Jika dilihat sekilas lewat perawakan fisiknya, siapa yang menyangka Yai Makhsun atau orang biasa memanggilnya dengan nama mbah isun itu sudah berumur kepala 7 (baca : 70 tahunan). Namun, dari cara beliau berjalan masih sangat kokoh, gerak yang masih enerjik, keadaan tubuh yang masih tegap tidak menggambarkan dugaan sedikitpun jika beliau ini sudah berumur sepuh. Apalagi teridap penyakit umumnya orang tua saat ini seperti gula, asam urat, Jantung, beliau bebas dari itu semua tuturnya.
Pelafalan isun yang dimaksud bukannya berarti pelesetan dari kata ingsun dalam arti kata ‘saya’, seperti istilah populer yang ada dalam kitab kuning di pelafalan pegon jawiy yang kita kenal. Tutur beliau, nama itu disematkan oleh ibunya sendiri, dikarenakan panggilan makhsun terasa berat dibunyikan, sehingga sun.. isun lebih mudah lafalkan, begitu kenangnya.
Yai Isun atau Abah Isun begitu masyarakat dukuh kami memanggilnya, adalah tergolong Kyai yang sangat sederhana dalam segala hal. Dalam tampilan kesehariannya beliau ini mewakili prototipe kyai ndeso alias kampung. Baju putih kegemarannya yang setiap saban hari dikenakan dalam kegiatan keagamaan terlihat lusuh, namun bersih dan suci. Siapa sangka saking gemarnya dengan warna itu, hampir semua koleksi baju yang dimilikinya berwarna putih.
Meski Yai isun menyandang gelar Kyai Kampung, menurut Kyai – Kyai Kota yang pernah berjumpa dengannya, padahal masyarakat sendiri tidak pernah mengerti jika ada istilah Kyai kampung – Kyai kota, dalam hemat saya, justru Kyai ini memiliki pandangan dan gaya berfikir yang relevan atas kemajuan jaman. Ringkasnya beliau ini kyai yang intelektual.
Bukankah kita semua sepakat, intelektual itu tidak ragu dan cemas kepada “perubahan”. Rupanya tumpukan kitab kuning klasik keagamaan yang diajarkannya tiap hari kepada masyarakat kampung tidak memenjarakan dirinya dalam kejumudan berfikir beliau sadar, apa yang dibincang dalam kitab-kitab itu merupakan khasanah klasik warisan jaman, yang bisa dan absah digali pesan-pesannya dalam konteks kekinian.
Keyakinan saya semakin menguat ketika menyaksikan beliau, yai isun, turut menyumbangkan fikirannya bagi masyarakat dukuh kami dalam menghadapi wabah covid yang merebak sejak awal tahun 2020 kemaren di Indonesia. Adanya wabah ini, memaksa segala aktifitas kerumunan massa untuk sementara harus dihentikan. Bagi umat Islam di Indonesia tentu kebijakan itu menjadi sulit. Bulan Ramadhan yang akan tiba dalam hitungan hari, akan dilaksanakan dengan cara tidak biasa. Sementara, umat muslim Indonesia terbiasa menyemarakkan bulan ini dengan berbagai kegiatan religius yang mengundang kerumunan.
Dalam rapat yang digelar oleh pemerintah Desa itu, turut mengundang jajaran umara dan ulama dukuh untuk membincang pencegahan covid yang semakin menghawatirkan. Dalam musyawarah tersebut silang pendapat antar ulama pun tak terelakkan.
Ada sebagian tokoh agama dukuh kami menyangsikan ikhtiar yang dilakukan pemerintah lewat protokoler kesehatan yang ditawarkan. Dalihnya, covid ini hanyalah konspirasi para politikus, guna menakut-nakuti negara, untuk apa kita terlalu cemas atas ini, toh di desa kita masyarakat sehat-sehat saja. Lalu, ada pula yang berdalih atas dasar takdir, jika sudah takdirnya mati, ya tidak harus kita gupuh-gupuh menakuti wabah ini. intinya air wudhu, rajin shalat lima waktu beramal shaleh akan menyelamatkan kita dari bencana wabah, toh fenomena ini adalah adzab bagi makhlukNYA yang lalai, tutur Kyai yang duduk paling pojok itu.
Dalam musyawarah yang cukup tegang itu, saya melihat wajah pesimis para perangkat desa atas argument para tokoh agama tadi, jujur dalam kecemasan musyawarah ini saya menunggu komentarnya yai Isun, berkali-kali saya curi pandang ke wajahnya menunggu cemas atas komentarnya, meski saya tidak yakin apakah komentnya nanti akan seragam dengan komentator sebelumnya, tapi hati ini yakin, dawuh beliau pasti menjadi solusi yang meneduhkan.
Benar saja, ketika semua mata tertuju kepada Yai Isun, untuk meminta saran dan masukannya, beliau menyambutnya dengan acungan tangan
Benar saja, ketika semua mata tertuju kepada Yai Isun, untuk meminta saran dan masukannya, beliau menyambutnya dengan acungan tangan seraya berkata, “hadirin, kalau boleh, saya ingin mengusulkan sesuatu atas hal yang sedang kita bahas ini”,
monggo yaitu, tutur pak carik yang sekaligus memoderatori acara itu.
Ungkap beliau, “wabah covid ini harus kita hadapi dengan serius, namun tidak usah panik berlebihan. vaksin belum ditemukan, ikhtiar kita sebagai manusia hanya mampu melakukan pencegahannya dengan protokoler yang sudah disosialisasikan pemerintah. Saya setuju atas usulan pemerintah, agar kita melegawakan hati untuk mengurangi segala aktifitas kerumunan keagamaan. Yasinan, pengajian, shalat jamaah, bahkan shalat iedul fitri nantinya, umat islam harus legawa untuk tidak merayakannya seperti biasa.
Panjang lebar beliau menuturkan beberapa koidah fiqh maupun ushul fiqh sebagai pijakan atas keputusan yang cukup berat ini. Dari sekian qoidah ushul yang beliau tuturkan ada satu yang kuat dijadikan landasan beliau dalam berargument tadi menurut saya. Ma la yatimmu al wajibu illa bihi fa hua waajibun (مالا يتم الواجب الا به فهو واجب) “sesuatu yang menyempurnakan kewajiban, berstatus wajib pula”.
Upaya pencegahan penularan virus itu akan menjadi wajib sebagai syarat agar kita selalu sehat. Jika kita membiarkan diri kita sakit sama pula kita menyiksa raga kita sendiri. Bukankah menjaga kesehatan jiwa dan raga menjadi kewajiban bagi semua makhlukNYA?. Begitu penutup kalimat usulannya.
Siapa sangka, malam itu saya diajari arti sikap berdemokratis dalam mengambil keputusan antar kepentingan bernegara dan agama oleh abah Isun yang kata orang banyak disebut kyai kampung.
Dosen IAIN Tulungagung.