tak pernah berhenti hingga ajal menjemput.
Kini, jasad beliau telah bersemayam di bumi Kedungsari, namun nama dan warisannya tetap hidup. Ribuan santri, alumni, dan masyarakat akan terus membawa ajaran beliau ke mana pun mereka melangkah. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosa beliau, menerima amal ibadah, melapangkan kubur, dan menempatkannya di sisi Rasulullah SAW bersama para kekasih-Nya.
Selamat jalan, Abuya. Cahaya yang engkau nyalakan akan tetap menyinari jalan kami. Doa dan shalawat kami akan selalu mengiringi, hingga kelak kita dipertemukan kembali di taman surga.(red)
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan