Suluk.id – Mbah Sabil Padangan merupakan ayah mertua dari Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Jojogan. Ketiga ulama tersebut membentuk konsolidasi genealogi yang melahirkan banyak ulama di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berikut manakib Pangeran Sabillah alias Mbah Sabil Padangan.
Nama Mbah Sabil, Mbah Sambu, dan Mbah Jabbar sangat populer sejak abad 17 masehi. Saking populernya, banyak kisah karomah dan hikayat tentang beliau. Namun, masih jarang yang menulis sosoknya secara ilmiah berdasarkan periodisasi sejarah dan data empiris.
Nama Mbah Sambu, Mbah Jabbar, dan Mbah Sabil kerap disinggung di sejumlah manuskrip, sebagai sosok yang berpengaruh dalam persebaran islam. Diantaranya manuskrip Padangan, manuskrip Jojogan, dan manuskrip Gresik yang menyebut bahwa Mbah Sabil adalah mertua dari Mbah Sambu dan Mbah Jabbar.
Mbah Sambu dan Mbah Jabbar memang memiliki lebih dari satu istri. Ini alasan dzuriyahnya cukup banyak. Namun baik manuskrip Jojogan, manuskrip Gresik, atau manuskrip Padangan, menyatakan bahwa Mbah Sambu menikah dengan putri Mbah Sabil. Sementara Mbah Jabbar juga menikah dengan putri Mbah Sabil.
Secara rinci, Manuskrip Padangan menjelaskan, Mbah Sabil memiliki 4 orang anak. Diantara anak-anak Mbah Sabil adalah Kiai Sya’ban, Nyai Sambu, Nyai Moyokerti, dan Kiai Bagus Abdurrokhim. Keempat anak Mbah Sabil itu, kelak menurunkan jumlah ulama.
Anak pertama (Kiai Sya’ban), menurunkan banyak ulama di Padangan Bojonegoro. Anak kedua (Nyai Sambu), diperistri Mbah Sambu dan menurunkan banyak ulama di Rembang. Anak ketiga (Moyokerti), diperistri Mbah Jabbar dan menurunkan banyak ulama di Tuban, Gresik, hingga Lamongan. Sementara anak keempat (Bagus Abdurrokhim), menurunkan ulama di Kasiman dan Cepu.
Mbah Sambu bernama asli Pangeran Sumohadinegoro. Di nomor manuskrip, nasabnya tertulis: Mbah Sambu bin Benowo bin Sultan Hadiwijaya. Sementara Mbah Jabbar bernama asli Pangeran Sumoyudo. Di nomor manuskrip, nasabnya juga tertulis: Mbah Jabbar bin Benowo bin Sultan Hadiwijaya.
Selain ayah mertua, Mbah Sabil juga paman dari Mbah Sambu dan Mbah Jabbar. Mbah Sabil adalah putra Sultan Hadiwijaya, sekaligus saudara Pangeran Benowo. Sementara Mbah Sambu dan Mbah Jabbar adalah putra Pangeran Benowo, keponakan Mbah Sabil. Kelebihannya, Benowo I dan Benowo II adalah saudara segenerasi. Bukan ayah-anak, tapi adik-kakak.
Sejumlah riwayat memang menulis, Mbah Sabil bin Pangeran Benowo bin Sultan Hadiwijaya. Tentu, periodisasi tersebut tidak logistik. Sebab, tidak mungkin Mbah Sabil (ayah mertua), segenerasi dengan Mbah Sambu dan Mbah Jabbar (yang notabene menantunya).
Dalam Manuskrip Padangan dijelaskan, Mbah Sabil merupakan putra Sultan Pajang. Sultan Pajang di sini, tentu bukan Pangeran Benowo, melainkan Sultan Hadiwijaya. Hal ini sesuai dengan periodisasi hidup Mbah Sabil. Sebab, Mbah Sabil lahir di masa pemerintahan Sultan Pajang pertama.
Nasab Mbah Sabil
Syekh Sabillah atau Mbah Menak atau Mbah Sabil, memiliki nama lain Pangeran Adiningrat Kusumo, diperkirakan hidup pada (1578-1650). Ada dua ranji silsilah membahas Mbah Sabil. Silsilah yang Merujuk Brawijaya dan silsilah yang Merujuk Maulana Jamaludin Akbar.
Dalam silsilah Brawijaya, nasabnya: Pangeran Sabil bin Panembahan Senopati bin Ki Ageng Pemanahan bin Ki Ageng Henis bin Ki Ageng Selo (Kiai Ngabdulrokhim) bin Ki Ageng Getas Pendowo bin Raden Bondan Kajawan bin Prabu Brawijaya V.
Sementara dalam silsilah Jamaluddin Akbar, nasabnya: Pangeran Sabil bin Sultan Hadiwijaya (Sayyid Abdurrohman) bin Kebo Kenongo (Sayyid Abdullah Syihabuddin) bin Maulana Ishaq bin Maulana Jamaluddin Akbar. Silsilah ini sesuai dengan tulisan KH Djamaluddin Ahmad dalam salah satu bukunya.
