Dua warisan besar yang saling merangkul, bukan bertentangan. Setiap datangnya 1 Muharram atau 1 Suro dalam penanggalan Jawa-Islam, masyarakat di tanah Jawa menyambutnya dengan penuh penghormatan dan kesakralan. Bukan sekadar penanda pergantian tahun, tetapi sebagai momen tirakat, perenungan, dan penghormatan terhadap warisan leluhur. Indonesia, khususnya Jawa, memiliki sejarah panjang dalam memadukan ajaran Islam dengan adat dan budaya lokal. Hasilnya bukan konflik, melainkan harmoni yang melahirkan berbagai bentuk tradisi dan ekspresi religius yang unik, mendalam, dan penuh makna. Tradisi malam 1 Suro yang bertepatan dengan 1 Muharram merupakan salah satu bukti bagaimana budaya Jawa mampu menerima dan menginternalisasi ajaran Islam tanpa menanggalkan jati dirinya.
Bulan Suro, sebagai bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriah, dianggap sebagai waktu yang penuh dengan kesakralan dan makna spiritual. Bagi masyarakat Jawa, terutama di Surakarta, bulan ini menjadi momen untuk melakukan refleksi diri, berdoa, serta melaksanakan berbagai ritual sebagai bentuk pendekatan kepada Sang Pencipta. Salah satu puncak dari rangkaian kegiatan spiritual tersebut adalah peringatan Malam 1 Suro, yang diwarnai dengan beragam tradisi dan larangan yang mencerminkan kekayaan budaya serta kepercayaan masyarakat setempat.
Berbagai daerah di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Jawa, bulan Muharram dijadikan momentum untuk melaksanakan tradisi-tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Perbandingan empat tradisi suroan di wilayah Indonesia, pertama Tradisi malam 1 suro di Surakarta (Yogyakarta), Tradisi Nyadran di Desa Brayo (Batang), dan Grebeg Suro di Desa Sumber Mujur (Lumajang), guna mengungkap harmoni antara budaya Jawa dan ajaran Islam.
Tradisi malam 1 suro di Surakarta
Salah satu tradisi yang paling mencolok adalah Kirab Pusaka Keraton, di mana benda-benda pusaka kerajaan diarak mengelilingi kota Surakarta dan Yogyakarta. Prosesi ini tidak hanya bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan pusaka, tetapi juga sebagai simbol permohonan keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Kirab pusaka melibatkan keluarga keraton, abdi dalem, serta masyarakat umum, menciptakan suasana sakral yang kental dengan nuansa spiritual.
Selain itu, terdapat pula tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng, Tradisi lain yang tak kalah penting adalah Jenang Suran, berupa doa dan tahlilan yang dilaksanakan di kompleks makam raja-raja Imogiri. Sementara itu, Grebeg Suro, festival yang diadakan di Keraton Surakarta, menampilkan prosesi yang dipimpin oleh raja serta pembagian makanan kepada masyarakat. Pusaka kerajaan yang diarak dalam festival ini menjadi simbol kekuasaan dan keagungan kerajaan.
Masyarakat Jawa memiliki sejumlah larangan yang dipercaya harus dipatuhi selama bulan Suro. Salah satunya adalah tidak menggelar hajatan besar seperti pernikahan atau pesta, karena bulan ini dianggap sebagai waktu untuk menyepi dan berdoa, bukan untuk bersenang-senang.
Tradisi Nyadran
Tradisi Nyadran di Desa Brayo, Kabupaten Batang, merupakan bentuk akulturasi budaya pra-Islam dengan nilai-nilai Islam. Nyadran yang dilaksanakan setiap malam Jumat Kliwon di bulan Muharram, merupakan bentuk syukur dan penghormatan kepada leluhur. Masyarakat membawa makanan tradisional ke sumber mata air keramat, yang kemudian dikumpulkan menjadi “kepungan” dan dibagikan untuk “ngalap berkah”. Proses ini dilengkapi dengan tahlilan, pembacaan doa, dan tausiyah agama, menunjukkan integrasi nilai Islam ke dalam ritus budaya lokal. Nyadran menjadi contoh nyata bagaimana Islam tidak meniadakan budaya lokal, tetapi mengakomodasi dan memberi makna baru melalui pendekatan yang humanis dan inklusif.
Grebeg Suro
Tradisi Grebeg Suro di Desa Sumber Mujur, Lumajang, menunjukkan dimensi yang lebih kompleks. Ritual ini merupakan pesta rakyat yang dilaksanakan setiap 1 Suro, dengan prosesi yang mencakup arak-arakan gunungan hasil bumi, pembacaan mantra, penguburan kepala sapi, dan interaksi spiritual dengan hewan sidat (uling). Uniknya, pendekatan etnosains digunakan untuk menjelaskan hubungan antara tradisi dan lingkungan. Misalnya, penguburan kepala sapi dipercaya dapat menambah debit air mata air, dan kehadiran ikan sidat dianggap sebagai tanda doa yang dikabulkan. Dengan demikian, Grebeg Suro bukan hanya ritual budaya, tetapi juga mencerminkan pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun dan dapat dikaji secara ilmiah.
Referensi
Riskha Nadia Ayuputri. (2023). Larangan Beserta Tradisi Malam 1 Suro di Surakarta. TANDA: Jurnal Kajian Budaya, Bahasa dan Sastra, Volume 03 No. 04 Tahun 2023.
Ika. (2022). Makna Spiritual dalam Perayaan Kirab 1 Suro (Keraton Kasunanan Surakarta). BS thesis. FU.
Hapsari, Galuh Kusuma. (2024). Makna Komunikasi Ritual Masyarakat Jawa (Studi Kasus pada Muthoharoh Tradisi Perayaan Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Solo). COMPEDIART 1.1: 44-52.
Maya Ika Trisnawati, dkk. (2024). Akulturasi Budaya Jawa dengan Budaya Islam pada Bulan Muharram di Desa Brayo Wonotunggal Kabupaten Batang. Dinamika Sosial, Volume 1, No. 2, Juni 2024, hal 90-95.
Rosydiana, W. N. (2023). Nyadran: Bentuk Akulturasi Agama dengan Budaya Jawa. HUMANIS: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, 15(1), 15–23.
Wajdi, M. B. N. (2010). Budaya Jawa (Fenomena Sosial Keagamaan Nyadranan di Daerah Baron Kabupaten Nganjuk). Jurnal Lentera.
Nur Intan Fibriana, dkk. (2021). Analisis Ritual Grebeg Suro Desa Sumber Mujur dengan Pendekatan Etnosains sebagai Tradisi Masyarakat Lumajang. Experiment: Journal of Science Education, 1(2), 71-79.
Penulis : Ainur Rohmatin – Guru SDN Brudu Kec Sumobito Kab Jombang
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan