Fakta baru ditemukan dari peta tentang Desa Mlorah masa klasik yang disimpan di Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV). Ini adalah lembaga yang didirikan tahun 1851 di Universitas Leiden Belanda. Lembaga ini mengkhususkan pada pengumpulan informasi dan memajukan penelitian mengenai keadaan masa kini dan lampau daerah-daerah bekas koloni Belanda dan wilayah sekitarnya.
Tiga Titik
Peta ini, menurut Moh Faisol (2025), biasanya dibuat oleh KITLV pada Juli 1892. Keunikan peta ini, menurut Heru Mahadewa (2024), masih ada nama Dusun Mlorah Kidul yang sekarang dikenal dengan nama Janeng. Antara Mlorah Kidul dengan Mlorah Lor yang sekarang menjadi pusat pemerintahan desa, terputus oleh kawasan persawahan.
Peta Desa Mlorah Akhir Abad XVIII
(Sumber: KITLV Leiden Belanda)
Perbatasan antara Desa Mlorah dengan Dusun Jati juga masih berupa area persawahan. Tampak dalam peta bahwa Mlorah Lor baru terdiri dari dua jalan desa. Yang sekarang menjadi Jalan Panglima Sudirman (RW 2) dan Jalan Untung Suropati (RW 3).
Pusat pemerintahan Desa Mlorah diberi tanda kotak. Posisi itu berada lurus dengan Jalan Panglima Sudirman sekarang yang embus ke Dusun Jati. Diidentifikasi itu adalah posisi rumah mantan kepala desa Murhardi/Partoko.
Istilah Mlorah Kidul bernama Janeng juga masih berupa permukiman penduduk di selatan sungai. Berbeda kondisinya pada masa sekarang yang rumah warga semuanya berada di sisi utara sungai. Meski pertanda (Jawa: tetenger) sebagai jembatan Janeng masih berdiri hingga sekarang. Lokasinya tepat di timur bendungan.
Sedangkan sisi timur Desa Mlorah juga berupa permukiman yang lurus dengan jalan dari Nganjuk Kota. Dipastikan ini adalah permukiman yang berada di sekitar situs Mbah Jantho. Anehnya jalan dari Nganjuk Kota belok ke barat sedikit ketika berjumpa permukiman sisi timur itu. Tidak menjadi jalan lurus membentang selatan ke utara, sebagaimana yang dijumpai sekarang.
Peta itu menunjukkan kawasan Desa Mlorah sisi utara yang dibatasi sungai kecil. Posisinya membentang dari barat arah Dusun Jati menuju lurus ke timur permukiman. Posisi berbagai punden dan situs masa sekarang di sisi perkampungan timur, dalam peta itu juga tidak disebutkan.
Pemakaman umum nampak masih berada di tengah dari ketiga titik. Lokasi ini sekarang dimanfaatkan oleh pihak pemerintahan desa untuk mendirikan TK Pertiwi, gudang, posyandu, TPQ dan mushala. Pemakaman desa sekarang dipindahkan ke sisi timur jalan raya Nganjuk-Bojonegoro.
Hal menarik dari peta itu adalah pojok’an Desa Mlorah. Lahan kosong itu adalah situs makam Mbah Canthing. Lokasi pekarangan tidak hanya dari pekarangan di Desa Mlorah. Namun juga termasuk beberapa bagian sudah masuk ke wilayah Dusun Jati.
Itu berarti peta tersebut dibuat setelah Mbah Canthing sudah meninggal dunia. Pekarangan kosong yang berada di peta adalah milik Mbah Canthing, yang kemudian tidak ada berani keturunannya berdomisili di sekitarnya.
Hal ini diakui Damis (2017), generasi keemat Mbah Canthing Atas inisiatif keluarga Wariyem, salah satu cucu Mbah Canthing, lahan itu akhirnya diwakafkan. Sehingga di sekitar lokasi makam Mbah Canthing sekarang berdiri gedung TPQ, mushala, joglo peziyarah maupun gazebo buat pengajian.
Berkesesuaian
Ketiga titik yang dianalisis dari peta di atas dalam tulisan ini menjadi cikal bakal pendirian Desa Mlorah sekarang. Ketiganya adalah Mlorah Kidul yang dikenal Janeng, perkampungan sisi timur dengan punden Mbah Jantho dan Mlorah Lor yang berawal dari situs Mbah Canthing. Meski ketiga titik ini pada masa sekarang sudah membaur “seolah” menjadi satu.
Hal ini pernah disampaikan Parjimun (2011), sesepuh desa Mlorah. Dia mengakui bahwa desanya berawal dari tiga titik di atas. Namun, lanjut Parjimun, sosok Mbah Canthing memegang peran terpenting dalam periode awal pendirian Desa Mlorah. Bahkan Mbah Canthing dianggap sebagai lurah pertama di desa ini. Inilah yang mendorong warga Mlorah menghormati keberadaan makam Mbah Canthing hingga sekarang.
Hal senada juga diutarakan Murhadi/Partoko (2011). Mbah Canthing, menurut mantan kepala Desa Mlorah dua periode ini, adalah sosok yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan cikal bakal pendirian Desa Mlorah. Dia juga mengamini jika Mbah Canthing adalah kepala Desa Mlorah yang pertama. Istilah kepala desa dalam bahasa Jawa disebut dengan lurah.
Nama asli Mbah Canthing adalah Tumenggung Sri Moyo Kusumo. Dia adalah salah satu pimpinan Laskar Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa melawan penjajah Belanda. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Sulawesi tahun 1830, Mbah Canthing hijrah ke timur hingga sampai ke Desa Mlorah sekarang.
Dia akhirnya memutuskan sebagai rakyat biasa. Kemudian menetap di daerah pojok’an dan menikah dengan Mbah Sawi dari Bojonegoro. Keturunan dari Mbah Canthing banyak yang masih tinggal di Desa Mlorah. Meskipun sebagian sudah berada di urutan keempat dan kelima.
Setiap setelah Maghrib malam Jumat, menurut KH Riyanto (2017), digelar tahlil kirim doa kepada para pendiri Desa Mlorah. Khusus malam Jumat Pahing, karena bertepatan dengan “hari kelahiran” Desa Mlorah, kirim doa digelar di joglo timur makam Mbah Canthing. Biasanya diikuti jamaah pengajiannya, tidak hanya diikuti warga Mlorah saja.
Upaya itu dilakukan untuk menjaga spirit nilai-nilai luhur yang sudah ditanamkan Mbah Canthing bagi warga Desa Mlorah. Ini mengingat Mbah Canthing sebenarnya bukan sembarangan. Tapi sosok yang terus berjuang melawan penjajah, dengan strategi baru yang dalam waktu relatif lama mewujudkan Indonesia merdeka.
Penulis: Mukani – Dosen STIT Urwatul Wutsqo Bulurejo Jombang
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan