Tuban selalu saja punya cerita menarik untuk dikaji. Seperti orang tua yang tak pernah kehabisan dongeng untuk diceritakan pada anak-anaknya menjelang tidur. Semua memiliki kesan tersendiri ketika bicara tentang kota di pesisir laut jawa yang sekaligus pintu masuk Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Tuban mempunyai sejarah panjang, bahkan saking panjangnya jarang ada yang sanggup menceritakan Tuban secara detail. Yang ada hanyalah puzzle-puzzle yang masih berserakan, entah kapan potongan puzzle itu bisa disatukan dan menjadi sebuah buku induk, atau buku babon tentang Tuban. Jadi, kan enak kalau ada orang yang pingin tahu sejarah Tuban, tinggal cari buku babon Tuban, semua permasalahan terjawab. Seandainya saja. Tentu saya boleh dong berandai-andai seperti itu.
Untuk mengawali andaian itu, saya mencoba ingin menceritakan tentang Tuban “Rikolo Jaman Semono” yang saya dapat dari mbah-mbah dulu, (termasuk Mbah Google).
Kata Mbahku dulu, yang katanya masih ada hubungan darah dengan Ronggolawe (kalau tidak percaya, silakan buktikan sendiri). Rikolo jaman semono, Tuban adalah pusat peradaban yang “gemah ripah loh jinawe”. Pusatnya orang pintar, pusatnya sumber daya alam, juga pusat perekonomian negara. Dengan adanya pelabuhan besar di Tuban, orang-orang Tuban harus siap dengan kondisi yang ada. Mereka harus siap menjadi tuan rumah yang nyaman bagi pendatang yang membawa kekayaan. Memang sudah seharusnya, Tuban dan masyarakatnya bersikap terbuka dan dinamis karena setiap hari mereka bersentuhan dengan pedagang-pedagang asing. Selain cina, bangsa-bangsa yang beragama Islampun sangat dominan datang ke Tuban sehingga penyebaran agama Islam tidak begitu menuai banyak rintangan ketika berada di Tuban.
Kenapa dikatakan bahwa tuban adalah pusatnya orang pintar, dengan semakin banyaknya orang asing yang datang, masyarakat sekitar harus tahu bahasa mereka. Sehingga komunikasi antara orang asing dan warga sekitar proses dagang bisa lancar. Jadi dengan bekal kemampuan berbahasa, mereka rata-rata menjadi penerjemah atau ahli diplomasi.
Selain itu, masyarakat tuban sudah sangat terampil dalam berbisnis, mereka menyediakan jasa untuk perkembangan perdagangan, mulai dari jasa penukaran uang, transportasi, penginapan, atau jasa servis kapal. Hal itu tidak mungkin terjadi begitu saja jika orang Tuban tidak pintar. Contoh konkrit Tuban masa lampau bisa dilihat pulau Bali saat ini.
Selain pusatnya orang pintar, Tuban juga sebagai pusat peradaban. Jaman dulu belum ada negara yang mampu menyaingi kemewahan Tuban. Ketika Sunan Bonang berdakwah dengan musik yang dikenal dengan “Bonang” yang terbuat dari kuningan. Kuningan jaman dulu adalah barang mewah yang sangat mahal dan berharga, ditangan masyarakat Tuban hanya dijadikan sebagai alat musik. Seperti misalnya, ketika ada batu berlian yang mahal harganya kalau ditemukan orang asli.
Tuban, paling-paling hanya akan dijadikan bahan engsel pintu kamar mandi. Bahkan Belanda ketika pertama kali datang ke Tuban sangat kagum dengan kemegahan kota ini, diwartakan dari kapal Tweede schipveart yang dinahkodai van warwicjk pada tahun 1599. Kegagumannya tidak berhenti disitu, melihat tradisi yang ada Tuban yang setiap hari senin dilakukan latihan perang di alun-alun Tuban (sekarang Prunggahan) hingga terkenal dengan tradisi “senenan” menambah decak kagum rombongan Belanda hingga mereka betah menjajah.
Selain sebagai pusat perdagangan, pelabuhan Tuban juga digunakan sebagai Harbour bar. Yakni sebagai tempat transit dan mengisi bahan perbekalan. Sebab selain bahan makanan yang berlimpah ruah, di Tuban juga banyak sekali “Jaten” sehingga kayu-kayu jatinya bisa digunakan untuk memperbaiki kapal-kapal saudagar yang rusak. Selain itu pula, ketika Belanda menjajah, kayu-kayu Jati di Tuban menjadi incaran untuk diangkut ke Eropa, sebab sepanjang perjalanan Belanda, kayu Jati yang ada di Tuban adalah kayu Jati terbaik yang pernah ada. Sehingga pada tahun 1803, Belanda memerintahkan untuk mengembangkan wilayah dan penanaman pohon Jati di beberapa wilayah di Tuban.
