Suluk.id – Bukan sembarang orang yang bisa meriwayatkan hadis Nabi Muhammad SAW. Hanya orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan dan para hamba Allah yang terpilih. Karena hadis merupakan sumber hukum yang ke 2 di agama Islam setelah al-Qur’an sebagai pedoman hidup, maka akan ada persyaratan khusus yang sangat ketat sebagai penyambung (perawi) isi hadis. Proses periwayatan hadits hadits juga melalui proses Tahammul wal Ada’
Dalam kajian ilmu hadis, proses menerima dan menyampaikan hadis Nabi Muhammad menjadi suatu kajian khusus yang dinamakan dengan tahammul wal ada’. Tahammul wal ada’ terdiri dari dua kata bahasa Arab, yaitu tahammul dan ada’. Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madhi tahmmala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab Taisir Mushtholah hadits adalah:
التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru”.
Sedangkan pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, ada’ (الأداء) adalah menyampaikan hadits. Sedangkan ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
الأداء : رواية الحديث وإعطاؤه الطلاب
“meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid”
Jadi pengertian dari tahammul wal ada’ adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Ada persyaratan menjadi seorang penerima hadis dan yang menyampaikannya, supaya tidak sembarang orang bisa dengan mudahnya mempermainkan atau meremehkan hadis Nabi. Ada beberapa syarat menjadi penerima hadis, syarat yang disepakati oleh jumhur ulama adalah islam, berakal, dan tamyiz. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat, al-Hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadis, beliau menyebutkan bahwa meskipun orang yang fasiq atau bahkan non-muslim pun boleh menerima hadis, akan tetapi ketika menyampaikannya sudah beragama Islam.
Persyaratan menjadi penyampai hadis lebih sulit dan ketatt daripada penerima hadis, karena lebih rawan ketika menyampaikan suatu ilmu kepada orang lain daripada menerimanya. Menurut Dr. ‘Imad ‘Aly Jum’ah dalam kitabnya Mushtholah al-Hadits al-Muyassar menyebutkan bahwa secara garis ada dua syarat yang dari ke duanya tersebut masih dibagi lagi kedalam beberapa syarat yaitu, ‘adalah dan dhabith.
- ‘Adaalah merupakan integritas pribadi seorang perawi
- Muslim, seorang perawi haruslah seorang muslim.
- Baligh, meriwayatkan hadis sesudah balighnya.
- ‘Aqil, perawi harus berakal, karena jika tidak berakal bisa dianggap mengada-ngada hadis yang diriwayatkan (hadis palsu).
- Terjaga dari perkara-perkara yang fasiq.
- Terjaga dari hal yang bisa menurunkan harga diri.
- Dhabith adalah sifat diri seorang perawi
- Tidak bertentangan dengan ketsiqahan.
- Tidak buruk hafalannya.
- Tidak melakukan kesalahan yang fatal atau keji.
- Bukan seorang yang lalai.
- Tidak banyak berangan-angan
Metode Tahammul wa al-Adaa’
Dalam proses menerima dan menyampaikan hadis ada beberapa cara yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, supaya tidak sembarangan orang bisa merwayatkan hadis secara verbal. Karena harus ada proses yang melibatkan antara guru dengan muridnya. Setelah tadi mempelajari persyaratan seroang yang menerima dan menyampaikan hadis, sekarang membahas metode apa saja yang digunakan dalam proses tahammul wal ada’ hadis dan bagaimana penjelasannya. Akan saya tulis dari kitab yang sama, kitab karya Dr. ‘Imad ‘Aly Jum’ah dengan judul Mushtholah al-Hadits al-Muyassar, yang mana Beliau juga mengutip dari kitab Taisir Mushtolahil Hadis karya ulama ahli Ilmu Hadis yang bernama Mahmud Thohan.
Di dalam kitab tersebut disebutkan bahwa ada 8 metode dalam menerima riawayat dan penyapaiannya kembali kepada muridnya atau umat islam.
