Untuk para Bos di manapun berada. Seharusnya bukan omzet yang harus terus dikejar tapi kedamaian hati seharusnya dikejar. Corona telah memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Bahwa Bos bukan segalanya. Seperti pesan Gus Baha, jadilah yang biasa biasa saja.
Tentang kebutuhan ekonomi selalu menjadi bahasan menarik. Bahkan, salah satu alasan kebijakan new normal adalah faktor ekonomi. Alasannya, ekonomi nyandet. Tidak berputar sehingga membuat kondisi tidak baik di tengah masyarakat. Maka, masyarakat harus beraktivitas lagi.
Sejak pandemi ini melanda Indonesia. Semua orang klimpungan. Tapi, saya melihat yang paling klimpungan adalah pengusaha kelas kakap. Yakni, mereka punya ambisi menumbuhkan omset setiap bulannya.
Orang yang punya usaha tambang hingga pabrik besar mereka sangat terpukul. Apalagi mereka yang mengeluarkan modal besar untuk menjalankan usaha tersebut.
Akibatnya, para bos merumahkan para pekerjanya. Dengan alasan keuangan pabrik sedang seret dan berbagai macam alasan lainnya. Prinsipnya, mereka menjadikan PHK menjadi satu satunya keputusan untuk mengurangi kerugian.
Dari kejadian ini semua saya justru bertanya mengapa tidak ada pabrik atau bos-bos besar itu agar target dan omsetnya yang dikurangi. Atau setidaknya, laba yang masuk kantong sendiri dan para pemodal itu dikurangi. Jika perlu, sesekali di masa pandemi tidak perlu untung yang terlalu besar. Dengan begitu, masih bisa memperkerjakan para buruh-buruh pabrik tersebut.
Dengan dimunculkannya kehidupan baru di tengah pandemi covid-19 ini saya masih menyimpan kecurigaan mereka para bos bos besarlah yang ingin kondisinya tak lagi di rumah saja. Mereka seperti tidak rela jika seorang karyawan kerja di rumah. Atau bahkan, untung yang sedikit itu dianggap rugi. Dengan berbagai jurus fa fi fu akhirnya kebijakan kehidupan baru di terapkan.
Dengan kondisi kehidupan baru ini yang muncul adalah kelas pekerja tetap bekerja dengan segala resiko yang luar biasa. Sedangkan, para bos tetap menjalankan bekerja di rumah dan tetap menjaga kesehatannya.
Mungkin pendapat saya dianggap angkuh karena saya bukan seorang bos. Atau mungkin ada bos yang berbeda dengan bos pada umumnya. Mereka adalah bos yang tetap bekerja mati-matian untuk perusahannya. Artinya, mereka tidak hanya duduk bersila di rumah saja.
Saya tidak ingin berdalil atau memberi ceramah para bos di sini. Sekali lagi saya juga bukan kelas seorang bos, Ayolah para bos sesekali bertanya dengan hati pada anak buah. Apa Anda tidak pernah sadar jika di balik sopannya anak buah itu ada rerasan yang dahsyat saat di kantin atau grup whatsapp sebelah. Bahkan, para buruh yang teriksa atas kebijakanmu akan berdoa. Itulah doa yang justru membahayakan para Bos.
Baiklah, jika alasan anda mendaku diri seorang bos karena saat merintis usaha anda mati-matian. Atau saat menduduki jabatan itu anda harus berjuang hingga titik darah penghabisan. Apakah dengan balasa dendam ke anak buah membuat anda puas. Jahat sekali Anda bos.
Sejenak, mari kita letakkan jabatan yang Anda miliki saat ini. Apapun itu. Termasuk pengaruh yang Anda punyai. Untuk apa kita letakkan? Untuk sedetik saja kita menjadi manusia biasa. Menjadi yang biasa akan lebih bisa merasakan apa yang dilakukan orang pada umumnya.
Jabatan bos atau orang berpengaruh itu titipan Tuhan. Kalau tidak Tuhan yang memberi jabatan dan pengaruh itu tidak mungkin itu ada pada diri Anda. Maka, tidak perlu ndangak dan menyamai tugas Tuhan.
Untuk para Bos di manapun berada. Seharusnya bukan omzet yang harus terus dikejar tapi kedamaian hati seharusnya dikejar. Corona telah memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Bahwa Bos bukan segalanya. Seperti pesan Gus Baha, jadilah yang biasa biasa saja. (*)
Redaktur suluk.id