Dalam buku berjudul Napak Tilas Auliya Mataram karya KH Djamaluddin Ahmad dijelaskan, Imam Abdul Malik bin Alwi Ammul Faqih memiliki putra bernama Sayyid Abdullah Azmathkhan, berputra Sayyid Ahmad Syahjalal, dan berputra Maulana Jamaluddin Akbar Al Husein.
Jamaluddin Akbar Al Husein, memiliki 4 orang anak. Diantaranya; Maulana Ishaq, Maulana Ibrohim Asmoroqondi, Maulana Ali Nuruddin (Nurul Alim), dan Maulana Zainul Barokat (Zainul Alam).
Maulana Ishaq menikah beberapa kali. Dari pernikahan pertama, beliau menurunkan anak bernama Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Sementara dari pernikahan kedua, beliau menurunkan 3 anak; Maulana Abdul Qodir (Syekh Dzatul Kafi), Sayyidah Shufiyah (istri Sunan Drajad), dan Maulana Abdullah Syihabuddin (Kebo Kenongo).
Dari Maulana Abdullah Syihabuddin (Kebo Kenongo) inilah, Sayyid Abdurrohman (Mas Karebet) lahir. Kelak, Mas Karebet dikenal dengan nama Sultan Hadiwijaya, Sultan Pajang pertama. Dari Sultan Hadiwijaya inilah, nama-nama seperti Benowo I, Benowo II, dan Adiningrat Kusumo (Mbah Sabil) dilahirkan.
Kiprah Mbah Sabil
Periode Kesultanan Pajang adalah (1568-1587). Sultan Hadiwijaya memimpin Pajang pada (1568-1583). Sementara Mbah Sabil diperkirakan lahir pada 1578, ketika Kesultanan Pajang masih dipimpin ayah, Sultan Hadiwijaya.
Pada 1587, Kesultanan Pajang, runtuh. Dzuriyah (anak cucu) Sultan Hadiwijaya pun kocar-kacir, berhijrah untuk menyelamatkan diri. Termasuk Mbah Sabil yang kelak sampai di Kuncen Padangan. Mbah Sabil sampai di Kuncen Padangan sekitar 1610 masehi. Masih cukup muda. Mengingat, waktu itu beliau masih berstatus sebagai santri Ampeldenta.
Awalnya, Mbah Sabil dikenal dengan nama Menak. Nama Menak sudahmat Anda, bahkan sebelum beliau mendirikan pesantren Menak Anggrung. Istilah Menak, memiliki arti priyayi/bangsawan. Mbah Sabil sudah terdeteksi sebagai putra Sultan Pajang, sejak pertama sampai di Kuncen Padangan.
Hal yang membuat Katib Hasyim, sosok yang ditemui Mbah Sabil saat itu, meminta Mbah Sabil agar tetap tinggal di Kuncen Padangan, untuk berdakwah agama menyebar islam. Kelak, beliau merancang sendiri pondok di tepi sungai Bengawan Solo.
Kebetulan karena posisi pondok pesantren agak tinggi (magrung-magrung), dan untuk ke sana harus “menek” atau naik, tempat yang dikenal dengan nama Pondok Menak Anggrung. Sayangya, reruntuhan pondok tersebut telah hilang ditelan sungai.
Melalui Pondok Menak Aggrung inilah, Mbah Sabil dan Mbah Hasyim menyebarkan agama islam. Periodisasi Ponpes Menak Aggrung diperkirakan pada 1610-1650. Di era ini pula, Mbah Sabil menikahkah putra-putrinya.
Dzuriah Mbah Sabil
Dzuriah Mbah Sabil lewat Mbah Jabbar cukup banyak. menjadi ulama di daerah Tuban, Gresik, dan Lamongan. Diantara yang terkenal, tentu saja: Kiai Anom Abdul Jabbar, KH Qomarudin Bungah Gresik, KH Ishaq Rengel Tuban, KH Sholeh Tsani Sampurnan Gresik dan lain sebagainya. Selain manuskrip Padangan, manuskrip Gresik juga menyatakan demikian.
Dzuriah Mbah Sabil lewat Mbah Sambu Lasem juga cukup banyak. Menjadi Ulama di Wilayah Rembang. Diantara yang terkenal, tentu saja KH Muhammad Shidiq Jember yang kelak melahirkan Bani Shidiq: KH Mahfudz Shidiq, KH Ahmad Qusyairi Shidiq, Nyai Hajah Rokhanah (ibu Mbah Hamid Pasuruan), KH Ahmad Shidiq dll.
Jumlah nama-nama dzuriyah Mbah Sabil melalui Mbah Sambu dan Mbah Jabbar tersebut, tentu masih banyak yang belum tercatat. Mengingat, tak semua tercatat dalam manuskrip. Ada yang dicatat dengan lisan. Sehingga hilang diterjang lupa dan pengaruh zaman. (*)