- As-simaa’ min lafdzi syaikh. Adalah mendengarkan apa yang diucapkan oleh gurunya, entah itu dari hafalannya maupun dari tulisannya, dan muridnya mendengarkannya baik ditulis ulang ataupun tidak. Menurut jumhur ulama, metode ini lah yang derajatnya paling tinggi, karena bisa dipastikan antara guru dan murid berada dalam satu majlis, yang paling mininya adalah berada disatu waktu dan tempat.
- Al-qira’ah ‘ala syaik atau al-‘ardhu. Yakni murid membacakan dan guru mendengarkan, entah itu muridnya sendiri atau murid yang lainnya dan gurunya mendengar, baik itu membaca hafalannya ataupun dari tulisan atau buku dan sang guru mengikutinya entah itu dengan hafalannya atupun membaca bentuk tulisnya. Ada 3 pendapat ulama mengenai tingkatannya. 1) Setara dengan as-sima’ menurut Imam Malik dan Imam Bukhari serta sebagian ulama Hijaz dan Kuffah. 2) Lebih rendah daripada as-sima’ menurut jumhur ulama timur dan menurut mereka shahih. 3) Lebih diatas as-sima’ menurut Abu Hanifah dan Abu Dzi’bi.
- Al-ijazah. Ialah ijin kepada gurunya untuk meriwayatkan hadis, secara lafadz atau tulisan. Terdapat 3 macam yaitu 1) Syaih mengizinan riwayat tertentu hanya kepada orang tertentu. 2) Syaikh mengizinkan riwayat hanya kepada orang tertentu tetapi tidak dibatasi riwayat hadisnya. 3) Syaikh mengijinkan tidak kepada orang tertentu dan riwayat hadis yang tidak tertentu juga.
- Al-munawalah. Syaikh memberikan naskah hadisnya disertai dengan ijazah untuk meriwayatkan hadis darinya. Hukumnya boleh, akan tetapi derajatnya diatas ijazah tetapi dibawah as-sima’ dan al-qira’ah.
- Al-kitabah atau al-mukatabah. Ialah seorang perawi menulis hadis yang akan diriwayatkan kepada orang tertentu, entah Ia hadir mendengarkannya ataupun tidak, baik itu ditulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulismya. Ada 2 macamnya yaitu 1) al-kitabah yang disertai dengan ijazah. 2) al-kitabah yang tidak dengan ijazah.
- Al-i’lam syaikh. Syaikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis yang diterimanya merupakan riwayatnya sendiri yang didapat dari gurunya, tanpa adanya perintah untuk meriwayatkan hadisnya. Menurut jumhur ulama tetap sah, meskipun ada sebagoan kecil yang mengatakan hadis tersebut tidak sah.
- Al-wasyiyah. Yakni seorang Syaikh mewasiatkan kitab atau naskah yang diriwayatkannya kepada seseorang sebelum Syaikh meninggal atau bepergian. Ada 2 pendapat yang satu membolehkan dan yang lainnya tidak membolehkan, karena tidak adanya wasiat untuk meriwayatkannya kepada orang lain.
- Al-wijadah. Seorang perawi menemukan kitab atau naskah milik perawi lain yang belum pernah ia dengarkan secara lansgung riwayatnya dari penulis kitab atau naskah tersebut.
Jadi proses menerima dan menyampaikan hadis dalam kajian ilmu hadis disebut dengan istilah tahammul wal ada’. Tidak semua orang bisa menjadi perawi hadis, ada persyaratan dan kriteria yang harus ada dan melekat pada dirinya. Dalam proses tahamul wal ada’, ada 8 metode yang digunakan oleh para Ulama dan Perawi hadis dalam proses penerimaan dan penyampaiannya pada zaman dahulu. 8 metode tersebut adalah, as-simaa’ min lafdzi syaikh, al-qira’ah ala syaikh, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah al-mukatabah, al-i’lam asy-syaikh, al-wasyiyah, dan al-wijadah. Wallahua’lam.
Penulis : Wafa Satria Kamil
Editor : Muchamad Rudi C
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan