Tidak melulu hati. Kadang orang kalau sudah suka, sampai menutup semua fakta. Meskipun banyak yang mendefinisikan itulah cinta. Tapi menurut saya itu… bisa dikatakan kurang tepat. Denial atau menolak tentang semua keburukan orang yang kita suka itu pada akhirnya akan menimbulkan penyesalan. Ketika mereka melakukan sesuatu yang menyakitkan, bukan berarti dia yang menjadi orang jahat. Akan tetapi karena dia manusia bukan Nabi boyy… yang mana pasti ada kurangnya.
So, sadari semua itu. Adakalanya kita mesti pakai hati dan adakalanya menggunakan logika. Kalau diri kita sudah sepakat menerima baik buruknya, maka jangan menolak apa yang menyertainya. ” Ridho bi Syai’in, Ridho bima yatawaladhu minhu – Jika rela menerima sesuatu, maka relalah menerima apa yang menyertainya” begitu mungkin.
Sadari baik buruknya, Sehingga menerimanya berarti menerima sepaket dengan konsekuensi pengambilan keputusan. Begitupun kita sendiri jangan merasa benarr terus. Kita selalu membutuhkan introspeksi, merenung, belajar dari kesalahan. Pasti kita pun akan ada masa salahnya dan ada waktu untuk memperbaiki.
Pada akhirnya, hubungan apa pun menjadi perjalanan untuk saling belajar dan bertumbuh. Kalau kita menutup mata dari kenyataan, bukan hanya kita yang akan kecewa, tapi juga pasangan kita karena merasa tidak diterima seutuhnya. Cinta yang sehat justru lahir ketika kita berani melihat kekurangan dengan jernih, tanpa menutup-nutupi, lalu bersama mencari jalan untuk memperbaikinya.
Kadang memang butuh keberanian untuk berkata, “Aku mencintaimu, tapi aku juga sadar kamu tidak sempurna. Begitu juga aku.” Dengan kesadaran itu, hubungan menjadi lebih realistis, tidak melambung terlalu tinggi oleh ekspektasi. Dan tidak jatuh terlalu keras saat kenyataan datang menghempaskan.
Cinta bukan sekadar euforia sesaat atau romantisme yang manis di awal. Melainkan komitmen jangka panjang untuk terus berusaha memahami, memaafkan, dan memperbaiki. Jika hanya mau menerima manisnya, maka kita tidak akan pernah siap menghadapi pahitnya. Tapi kalau sejak awal sudah siap dengan keduanya, maka cinta bisa tumbuh lebih matang.
Jadi, jangan biarkan hati membutakan, dan jangan biarkan logika mendinginkan. Seimbangkan keduanya. Hati memberi alasan untuk bertahan, logika memberi arah untuk melangkah. Pada titik itulah, cinta tidak lagi sekadar perasaan, tapi juga kewarasan mengambil keputusan menuju apa yang dikatakan “dewasa dalam hubungan”.(nay)
Penyunting : M Rudi Cahyono