Mengingat pesan Gus Ali Masyhuri dan merenungi pesan filosofis Kiai Syairozi tentang analogi anjing dan lelaki — sebuah upaya menjalani hidup di tengah Pandemi.
Oktober 2019 lalu, saat hadir dalam Haul Masyayikh Ponpes Langitan, KH. Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali) Sidoarjo, dalam Mauidloh Hasanahnya berpesan pada kami, yang redaksi kalimatnya masih benar-benar saya catat dan saya ingat hingga detik ini: “Jangan takut kematian. Tapi hargailah kehidupan.”
Makna menghargai kehidupan, jelas beliau, adalah setiap detik waktu yang dimiliki, untuk berbuat kebaikan. Untuk meniatkan diri berbuat kebaikan. Sehingga tak ada waktu yang hilang percuma. Dan dengan itu, kepanikan-kepanikan bisa terlupakan.
Jika yang dilakukan adalah sesuatu yang dianjurkan Kanjeng Nabi. Sesuatu yang ditradisikan para Kiai. Sehingga kalau misal dijemput maut sak wayah-wayah, masih dalam koridor yang tetap fi sabilillah. Tetap di jalan Gusti Allah. Itu maksud beliau.
Pesan Gus Ali, amat kontekstual dengan apa yang dihadapi masyarakat akhir-akhir ini. Meski tentu saja, Gus Ali berpesan jauh sebelum Pandemi menyerang muka bumi.
Ketakutan akan kematian memang manusiawi. Itu alasan kenapa Covid 19 begitu menyita perhatian, hingga memicu perubahan peradaban sosial manusia. Tapi bagaimanapun, pesan Gus Ali itu tetap harus dicekeli. Diyakini, apapun yang terjadi.
Covid 19 yang sering menampakkan wujud beringas berupa mayat yang saling bergeletakan, tentu membuat siapa saja akan ciut nyali dan ketakutan. Sialnya, ketakutan punya kecenderungan mirip rasa ngantuk: menular. Mereka yang awalnya tak terlalu takut, menjadi sangat takut hanya karena melihat orang-orang di dekatnya ketakutan.
Tapi itu wajar sebagai manusia. Malah, jika tak takut mati, justru jadi masalah. Mati harus jadi ketakutan dengan orientasi positif. Sehingga dengan takut akan kematian, seyogianya membuat kita tambah rapet gandulan guru dan para Kiai. Sebab, di tengah badai goda akhir zaman, sangat sulit mengandalkan keimanan personal.
Tapi namanya Covid 19, ia tak hanya membuat orang takut mati. Ia juga membuat manusia takut hidup tapi tak bisa makan. Ini jadi masalah utama yang mungkin dihadapi banyak manusia — di belahan bumi mana saja — akhir-akhir ini.
Siapapun, saya kira, akan merasakan ketakutan-ketakutan, dalam bermacam varian wujudnya. Termasuk saya sendiri. Dan perasaan semacam itu, membuat saya berupaya meingat-ingat dawuh KH. Imam Syairozi rahimahullah.
Beberapa tahun lalu, Mbah Syairozi membuat analogi sederhana tentang permasalahan hidup. Analogi itu beliau sampaikan saat masih sehat dan mengisi sebuah majelis di kawasan Pethak Kalitidu Bojonegoro, circa 2009. Waktu itu, bersama kawan-kawan, saya nyadong barokah ke majelis tersebut.
“Gus, awakmu nek diantem watu karo cah wedok ayu, iku sing mbok gudak sing ngantem opo watune?” Mendadak, pertanyaan itu terngiang dalam telinga kami, di tengah hadirin yang mayoritas kaum laki-laki itu.
Maktratap. Saya dan kawan-kawan yang berada di baris lumayan depan, sangat jelas mendengar pertanyaan itu. Kami merenung lama sekali dan tak tahu harus menjawab apa. Kalaupun tahu, kami toh tak akan berani menjawabnya.
Dalam pertanyaan itu, jelas Mbah Yai, ada dua respon yang akan dilakukan manusia saat menerima lemparan batu. Respon pertama adalah: kita akan menjadi anjing atau asu. Sedang respon kedua adalah: kita akan menjadi seorang lelaki.
“Gus, nek pas diantem ngonokui, nak isa awakmu dadio cah lanang sing ngguantheng. Ojo malah dadi asu.” Jelas Mbah Yai melanjutkan.
Kami semua yang ada di barisan depan masih terlihat plonga-plongo dan goblok ndadak, sampai Mbah Yai dengan ketelatenan khusus, memberi penjelasan detail soal pertanyaan falsafi tersebut.
Dalam penjelasannya, Mbah Yai mengatakan bahwa watu adalah simbol permasalahan hidup. cah wedok ayu adalah Gusti Allah (pencipta segalanya). Lalu, anjing atau asu adalah manusia yang ketika mendapat masalah hanya fokus pada masalah itu. Sementara seorang lelaki adalah manusia yang ketika dilempari masalah, langsung mengejar Gusti Allah. Sang pelempar masalah.
“Asu iku nak diantem watu cah wedok ayu lak sing digudak watune. Mosok awakmu yo ape koyok asu ngono?” Ucap beliau disusul derai tawa hadirin. “Nak iso iku dadi cah lanang sing ngguantheng, terus nggudak sing ngantem.” Imbuh beliau.
Kami semua plong. Kami langsung paham maksud Mbah Yai memberi analogi tersebut. Kami semua sempat gagal paham karena ada kata “cah wedok ayu” di dalam pertanyaan itu. Maklum, waktu itu kami semua remaja yang masih grayang-grayang pada pasangan hidup dan masa depan.
Dalam tafsiran yang lebih mendalam, cah wedok ayu adalah simbol Gusti Allah dengan segala keindahannya. Watu yang dilemparkan adalah masalah hidup. Dan anjing atau lelaki adalah respon kita, manusia, saat menerima masalah.
Karena itu, pesan Kiai, saat dilempari masalah seperti itu, jangan jadi anjing yang fokus pada masalah. Tapi jadilah lelaki. Jadilah lelaki tampan yang justru mengejar pelempar batu itu. Maksudnya, saat menerima masalah, kita harus mempersiapkan diri, macak nggantheng madep Gusti Allah.
Bersolek mempersiapkan diri menjadi lebih mantap. Lebih siap. Lebih fokus pada Allah. Madep Gusti Allah. Nyuwun bantuan Gusti Allah. Sebab Ia yang melempar batu. Bukan malah fokus pada batu atau masalah yang dilemparkan, seperti anjing.
Di masa Covid 19 yang bermetamorfosis menjadi ketakutan akan kematian dan kecemasan tak bisa makan ini, entah kenapa saya ingat pesan Mbah Yai Syairozi beberapa tahun lalu itu, agar jangan fokus pada batunya, atau masalahnya, tapi fokus pada pelempar batunya.
Minta bantuan pada pelempar batunya. Sehingga kita tak jadi anjing yang selalu rajin menggonggong cemas, tapi jadi lelaki tampan yang berusaha mendekat pada pelempar masalah.
Di tengah himpitan bermacam masalah akibat Covid 19 ini, membuat saya ingat pesan Gus Ali Masyhuri agar menghargai hidup, sekaligus pesan filosofis Yai Syairozi tentang analogi anjing dan lelaki tampan saat menghadapi lemparan batu.(*)