Bus dengan karoseri lawas berhenti di depan rest area Tuban. Tidak banyak penumpang saat itu. Seorang kenek sibuk sekali dengan orasinya yang khas. Dia selalu memastikan jika Bungurasih kosong. Sebuah ajakan yang selalu saja diteriakkan saat bus itu berhenti.
Sebenarnya, tanpa kenek bus itu berteriak orang-orang yang sedari tadi menunggu tanpa dikomando akan naik ke bus. Sebab, bus itulah moda transportasi umum satu-satunya yang mengantarkan penumpang dari Tuban ke Surabaya.
Saya bergegas masuk. Perlahan kursi sudah mulai penuh. Mereka yang sama-sama menunggu bus memenuhi kursi-kursi yang kosong. Saya memilih duduk di depan. Tempat duduk yang sudah mulai menua ini harus dinikmati. Kondisinya sudah tak lagi simetris. Kursi-kursi ituebih layak untuk dimuseumkan ketimbang dipertahankan di dalam bus. Tapi, apa boleh buat sepertinya para pengusaha otobus lebih memilih kursi-kursi tua itu di dalam bus.
Sopir bus yang mengapit rokok di jemarinya menghempaskan asap ke samping. Dia memandang ke depan dengan penuh makna. Sesekali, botol air mineral berkuruan beras diambil cekatan lantas menenggaknya. Setelah ritual rokok dan menenggak air minerl selesai, tangannya mulai menggerakkan tuas transmisi. Gas ditekan. Bus mulai melaju.
Bus itu melaju dengan cepat. Penumpang terus memenuhi kursi. Saat kursi penuh penumpang rela berdiri. Masuk kawasan Babat bus terus dipenuhi penumpang. Ada satu lagi yang bukan penumpang yang ikut naik. Meraka adalah para asongan dengan ndok puyuhnya ikut naik.
Mereka menawarkan ndok puyuh hingga tahu asin yang asinnya kebagetan itu. Mereka juga menego para penumpang agar membeli air mineral yang harganya sedikit melambung ketimbang di warug kelontong.
Bus semakin ramai. Para asongan saling bersahut. Mereka tak lelah berteriak dengan terus menawarkan barang dagangannya. Roda ekonomi berputar di atas bus pagi itu.
Tiba Dapur Lamongan, penumpang semakin memadat. Pagi itu meski orang sudah antre untuk naik bus sejak pukul 05.00 tetap saja mereka akan berdiri. Lamongan sebagai kota yang berdekatan dengan Surabaya menjadikan masyarakatnya memilih setiap hari pulang ke rumah dari pada sewa kos atau rumah di Surabaya.
Bus bergerak lagi. Meski di dalam bus mengalun lagu aku undur alon-alon, tetap saja bus melesat dengan kecapatan tinggi. Bus yang diperkirakan umurnya cukup tua itu membawa puluhan orang untuk ke Surabaya. Kota dengan jumlah penduduk yang padat saat siang hari dan lenggang saat malam.
Nyaris tiga jam berada di bus. Melintasi jalan tol di kota yang panas itu. Masuk di sebuah tikungan. Kenek bus berujar Medaeng. Satu tancapan gas lagi masuklah bus ke Bungurasih. Sebuah tempat yang menjadi petanda orang akan berpisah. Satu persatu orang di dalam bus turun. Mereka akan menikmati hari-harinya di Surabaya atau mungkin akan melanjutkan perjalanan lagi.
Bungurasih tengah menjadi tempat pertemuan dan perpisahan. Tempat singgah para bus dan orang-orang yang berkelana dari kota ke kota. Bungurasih menjadi bagian cerita hidup para musafir. Mereka yang hari-harinya dalam perjalanan.
Para musafir dan Bungurasih tak terpisahkan. Mereka seperti koin mata uang. Saling berkait. Di Bungurasih ada banyak tempat beristirahat bagi para musafir di sana. Meski tak mewah tapi ya begitulah. Dengan begitu, musafir bisa berisitirahat.
Sesekali datanglah menjelang salat lima waktu di Bungurasih. Para musafir mulai memenuhi masjid. Berebut air wudhu. Tak hanya para penumpang. Melainkan, awak bus pun ikut terlibat.
Di sana doa-doa para musafir dipanjatkan. Mereka berjuang untuk keluarganya yang ditinggal di rumah. Doa-doa musafir terus menghidupkan banyak cerita di Bungurasih.
Berbahagialah mereka-mereka yang hidupnya terus menjadi musafir. Sebab, setiap tempat akan menjadi danau ilmu baginya. Termasuk Bungurasih. (*)
Redaktur suluk.id