Jika kita mendapati banyak simbol agama lain dapat dikritik atau bahkan diolok-olok, maka umat agama lain juga mendapati hal yang sama pada banyak simbol agama kita. Tentu kita punya banyak argumen buat menepis kritikan atau bahkan olok-olok terhadap simbol-simbol agama kita. Tapi tentu mereka juga punya hal yang sama buat menangkis kritikan atau bahkan olok-olok terhadap simbol-simbol agama mereka.
Apakah ini berarti tidak boleh bangga dengan simbol agama sendiri dan makna-makna yang dikandungnya? Bukan begitu. Salah satu ciri relijiusitas seseorang adalah kebanggaan akan simbol-simbol agama yang dianutnya. Hanya saja kebanggaan itu mestinya bersifat “ke dalam” lalu memancarkan lelaku positif sebagaimana diamanatkan oleh makna-makna yang terkandung dalam simbol-simbol itu.
Sebaliknya, jika kebanggaan itu diekspresikan dengan “menang-menangan” debat, sampai kapan pun kita akan berkutat di kubangan yang sama: saling klaim kebenaran, salik ejek, saling olok, dan pada tahap tertentu bisa saling benci! Pada poin ini kita layak bertanya, apa iya beragama mesti berujung pada kebencian terhadap sesama yang beda agama?
Lalu untuk apa ada Matkul Studi Agama-agama dan Jurusan Perbandingan Agama? Untuk membuka wawasan. Agar tergugah kesadaran akan keragaman. Wawasan dapat melahirkan keterbukaan. Kesadaran akan keragaman dapat memantik kerukunan. Keteguhan akidah harus menancap ke dalam diri. Namun keramahan toleransi harus tetap terpancar keluar. Toleransi bukan hanya memberi ruang bagi perbedaan, tapi juga menghargai siapa pun yang tak sama dengan kita. Menghargai perbedaan sama sekali tidak meruntuhkan keteguhan iman-tauhid yang kita pedomani.
Bagaimana jika seorang penceramah agama ditanya jemaahnya tentang simbol agama lain? Baiknya ia menjawab dengan jawaban “diplomatis”. Yaitu jawaban yang meneguhkan iman-tauhid sang penanya, tapi di saat sama tidak melecehkan simbol agama lain. Bisakah itu dilakukan? Harusnya bisa, karena setiap penceramah agama sebaiknya bukan cuma memiliki banyak ilmu tapi juga kaya akan adab dan etika tentang bagaimana seharusnya beragama di tengah masyarakat yang majemuk.
Memang harus diakui pola relasi antar agama, utamanya Islam-Kristen dalam bentang sejarah dapat dibilang tidak baik-baik saja. Perang Salib hanya salah-satunya. Belum lagi yang sifatnya polemis. Awal-awal orientalisme yang bergandeng-tangan dengan imperialisme, serta issu kristenisasi. Sebelum ada imperialisme Barat atas sejumlah negeri Muslim, ada Islam di Spanyol hampir delapan abad lamanya. Tapi kalau jejak-jejak masa lalu itu terus dirawat di memori kolektif kita, kapan kita dapat menata dunia bersama di mana agama tidak melulu menatap langit tapi melebarkan horizon pandangannya ke bumi dengan segala problem kemanusiannya?
Alinea di atas merupakan “intinya inti” status ini: agama dan kemanusiaan. Pada titik inilah nabi-nabi bertemu, agama-agama bersatu. Ibrahim hadir menentang arogansi Namrud. Musa datang melawan kesombongan Fir’aun. Isa lahir meluruskan makna dan fungsi agama dari penyalahgunaan para agamawan yang main-mata dengan penguasa. Muhammad, dengan “khuluq ‘azhim”-nya menegaskan bahwa kebergunaan bagi sesama merupakan patokan siapa terbaik di antara kita.
Agama-agama memiliki common enemy: kejahatan. Kejahatan adanya di bumi, maka harus dihadapi bersama. Pelaku kejahatan secara formal bisa menganut agama apa saja, maka tidak boleh kita menisbahkannya ke agama tertentu saja. Kejahatan terjadi di belahan bumi mana saja, maka pergumulan sejatinya bukan antar agama-agama melainkan antara kebaikan versus kejahatan. Semua agama juga diminta jawabannya bagaimana mengentaskan kemiskinan, kebodohan, penindasan, kesenjangan dan keterbelakangan banyak dari umat manusia.
Maka perlu pergeseran pemahaman tentang membela agama; dari yang semula berarti membela Tuhan dengan memenangkan perdebatan akidah-teologis, menjadi membela kemanusiaan dengan kerjasama antar agama demi memenangkan kebaikan, kemakmuran, kemerdekaan, kecerdasan, dan kesetaraan.
Terlahir sebagai orang “Perancis (Peranakan Ciamis),” Menamatkan SD, MTs dan MAN di Ciamis. Pernah mengajar di Pesantren Darussalam, Ciamis (1997-1998), menjadi penerjemah lepas naskah-naskah berbahasa Arab