Suluk.id – Malam kali ini, saya menyempatkan berkunjung di langgar (baca: musholla) dekat rumah orang tua. Sejenak, setelah shalat Isya, saya rebahan di teras beralas lantai dingin. Sesekali mata menerawang ke atas, menatap langit-langit dengan sarang laba-laba di beberapa sudut.
Teringat sekitar 23 tahun lalu, saat usia baru 8 tahun saya mengutarakan keinginan pada almarhum ibu saya.
“Mak, nanti malam mau ikut tidur di musholla,” pintaku setengah merajuk.
Beliau diam. Sebagai anak yang tidak sepenuhnya patuh, sayapun menganggap itu adalah tanda persetujuan. Malam itu, tepat saat malam Ramadhan, jadilah saya dan beberapa teman sebaya tidur di musholla untuk pertama kali. Petualanganku di dunia malam “musholla” pun di awali dari situ.
“Anakku wes gede ternyata, berarti wes wani sunat, iso nyuci dewe,” kata emak kemudian hari.
Ucapan si emak yang terakhir bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Meskipun diucapkan dengan nada bercanda, tetapi orang tua di kampung saya membuat semacam parameter tidak resmi tengang ukuran kedewasaan seorang anak: sudah berani tidur di musholla.
Persoalan keberanian seorang anak tidur di musholla perlu dilihat lebih kompleks. Bagi orang di kampung saya, itu sebagai penanda dia mulai tertarik menjelajah kehidupan di luar rumah. Mulai siap mandiri. Menjalin komunitas sosial. Menemukan hal-hal baru di luar rumah.
“Tidur di Langgar, Tidak Semua Karena Urusan Ngaji”
Adzan waktu maghrib berkumandang. Sinyal bagi warga kampung, tak terkecuali anak-anak, mendatangi langgar. Selepas shalat maghrib, biasanya diisi dengan ngaji pengenalan huruf hijaiyah, atau ngaji baca al-qur’an. Ngaji ini biasanya diampu seorang kyai atau guru ngaji di kampung. Pesertanya adalah anak-anak kecil di kampung tersebut.
Selepas Isya, musholla akan sepi dengan cepat. Tapi di sinilah awal suasana semarak bermula. Sekelompok bocah kecil menginjak usia remaja akan menjadikan langgar sebagai markas utama untuk memulai aktivitas malam.
“Mengko bengi tidur langgar ya? “kata mereka saling mengucap janji.
Di musholla inilah ide-ide mereka sebagai remaja tanggung dirancang. Jarang sekali menjadwalkan mengaji. Karena bagi mereka waktu mengaji adalah selepas maghrib bersama Kyai. Ide yang muncul biasanya cenderung nakal dan badung, seperti mengambil hasil kebun tetangga untuk dibakar, berburu ikan di sungai dan laut, ataupun menjelajah pelosok-pelosok desa untuk sekedar uji nyali mencari tempat angker.
Setelah puas bermain malam. Biasanya mereka akan kembali ke musholla untuk merebahkan badan, saling gojek dan bercerita, dan tentu saja tidur pulas dengan alas seadanya.
Meski begitu ada juga kegiatan yang positif. Mereka ini adalah anak-anak yang mencintai musholla terkadang lebih dari rumahnya sendiri. Ketika di rumah malas berberes rumah, tetapi untuk masalah bersih-bersih di musholla biasanya didulukan.
Kerap kali, keberadaan anak langgar ini sebagai alarm keamanan kampung. Pernah suatu kali, sekelompok bocah di kampung saya berteriak tengah malam karena ada sekawanan maling sapi. Para pencuri akhirnya kabur ketakutan saat para penduduk keluar rumah.
Warga yang membutuhkan bantuan tenaga saat hajatan akan dengan mudah mencari mereka. Dengan senang hati para bocah itu akan membantu. Mereka juga akan siap sedia ketika diminta bantuan untuk hal-hal lain.
Tidur di langgar bukan hanya persoalan proses religius seorang anak. Bisa juga itu sebagai awal kebadungan sebagai remaja tanggung. Karena tidur lebih sering larut malam, seringkali mereka bangun saat saat adzan subuh dengan mata berat. Lalu langsung pindah tidur tanpa ikut shalat.
Meski mereka nakal, kadang lebih banyak membuat jengkel karena iseng, tetapi para orang tua dan warga kampung tetap mencintai dengan sepenuh hati. Contohnya: orang-orang yang punya hajatan selalu ingat menyisihkan makanan buat anak langgar. Meski sering dicuri jagung dan tanaman lainnya, para petani masih akan memberi panenan mereka dengan sukarela. Para ibu, akan memberikan bumbu dapur ketika anak-anak itu memperoleh hasil tangkapan dari alam liar.
Masa itulah tidak ada musholla dan masjid yang terkunci rapat ketika malam. Para musafir akan mudah memanfaatkan tempat ibadah ini sekaligus sebagai tempat istirahat. Keamanan akan terjamin, karena musholla dan masjid punya anak-anaknya sendiri.
Ponsel saya berdering. Seseorang mengajak menuang kopi dari cangkir. Saya tutup musholla dan berpikir: apa yang digunakan zaman sekarang untuk mendidik anak-anaknya mengenal dunia luar rumah?
Tinggal di Tuban, menulis di Suluk.id