Suluk.id – Memasuki bulan Agustus hingga akhir, pasti akan kita jumpai berbagai macam rangkaian agenda bernuansa peringatan kemerdekaan. Dari gerakan gotong royong ro’an bersih desa, pasang bendera dan umbul-umbul, do’a bersama, lomba baris berbaris, ada yang berkesempatan mewujudkan cita-cita menjadi polisi, tentara, dokter di pawai karnavalan, hingga unggahan referensi lomba Agustusan di media sosial.
Menyenangkan bahkan menggelitik sekali melihat berbagai macam tingkah kreatif bapak-bapak, ibu-ibu serta anak-anak dalam karnavalan dan pada beraneka macam perlombaan. Bulan Agustus kerap kali menjadi bulan untuk merekatkan antar anggota bangsa. Namun tidak hanya sebagai ekspresi kegembiraan, perayaan kemerdekaan sarat akan sisi lain yang mungkin harus dimaknai lebih dalam.
Terlepas dari yang mengatakan bahwa kita belum sesungguhnya merdeka, tentu perayaan pada bulan Agustus ini menjadi syarat wajib bagi bangsa Indonesia. Minimal dengan memasang bendera merah putih dan umbul-umbul di depan rumah.
Perayaan hari kemerdekaan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan kegembiraan akan sejarah panjang terlepasnya bangsa Indonesia dari kurungan penjajahan. Setelah sekian lama terkurung dalam jajahan bahkan dinilai tak manusiawi, 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Timur pukul 10.00 WIB Presiden Soekarno secara lantang memproklamasikan naskah kemerdekaan sebagai bentuk bahwa rakyat Indonesia sudah bebas dari kekuasaan negara lain.
Namun di balik kemerdekaan bangsa Indonesia, berbagai macam peristiwa kelam hingga berdarah-darah pun terjadi. Salah satu contoh kecil, kerap kali dicontohkan kekejaman para penjajah dilakukan ketika masa kerja Rodi dan Romusha. Banyak yang membenarkan akan momen kerja paksa itu sebagai masa kekejaman penjajah terhadap bangsa Indonesia.
Bagaimana tidak, jika masyarakat pada saat itu dipekerjakan secara paksa dengan upah minimum bahkan tidak sama sekali. Perekonomian hancur hingga sangat susah untuk mempertahankan hidup. Contoh populer dari peristiwa kerja rodi pemerintahan Belanda yakni pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan raya tersebut telah memakan korban jiwa mencapai 12.000 karena dipekerjakan dan mendapatkan perlakuan kasar di luar sikap kemanusiaan. Tidak hanya itu, Jepang dengan istilah kerja Romusha-nya juga menjadi bentuk eksploitasi dan tipuan kepada pekerja bangsa Indonesia.
Tidak hanya itu, pergolakan tragedi pertumpahan darah juga banyak terjadi pasca Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan. Sebab Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya saat terjadi kekosongan kekuasaan (vacum of power) pasca Jepang dipukul telak oleh sekutu dengan bom di wilayah Hiroshima dan Nagasaki. Setelah bom atom dahsyat itu, sekutu kembali berusaha mengambil alih wilayah bekas jajahan Jepang, termasuk Indonesia.
Perlawanan heroik di berbagai sektor wilayah Indonesia karena ultimatum sekutu agar bangsa Indonesia menyerahkan diri kembali. Munculah lima sejarah pertempuran dahsyat kepada serdadu sekutu yang mulai merangsak masuk ke wilayah Indonesia. Pertempuran Medan Area menjadi konflik pertama setelah proklamasi kemerdekaan dengan insiden di Hotel yang terletak di Jalan Bali, Kota Medan pada 13 Oktober 1945. Seorang penghuni merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai pemuda Indonesia. Akhirnya para pemuda bangsa Indonesia yang tidak terima melakukan perlawan hingga terjadilah pertempuran.
Kemudian perlawanan fenomenal hingga diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional, 10 November 1945 menjadi hari lebih dari 16.000 pejuang Surabaya gugur untuk mengusir kembali penjajah. Bersama para pahlawan dan tokoh masyarakat, Bung Tomo mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo dan Jawa Timur agar berjihad mengusir penjajah.
Selain itu pertempuran di Ambarawa Jawa Tengah menjadi perlawanan rakyat Indonesia yang juga sering diabadikan. Panglima Besar Sudirman memimpin pasukan melawan sekutu. Pasukan yang dikomandoi Jenderal Sudirman tak kenal mundur walaupun menghadapi dibombardir meriam artileri sekutu.
Wilayah Jawa Barat tepatnya Bandung juga membara dengan Bandung Lautan Api. sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar tempat tinggal mereka agar tentara NICA Belanda tidak menjadikan kota Bandung sebagai markas strategis militer sebagai upaya merusak kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya itu, dari sektor pulau Bali I Gusti Ngurah Rai bersama pasukan Tentara Keamanan Rakyat (Ciung Wanara) menghadang agresi Belanda agar tidak menguasai Bali. Kecintaan I Gusti Ngurah Rai kepada Republik Indonesia membuatnya menolak bujukan pasukan Belanda agar menyerahkan pulau Bali. Hal itu membuat murka Belanda dengan menjatuhkan bom dan rentetan tembakan. Namun Pasukan Ngurah Rai tak mundur sekalipun hingga titik darah penghabisan yang menjadikan I Gusti Ngurah Rai gugur bersama 95 orang pasukannya setelah menghabisi sekitar 400 orang dari pihak Belanda.
Singkatnya, menengok kembali suasana perjuangan berdarah-darah hingga mengorbankan nyawa di atas, patutlah jika setelah melewati itu rakyat Indonesia benar-benar merayakan kemerdekaan dengan sorak-sorak bergembira, tangis haru, sebagai ungkapan bebasnya dari kekangan kekejaman penjajahan dan peperangan.
Hari ini memaknai kegembiraan tersebut, berbagai macam cara dilakukan. Secara sadar atau tidak, kita sebagai bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengadakan upacara bendera, karnaval, baris berbaris, lomba balap karung, panjat pinang, dan macam – macam lainnya menjadi nilai tersendiri untuk menghargai perjuangan para pahlawan. Walaupun perjuangan setiap zaman akan berbeda, tetapi kita dapat mengingat kembali dan merasakan sedikit bagaimana perjuangan para pahlawan demi sebuah kemerdekaan. Sedikitnya dari apa yang kita rasakan pasti tidak akan pernah sebanding dengan apa yang para pahlawan rasakan. Al Fatihah untuk para pahlawan (mrc).
Islamic digital activist. Mugi Barokah Manfaat