Suluk.id – Ciri khas keberagamaan Islam di Nusantara (baca: Indonesia) adalah adanya kreasi, akulturasi, modifikasi, bahkan kadang-kadang cenderung sinkretisasi.
Hal ini yang menjadikan nilai-nilai keberagamaan Islam selalu tampak khas dan membumi, mengkonteks, dan sesuai dengan situasi juga zamannya. Model keberagamaan seperti ini tentu mengacu pada sanad yang tidak asal-asalan, bahkan mengacu pada sanad sahih dan dapat diperjelas melalui ajaran dan praktik keberagamaan para ulama shalih (semisal Wali Songo) yang telah berhasil mendinamisasikan nilai-nilai Islam dengan budaya, tradisi atau budaya setempat.
Di antara hasil dari kontekstualisasi dan dinamisasi itu adalah munculnya tradisi lebaran, laburan, leburan, luberan, dan liburan, pada saat hari raya Idul Fitri tiba, setiap 1 Syawal. Tradisi khas Jawa tidak akan ditemukan dalam konteks keberagamaan Islam di manapun di dunia ini. Oleh karena itu, munculnya tradisi tersebut menjadi salah satu model keberagamaan umat Islam Nusantara, khususnya di Jawa ketika tiba hari raya Idul Fitri, adalah hal yg tdk dapat diingkari. Meskipun demikian sebenarnya tidak sedikit tradisi tradisi lainnya yang dapat ditemukan dalam kehidupan keberagamaan yang khas Islam Nusantara ini.
Tradisi Lebaran yang berasal dari kata “lebar”, memiliki arti luas. Ungkapan ini mengandung arti bahwa setiap umat Islam setelah melakukan ibadah puasa selama bulan Ramadhan, maka diharapkan pasca puasa akan memiliki hati yang lebar, lapang, bebas dari segala dosa, karena juga memberikan kelebaran (membuka) hati untuk memaafkan pada pihak lain, sehingga kembali menjadi fitri (suci) sebagaimana pada kondisi awal manusia dilahirkan (fitrah). Ungkapan ini sesuai dengan Hadis Nabi SAW: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan dilandasi iman dan penuh pengharapan kepada Allah, maka segala dosa-dosanya akan diampuni oleh-Nya”.
Tradisi yang mengiringi lebaran adalah “laburan”, berasal dari kata “labur” yang memiliki makna mengecat. Seperti dalam ungkapan “saya melabur tembok rumah”, artinya saya sedang mengecat rumah. Dalam konteks ini, laburan dapat dimaknai sebagai ungkapan akan pentingnya mengecat dan mendesain hati dengan cat yang indah dan cantik, setelah sebulan Ramadhan dilatih dan didandani, sehingga tampak indah, cantik, dan menawan dalam tata pergaulan dengan sesama. Tidak ada lagi celah kebencian dalam hati, dibuangnya jauh-jauh suudzon (prasangka buruk) pada sesama, dan lain-lain.
Tradisi selanjutnya adalah luberan, yang berasal dari kata “luber”, dapat diartikan sebagai tindakan yang luman, dermawan, suka berbagi, berempati, dan bersimpati pada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Sikap luber dengan berzakat fitri sebelum beridul fitri menjadi kewajiban bagi setiap Mukmin-Muslim. Wujud keluberan dapat diterjemahkan dalam kehidupan solidaritas sosial yang lebih nyata.
Ungkapan yang mengiringi ketiga tradisi di atas adalah “leburan” yang berasal dari kata “lebur” yang memiliki arti “nyatu (menjadi satu)”. Nyatu, menyatu, lebur dalam perspektif sufi yang kemudian menjadi tujuan dari semua ibadah, termasuk tujuan dari ibadah puasa, yaitu menyatunya seorang hamba dengan kekasih sejatinya, yaitu Allah SWT. Sebab tujuan dari semua ibadah itu adalah untuk mencapai derajat “taqwa” kepada Allah SWT (la’allakum tattaqun).
Tradisi selanjutnya yang mengikuti keempat tradisi di atas adalah “liburan”, yang berasal dari kata “libur”, yang berarti “prei, cuti, yaum al-uthlah, holiday. Liburan (cuti bersama) di hari Idul Fitri senantiasa menjadi tradisi masyarakat Islam Nusantara. Liburan spesial di hari Fitri ini memiliki makna yang tidak hanya liburan rutin untuk sekedar refreshing dan bertamasya (rekreasi) semata, namun memiliki makna spiritual-religius yang tinggi, yaitu menjalin komunikasi, anjangsana, yg biasa disebut dg bersilaturahmi dengan berbagai sanak keluarga, orang tua, kakek-nenek, kerabat, saudara, teman, tetangga, guru-guru, kyai, kolega, mitra, dan lain sebagainya.
Di sinilah terdapat nuansa-nuansa refreshing dan rekreasi yang sangat alamiah, sebab yang dikunjungi secara langsung tidak hanya berdekatan jaraknya, namun juga ada yang jauh. Nampaknya Medsos (media sosial) telah menjadi media efektif untuk bisa bersilaturahmi baik di saat pandemi covid-19 maupun pasca Covid. Bahkan pada momen lebaran, laburan, luberan, leburan, dan liburan ini, yang berada di tempat yg jauh sekalipun memiliki kesempatan untuk bisa bertemu secara daring dalam rangka sungkeman, silaturahmi dengan orang tua, sanak saudara, kerabat dan lain-lain.
Inilah esensi dari mengapa hari raya idul fitri menjadi penting dengan berbagai tradisi silaturrahim yang dijalankan di Indonesia. Kondisi ini berbeda jauh dengan perayaan hari raya Idul Fitri yang dilaksanakan di negara-negara Muslim lainnya di dunia. Sekaligus menjadi ciri khas keberagamaan Islam di Nusantara. Sudah menjadi Ijma’ ulama Nusantara, bahwa ungkapan dan perayaan seperti ini tidak melanggar/bertentangan dengan syari’at Islam, merayakan Idul Fitri secara proporsional dan tidak melebihi batas.
Wallahu a’lamu bi al-shawab!
____________________
Ditulis oleh Syamsun Ni’am, Guru Besar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan