Tahun 2014, di tepat di tengah makam itu mulai dipasang sebuah lampu besar untuk menerangi makam. Kegelapan pun menghilang kala malam. Namun, kesan seram masih tercetak begitu jelas. Lampu itu tidak dapat menidurkan bulu kuduk kami saat melintas.
suluk.id – Tahun 2013, kala itu, kami sekeluarga mengunjungi rumah calon istriku di Kabupaten Madiun. Sebenarnya, letak rumahnya tidaklah begitu berada di pedalaman, tapi juga tidak berada di daerah perkotaan kota. Tepatnya perbatasan antara kota Madiun dengan Kabupatennya. Namun, untuk sampai ke sana kami harus melewati hutan jati yang lebat sepanjang kurang lebih 700 meter.
Hutan jati itu terletak di Jalan Lawu, jalan yang memanjang antara Pabrik Gula Kanigoro dengan Kecamatan Dungus yang bila dilanjutkan ke arah timur pembaca akan menemukan Bendungan Krangkeng, dan jika ke timur lebih jauh Anda akan sampai di Monumen Kresek, monumen paling terkenal di Madiun.
Para penduduk menyebut hutan jati itu dengan Kuburan Krangkeng. Memang, di antara kegelapan hutan jati nan mungil itu ada sebuah makam di sebelah barat jalan. Ini menambah kesan wingit yang ada di sekitar hutan itu. Ditambah dengan cungkup makam tua yang rapuh karena dimakan rayap. Menambah kesan tua sekaligus seram tempat ini.
Pertanyaan klasik pun terlontar kepada saya. “Kamu dapat istri dari mana, sih, Kok rumahnya pedalaman gini?”
“Dapat di tengah jalan. Hahaha,” saya hanya bisa menjawabnya dalam tawa, sambil berharap istri saya tidak membaca ini.
Keangkeran tempat itu ditambah lagi dengan cerita pembegalan, hingga tetangga saya sendiri pernah dipukul tengkuknya dengan kayu di wilayah itu.
Juga selebriti yang gemar mengupas hal-hal gaib sebut saja Tukul Arwana pernah membedah area mistis ini. Kurang mistis bagaimana coba.
Cukup?
Belum. Almarhum Pak Lik istri saya tidak pernah mau melewati kuburan Krangkeng malam hari. Menurut pengakuannya karena bising dengan teriakan wanita setiap melewatinya. Beliau memang sering bercerita tentang arwah-arwah di alam kubur selama hidupnya. Dan saya manggut-manggut saja. Belum lagi cerita penghuni makam itu. Sosoknya yang hitam besar bersemayam di sana setiap waktu.
Di sebelah selatan makam itu terdapat Sungai yang terbelah ke arah selatan dan timur. Konon pertemuan dua sungai menjadi markas besar dedemit. Brrrr.
Yang lebih mengejutkan lagi di pertemuan dua sungai tadi sering menjadi tempat berlabuh anak manusia yang tenggelam terseret arus di wilayah hulu. Sepanjag saya tinggal di rumah mertua, sekali saya mndenhar kabar korban tewas terseret arus sungai ditemukan di tempat tersebut.
***
Tahun 2014, di tepat di tengah makam itu mulai dipasang sebuah lampu besar untuk menerangi makam. Kegelapan pun menghilang kala malam. Namun, kesan seram masih tercetak begitu jelas. Lampu itu tidak dapat menidurkan bulu kuduk kami saat melintas.
“Dengan suasana demikian, bertempat tinggal di sini adalah mustahil,” kata saya dalam hati.
Lambat laun perkataan saya di atas keliru. Di tahun 2015 kemudian, seseorang yang dengan gagah berani mendirikan warung tepat di depan makam itu. Jadi, antara makam dan warung hanya terpisahkan dengan jalan raya.
Hebat! Warung itu bertahan dan tidak saya sangka mampu beradaptasi dengan lingkungan wingitnya.
“Siapa juga yang mau membeli makanan di situ,” pikir kami.
Ternyata, warung itu benar-benar bertahan. Hingga pada tahun 2018, saya menemukan kerumunan penduduk di sana. Mereka ramai-ramai mendirikan warung. Warung yang mereka dirikan menyediakan mie ayam, soto ayam kampung, ayam bakar, dan lain sebagainya.
Dan yang tidak saya lupakan mereka menghias tepi jalan tepat di sebelah sungai yang sering ditemukan mayat yang saya ceritakan tadi.
Mereka menata roda-roda mobil bekas menjulang ke atas kemudian mewarnainya dengan cat warna-warni. Kesan seram pelan-pelan mulai pudar.
Macam-macam bunga juga ditanam sekitar tempat itu, ditambah pohon pepaya dengan buahnya yang menggoda selera seakan menghapus kenangan buruk yang ada di sana.
Musim gowes tiba, para pecinta sepeda mulai ramai berdatangan mampir ke tempat tersebut.
Maklum jika Anda gowes di jalan ini, Anda akan menemukan pemandaangan yang indah pematang sawah yang membentang. Sistem terasering yang manambah sejuk mata, diakhiri dengan gunung Wilis dan perbukitan yang mengakhiri view di wilayah inu dengan ciamik.
Kembali ke wilayah Krangkeng. Baru-baru ini orang menebangi beberapa pohon jati. Saya mengira akan menjadi sawah atau kebun lainnya. Lagi-lagi saya keliru. Mereka mendirikan kolam pemancingan ikan.
Kolam pemancingan sepanjang kurang lebih lima puluh meter dengan lebar sepuluh meter. Kini ramai dikunjungi penggemar mancing mania.
Mereka bisa membawa pulang ikannya ata di-servis oleh warug-warung setempat.
Kini, penduduk setempat memanggil tempat ini dengan sebutan Wisata Krangkeng, sesuai dengan nama dusunnya.
Makam-makam itu pun tidak lagi terlihat wingit. Dan sebaliknya tempat ini begitu ramah dengan pengunjungnya.
Seandainya Pak Lik saya masih hidup. Saya akan bertanya kepadanya, “Pak Lik, sekarang di mana demit-demit di sana?”
Kalau boleh saya menebak, jawabannya ialah, “Demit itu menjadi ramah, sering tertawa bersama para pemancing. Nggak nggaggu, kok,” dalam bayangan saya, Pak Lik berkata sambil tersenyum.
Lulusan Pondok Pesantren Al-Islam Nganjuk serta dosen di IAIN Tulungagung