Dalam catatan Ma Huan juga Chengho sebelum mereka datang ke Jawa, ada kekhawatiran terkait bahan pangan, sebab, yang mereka tahu bahwa wilayah asia tenggara adalah wilayah penghasil buah, dan akan sangat sukar mencari sayur. Tetapi hal itu tidak terjadi di Tuban dan wilayah Jawa umumnya. Ketika mereka datang, wilayah Jawa sangat kaya akan sayuran. Tanah jawa adalah surganya buah dan sayur. Tanah yang sangat subur, apapun yang ditanam di atas tanah indonesia bisa dipastikan akan tumbuh subur, termasuk radikalisme misalnya. Hehehe.
Faktor ekologi juga tidak kalah penting. Ombak yang tidak begitu besar, tetapi memiliki arus yang deras, angin yang pas, dan sangat ideal. Kedalaman teluk Tuban sekitar 5 Vadem (1 vadem=1.7 Meter), sedang panjang teluk Tuban sekita 14 Paal (1 Paal=1506.9 Meter). Jadi sangat aman dan nyaman untuk kendaraan laut. Faktor keamanan di Tuban baik di darat maupun laut juga sangat baik, sehingga jalur laut Tuban jarang sekali ditemui perompak. Hingga Tuban dikenal dengan “Jalur Sutera”, sebab kain sutera adalah kain yang lembut yang menggambarkan keamanan dan kenyamanan perjalanan laut bagi para saudagar. Meski ada yang berpendapat bahwa Tuban Jalur Sutera sebab di Tuban memang penghasil kain sutera. Beda pendapat masih boleh kan?
Tuban juga merupakan benteng yang sangat kokoh bagi musuh-musuh yang melakukan ekspansi, terbukti dengan kerepotannya Sultan Agung ketika melakukan Ekspansi Militer Mataram. Aliansi Tuban dan Surabaya membuat Sultan Agung sedikit kedodoran. Tahun 1614 Sultan agung mulai mengalihkan serangannya menuju ke Surabaya Selatan, Pasuruan dan Malang. Surabaya mengalami kekalahan pada tahun 1616. Wilayah Wira Saba (Maja Agung) juga takhluk. Bagaimana dengan Tuban? Untuk mengalahkan Tuban tidak semudah itu ferguso…butuh strategi khusus untuk mengalahkan Tuban. Sultan Agung tidak bertindak keras terhadap Tuban, melainkan dengan mengganggu komunikasi Tuban dengan wilayah-wilayah sekitar sehingga kekuatan dari negeri-negeri maritim kandas dan bisa dikuasai oleh negeri agraria. Dan Tuban akhirnya takhluk.
Sejak dulu, Jika dengan pertempuran terbuka, akan sulit mengalahkan benteng Tuban, sehingga harus dengan tak tik jitu, orang Tuban berwatak keras, tetapi tidak bisa dikeras, filosofi tersebut termuat dalam tulisan Ho No Co Ro Ko (aksara jawa), ketika ada aksara jawa yang dipangku pasti bunyinya akan mati. Jadi kekuatan orang Tuban atau Jawa pada umumnya adalah dengan cara dipangku, atau di perlakukan dengan baik maka akan mudah mematikannya.
Tuban memang pernah mencapai puncak kejayaan, tapi itu dulu dan sekarang hanya tinggal cerita, Bangga? Jelas iya. Tapi bangga saja tidak cukup kisanak. Diperlukan langkah konkrit untuk mengembalikan kejayaan Tuban, meskipun saya yakin Butuh waktu yang sangat lama, dan puluhan ganti bupati pun masih belum bisa. Tapi tenang dalam sejarah ada teori spiral, bahwa suatu kejadian sejarah akan terulang.
Ketika sejarah bercerita tentang kemajuan suatu saat akan mengalami kemajuan pula seperti yang diceritakan dalam sejarah. Negara ini dibangun dari sebuah cerita. Bahwa kucing yang terlalu banyak mendengar cerita rimba ia akan mempunyai semangat seperti singa. Perbanyak cerita kurangi makan malam. Salam.
Ahli sejarah, Alumni UIN Sunan Ampel