Kian hari kini, semakin banyak bermunculan pendakwah-pendakwah baru. Dengan berbagai metode dakwah yang mereka gunakan, tentu telah memberikan kesan warna baru dalam dunia perdakwahan. Meskipun begitu, tidak semua pendakwah yang muncul di permukaan adalah sosok yang benar-benar mencerminkan sosok pendakwah yang baik. Adakalanya yang muncul justru pendakwah yang suka menggunakan kata-kata kasar, cemoohan, membawa ajaran yang sesat dan lain sebagainya. Hal ini tentu akan membuat kesan terhadap agama Islam akan menjadi kurang baik di mata orang lain.
Sebagian dari mereka menyampaikan dakwah dengan cara yang kurang beretika. Ada yang menggunakan kata-kata kasar, mencela lawan bicara, bahkan menyebarkan ajaran sesat. Misalnya kasus Gus Miftah yang sempat menyinggung seorang pedagang es teh dengan sebutan “goblok” dalam majelisnya di Magelang pada bulan November 2024 lalu. Munculnya para pendakwah yang kurang ber etika telah membuat pendakwah-pendakwah yang lain terkena getahnya dan mulai tertutup oleh kasus tersebut. Insiden ini telah memberikan gambaran jelas, bahwa sebenarnya penting untuk para pendakwah memperhatikan etika seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Salah satu seorang pendakwah yang penulis anggap telah mengamalkan beberapa etika yang disebutkan dalam Al-Qur’an ialah KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy. Lahir pada 17 Agustus 1951 di Surabaya dan merupakan putra keempat dari seorang ulama tarekat, KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqy. Ayahnya merupakan sosok mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan seorang pengasuh pesantren. Bila melihat sanadnya akan menyambung dari sunan Giri serta Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil beliau telah tumbuh dalam lingkungan keilmuan yang kaya, sehingga membentuk jati diri dari segi spiritual maupun intelektualnya yang bagus.
Semenjak masa muda, beliau melakukan dakwah yang bisa dibilang unik pada masa itu. Yaitu dengan melakukan pendekatan dakwah kepada anak-anak dan pemuda jalanan, mulai dengan beliau masuk dengan kalangan mereka, mengobrol, berbincang ringan maupun bermain musik. Pendekatan ini mampu menjembatani kesenjangan antara pemuda maupun anak-anak jalanan tersebut dengan beliau. Jika diperhatikan, hal ini merupakan bentuk dari qaulan karima. Beliau tidak merendahkan orang-orang tersebut bahkan mau berinteraksi dan berkumpul dengan anak-anak jalanan.
Perjalanan dakwah KH. Ahmad Asrory tidak berhenti pada hal tersebut saja. Setelah wafatnya KH. Utsman pada tahun 1980, KH. Ahmad Asrory resmi menerima amanah menggantikan perjuangan ayahnya, menjadi pemimpin tarekat dan memulai mendirikan pesantren Al-Fitrah pada tahun 1985 di Kedinding Lor, Surabaya. Menggabungkan sistem pendidikan dengan kurikulum pesantren klasik atau salaf dengan pendidikan umum, serta memberikan ajaran akan bidang spiritual melalui tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Pendekatan beliau yang moderat, inklusif serta menolak politisasi dalam majelis membuat lingkungan pendidikannya tumbuh sebagai ruang yang murni tanpa ada campuran. Terbuka bagi segala kalangan, mulai dari pejabat, masyarakat biasa, bahkan maupun anak jalanan.
Puncak dalam dakwahnya ditandai ketika berdirinya majelis Al-Khidmah pada 25 Desember 2005. Pendirian majelis ini bertujuan untuk mengajak para jamaahnya untuk kian semangat memperbanyak dzikir dalam suasana yang nyaman dan penuh kehangatan. Beliau juga menyadari, bahwa jamaahnya membutuhkan lebih dari sekadar ajakan untuk beribadah. Menurutnya para jamaah juga perlu sapaan hangat dan dihargai dalam suasana kekeluargaan. Dalam majelis ini, beliau kerap memberikan sapaan yang hangat, ucapan yang lembut dan tidak menggunakan kata-kata kasar. Hal ini merupakan bentuk etika qaulan layyinan, yaitu menggunakan perkataan yang lembut.
Banyak dari jamaahnya terenyuh dan terlena dengan gaya pembawaan KH. Asrori dalam berdakwah. Tak sedikit juga yang sampai meneteskan air mata saat mendengarkan ceramah yang dibawakan beliau. Ceramahnya tak sekadar menyampaikan teori-teori saja, akan tetapi juga mampu menyentuh sanubari, menjadikan dakwahnya tidak hanya informatif tetapi transformatif. Beliau juga menekankan qaulan sadida, yaitu ucapan yang benar dan jujur dalam dakwahnya. Seperti dalam satu dakwah beliau pada video Youtube berjudul “Jangan Pernah Mendzolimi Orang Lain” di akun Syafa Aulia Rahmah menyebutkan bahwa KH Ahmad Asrori menekankan larangan untuk mendzolimi orang lain dan pentingnya menjaga ucapan agar tidak menimbulkan kerugian atau kezaliman kepada sesama. Ini mencerminkan prinsip qaulan sadidan yang mengandung kebenaran dan keadilan dalam berbicara
Dakwah yang dibawakan oleh KH Ahmad Asrori dengan etika sesuai dengan Al-Qur’an telah membawa begitu besar efek transformasi spiritual. Mulai dari anak jalanan menjadi santri, dari jamaah biasa menjadi penyebar cinta, dari sikap formalisme menjadi kerohanian berkelanjutan. Pesantren dan majelis yang beliau bangun tetap hidup melalui murid dan keturunannya, menjadi pusat pendidikan tentang moral maupun spiritual agama yang hingga saat ini masih terus berkemban. Jamaah yang kian hari ini semakin bertambah, tidak hanya dari Jawa Timur saja, akan tetapi sampai berbagai negara luar juga ikut turut menghadiri majelis yang dibuat beliau.
Dengan demikian, sosok dari KH. Ahmad Asrori Al‑Ishaqy layak dikenang sebagai teladan dakwah etis dengan mengedepankan Qaulan Qur’ani secara utuh. Dakwah bukan hanya dilihat dalam bentuk materi, melainkan transformasi hati melalui saling menghargai, kelembutan, kejujuran, dan relevansi keadaan mad’u. Spirit beliau bisa menjadi inspirasi bagi pendakwah masa kini bahwa dakwah terbaik adalah cinta yang disampaikan dengan sikap dan tutur yang menyejukkan, mentransformasikan individu seseorang, keluarga, dan masyarakat menjadi lebih baik tanpa memandang jenis latar belakang mereka.