Suluk.id – Setelah berbuka puasa dengan gule kambing dan suwiran pepaya bumbu merah, saya leyeh-leyeh di teras rumah. Belum ada kepastian pemerintah menetapkan Idul Fitri tapi masjid di dekat rumah sudah mengumandangkan takbir. Ah, sungguh syahdu sekali malam ini. Tak lama, kabar hilal sudah terlihat disampaikan oleh para petugas pelihat hilal, akhirnya mushola kecil dekat rumah mengumandangkan takbir. Lega, semua akan merayakan Idul Fitri esok hari. Baik yang puasa duluan maupun belakangan akan menikmati opor ayam besok.
Tahun ini, hari raya tak seperti setahun lalu bagi sebagian orang. Saya sebagai perantau sungguh menikmati sekali bisa menjalani malam terakhir Ramadhan di rumah bersama Emak dan Adik-adik saya.
Malam semakin larut, gema takbir terus saja saling bersahut. Saya memutuskan untuk menikmati malam Idul Fitri ini dengan melihat jalanan tapi di tengah perjalanan saya memacu motor menuju arah pesisir pantai. Dalam hati saya kok ingin sambang Makam Waliyullah Syeh Maulana Ibrahim Asmoroqondi, Ayah Sunan Ampel.
Sampai di jalur Palang-Paciran suasana mulai ramai. Beberapa kendaraan melintas. Mereka adalah orang tua yang sedang momong anaknya. Persis di depan gang masuk makam Mbah Asmoroqondi ramai sekali. Mirip pasar malam. Aneka permainan dan dagangan berjajar di sana. Semua pengunjung tampak gembira. Mereka akan merayakan Idul Fitri.
Saya memacu motor menuju ke komplek makam Mbah Asmoroqondi. Sesampai di pelataran Masjid tidak seramai biasanya. Kumandang takbir lagi-lagi membuat hati terus berdesir. Hanya ada beberapa orang yang duduk di teras Masjid. Para jamaah itu sedang memandang langit, menikmati sekali suasana malam ini.
Langkah saya berlanjut masuk ke gerbang makam yang ada di sisi selatan masjid. Hanya ada satu rombongan yang membaca tahlil. Saya memilih duduk di dekat makam Mbah Asmoroqondi. Mata saya secara perlahan memandangi makam itu. Ingin rasanya berbagi cerita pada Mbah Asmoroqondi tapi untuk malam ini saya urungkan. Saya hanya ingin bahagia di depan Mbah Asmoroqondi.
Dalam pikiran saya hanya muncul bayangan tentang bagaimana perjuangan para Waliyullah itu berjuang saat pertama kali di Bumi Tuban. Cara mereka berkomunikasi dengan masyarakat dan memandu masyarakat saat itu. Apakah mereka berteriak ini haram, itu haram. Ah, tidak demikian. Seperti yang ada di buku, para wali itu berdakwah dengan cara-cara yang sangat epik.
Lamunan saya buyar setelah mendengar pekikan tahlil. Oh, para peziarah sudah mulai ada yang datang lagi. Saya beranjak berdiri. Dalam batin saya mengucap salam ke Mbah Asmoroqondi untuk pamit.
“Mbah, doakan Bangsa ini baik-baik saja. Semoga tradisi masyarakatnya terus lestari tak termakan teknologi dan industri. Sesama warga saling menjaga. Guyub rukun dan tidak kemrungsung,”
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. (*)
Redaktur suluk.id